Dia menatap lekat ke arah Daisy. Gadis itu masih sangat muda, 22 tahun dan sudah harus menghadapi semua ini. Vano bisa melihat jelas bukan keinginannya untuk menjadi wanita seperti itu. Seringai itu muncul di wajah tampan Vano.
"Apa kau ingin membalas dendam?" tanya Vano dengan serius.
"Balas dendam?" kali ini Daisy menatap dengan serius.
"Sekarang kau pasti sangat marah pada mereka kan? Semua orang yang sudah melecehkanmu," senyum Vano lagi dan dia bisa lihat mata cantik itu memancarkan emosi.
"Sebenarnya aku memang sangat ingin melakukannya. Bahkan kalau aku harus dipenjara seumur hidup atau bahkan dihukum mati sekalipun. Aku ingin memastikan mereka mati di tanganku!" kali ini Daisy mengepal dengan erat seolah siap melayangkan tinjunya.
"Aku bisa membantumu hanya saja aku rasa semua pilihan itu mengandung konsekuensinya masing-masing. Mungkin bahkan akan lebih menderita dibanding hukuman seumur hidup dan akan jauh lebih sulit dari hukuman mati. Sekali kau pilih jalan yang ini, kau tidak bisa kembali dan kau tidak boleh menyesal! Tapi aku bisa menjamin kau bisa membunuh siapapun itu dengan mudah!" Vano sudah memperingatkan.
Daisy memang terlihat berpikir. Dia menatap lekat ke arah Vano yang duduk tak jauh darinya dengan satu kaki masih menyilang dan dua tangan bersandar di punggung kursi. Pria itu seolah mempelajarinya. Seperti membaca sebuah buku yang menarik.
"A-aku rasa aku akan melakukannya," jawab Daisy rajin.
"Kau yakin?" tanya Vano lagi.
"Aku yakin! Katakan apa yang harus aku lakukan agar aku bisa menghabisi mereka?" Daisy menatap serius.
"Hei, kau terlalu terburu-buru. Aku punya beberapa syarat untuk kau penuhi sebelum aku benar-benar membantumu. Setelah kau mendengar semuanya, baru kau bisa tentukan apakah kau ingin lanjut atau tidak," ucap Vano dengan tubuh condong ke depan kali ini dan Daisy ragu mengangguk.
"Pertama, jangan takut selama prosesnya. Kumpulkan keberanianmu! Jangan berteriak atau berusaha kabur atau kau akan mati sebelum semuanya dimulai! Kedua, kau harus bekerja sama denganku! Jadi mata-mata untukku dan beri semua informasi yang aku butuhkan! Ketiga, hubungan antara kita adalah hubungan profesional dan aku tidak ingin suatu saat nanti kita melewatinya!" syarat itu sudah disebutkan semua.
Daisy seperti perintah Vano mengumpulkan keberanian. Membunuh orang itu bukan hal yang mudah, tapi dendam itu sejujurnya sudah mendarah daging. Dia bahkan harus keluar masuk psikiater untuk membantu menyembuhkan jiwanya. Nyatanya dia sudah hancur dan tak akan pernah pulih. Dia harus hidup dengan fakta tubuhnya sudah kotor dan harga dirinya sudah tidak ada lagi. Untuk apa lagi bersembunyi? Untuk apa lagi mengasihani diri sendiri?
Daisy mengangguk menatap serius ke arah Vano, "aku siap melakukannya!"
"Baiklah kalau kau sudah memutuskan. Kembalilah ke kamar hotel ini tanggal 15 nanti. Aku akan membantumu! Kalau kau tidak datang, maka aku akan menganggap kau mengundurkan diri dan jangan harap aku akan membantumu lagi!" kata Vano memberi perintah.
Daisy menurut tanpa banyak bertanya. Dia segera pergi setelah Vano menyuruhnya berpakaian. Entah bagaimana ada dua buah gaun tergantung di lemari pakaian hotel itu. Seolah semuanya sudah disiapkan jauh-jauh hari. Seseorang keluar dari sisi lain kamar. Dia adalah Javier yang memang terus memantau dari tadi.
"Aku kira kau benar-benar akan..." ucapan itu terhenti seketika.
"Kau tahu itu tidak akan mudah. Kalaupun aku ingin melakukannya, aku tidak akan memilih seseorang yang sudah hancur sepertinya!" Vano menekankan.
"Apa kau yakin dia tidak akan lari ketakutan saat wujudmu yang sebenarnya?" tanya Javier lagi yang berdiri tak jauh darinya.
"Tentu saja dia akan takut, tapi aku tahu dia tidak akan lari. Tekadnya sudah bulat!" kata Vano santai.
"Seolah-olah kau paling mengerti dia. Kau baru mengenalnya malam ini," ejek Javier.
"Karena aku mengenal mata itu! Aku sangat tahu arti di balik tatapan mata itu! Sama seperti apa yang ada pada mataku selama bertahun-tahun belakangan ini!" Vano menatap nanar ke arah pintu.
Vano menyetir mobilnya pulang. Sepanjang perjalanan terus terang dia teringat lagi saat dia mencium Daisy tadi. Entah bagaimana ada sosok perempuan lain yang berkelebat di kepalanya. Lexa, si karyawan rendahan di perusahaannya. Tidak biasanya dia merasa begitu tertarik pada seseorang yang seharusnya menjadi korban selanjutnya itu.
Lexa di matanya sangat sederhana. Dia memang penuh percaya diri dan berani. Mungkin kalau dia bukan atasannya, gadis itu akan berani bicara balik padanya. Lexa menurut karena dia tahu dia bekerja di sana dan dia adalah bos besarnya. Lexa cantik walau dia buruk dalam berdandan. Hidungnya mancung walau mungil. Matanya besar dengan bola bewarna abu terang. Bibir tipis warna pink. Kulitnya putih bersih bahkan seakan berkilau di bawah cahaya matahari. Mungkin Lexa sendiri tidak menyadarinya, tapi saat gugup dia cenderung suka menggigit bibirnya sendiri dan entahlah pemandangan itu terlihat cukup menganggu di mata Vano.
Mobil Vano masuk ke dalam halaman sebuah rumah yang sangat besar. Pintunya terbuka secara otomatis saat mobilnya mendekat. Mengandalkan deteksi wajah dari kamera CCTV di atas tiang. Disambut oleh jalanan melingkar yang membawanya masuk ke dalam sebuah garasi di mana banyak berjejer mobil mewah berbagai merk di dalamnya. Menggunakan lift dia masuk ke dalam rumahnya dan tempat pertama yang selalu dia kunjungi adalah ruang makan. Di mana ibu kesayangannya pasti sudah menunggunya untuk makan malam.
Berjalan dengan tegap menuju meja makan yang muat untuk 20 orang. Kancing kemejanya sudah terbuka sebagian mempertontonkan dadanya yang bidang dan besar. Lengan kemejanya sudah tergulung sebagian seolah tak mampu lagi menahan otot di dalamnya. Tersenyum manis dengan lesung pipi tersembunyi hanya untuk wanita yang dia tuju.
"Kenapa lama sekali?" rajuk wanita yang sudah berusia 62 tahun itu.
"Maaf, Bu. Ada yang harus aku lakukan. Ibu seharusnya tidak perlu menungguku di sini," Vano mengecup pipi ibunya itu dan duduk di sisinya.
"Kau ini terlalu sibuk bekerja! Luangkan waktumu sedikit untuk ibu dan adikmu itu. Kalian itu saudara tapi sudah seperti musuh saja," wanita yang masih terlihat cantik dengan beberapa keriput di wajahnya itu bicara.
"Ibu kan tahu aku selalu berusaha bersikap baik dengannya. Dia yang terus bersikap dingin padaku," ucap Vano santai mulai melihat makanan di atas meja.
"Kau selalu punya alasan. Makanlah dulu saja kalau begitu," ucap wanita yang bernama Laila itu.
Vano menyantap makan malamnya. Steak daging setengah matang yang sudah disiapkan khusus oleh juru masak di rumah mereka. Kondisinya berbanding terbalik dengan Lexa yang makan pasta instan di kamar apartemennya. Dia juga baru tiba karena bis ternyata cukup sulit dan jarang di malam hari.
Ada hal yang sebenarnya masih membuatnya bertahan di apartemen tua itu. Pemandangannya dari jendela yang tak terkalahkan. Lokasinya yang memang sedikit lebih tinggi karena berada di bawah bukit, membuatnya bisa melihat pemandangan Kota Lorient di malam hari. Tidak secantik Kota Paris mungkin tapi cahaya malamnya tetap saja sama. Lexa juga sudah mengenal baik beberapa orang di apartemen ini.