***
Aletta POV flashback
Bel rumah yang terus berdering telah mengganggu konsentrasi ku yang sedang belajar di ruang tamu. Dengan helaan napas panjang, aku beranjak bangun dari lantai dan berjalan ke arah jendela. Kubuka sedikit tirai jendela yang menampakkan seorang laki-laki yang tengah tersenyum menatapku, minta dibukakan pintu.
Aku menutup tirai sembari menghela napas gusar. Aku memutar kunci dan membukakan pintu untuknya yang akhir-akhir ini selalu menghampiriku tanpa tahu situasi dan kondisi.
"Hai, Ale!" sapanya dengan semangat saat melihat wajahku.
"Hai," balasku acuh tak acuh. Aku bersedekap, menatapnya. "Kali ini untuk apa lagi, Arkhano?" tanyaku yang lama kelamaan bosan dengan seribu alasan yang dia katakan ketika menghampiriku.
Laki-laki yang memakai kaus merk polo berwarna putih dan celana selutut berwarna cokelat susu itu terkekeh geli.
"Tante Vani menghubungiku. Katanya, kamu sendirian di rumah karena tidak mau ikut ke arisan keluarga. Dengan senang hati, aku langsung datang ke sini untuk menemani kamu," jawabnya dengan ekspresi yang bangga, terlalu pede pikirku.
Sambil mengangkat sebelah alis karena meragukan ucapannya, aku balas bertanya, "Mamaku yang menghubungimu atau kamu yang menghubungi Mamaku?"
Dan benar. Dia hanya tertawa. Cukuplah tawa itu sebagai jawaban darinya. Dapat dipastikan kalau dia yang bertanya lebih dahulu ke mama.
"Boleh aku masuk?" tawarnya yang sudah mencuri-curi pandang ke dalam rumah.
Lagi-lagi, aku menghela napas, kemudian berbalik dan berkata, "Masuklah!"
Kupikir, aku sangat murah hati karena membiarkannya masuk walaupun aku sedikit keberatan.
Aku memimpin jalan, kemudian duduk lagi di atas lantai dan mengambil pulpen yang tak sempat ku tutup tadi. Dari sudut mata, bisa kusadari kalau Arkhano tengah memperhatikanku.
"Sedang belajar?" tanyanya yang melihat buku-buku yang berserakan serta iPad yang ku gunakan untuk menonton pembelajaran dari YouTube. Dia ikut duduk, tak jauh di sampingku.
"Seperti yang kamu lihat," jawabku yang kembali menyalin beberapa kosa kata baru di buku catatan.
"Ini kan hari libur? Kamu bisa mengembangkan bakat dan minatmu, atau melakukan beberapa hobi juga. Tidur juga lebih baik," balasnya memberikan komentar tanpa tahu apa-apa tentangku.
Tentu saja aku langsung menatapnya sengit. "Belajar bahasa adalah hobi, minat, dan bakat ku, asal kamu tahu."
"Oh?" Dia menaikkan sebelah alis dengan ekspresi terkejut. Dia mendekatiku sampai pundaknya bersentuhan dengan pundakku. Membuatku meliriknya dengan alis yang mengerut. "Bahasa apa?" tanyanya.
"Bahasa Perancis," kataku yang mengalihkan tatapan darinya.
"Oh!" Dia terperangah. "Salut! (Halo!)" ujarnya menggunakan bahasa Perancis sembari melambaikan tangan. Membuatku sedikit kaget, tetapi langsung membalasnya juga.
"Coucou! Tu vas bien? (Halo juga! Apa kabar?)"
"Très bien oui, et toi? (Sangat baik, kamu?)"
"Mou aussi (Aku juga)," balasku tersenyum. "Depuis quand? (Sejak kapan?)"
"Quoi? (Apanya?)" balasnya yang membuatku berpikir kalau Arkhano telah lama belajar bahasa Perancis yang sukses membuatku pusing karena menggunakan kata ganti dan kosa kata yang sangat banyak.
"Tu étudies le français, depuis quand? (Kamu belajar bahasa Perancis, sejak kapan?)" tanyaku lebih jelas dan dengan intonasi yang cepat.
"Environ deux ans (Sekitar dua tahun yang lalu)," balasnya sembari menengadah, memandang plafon rumah. Kemudian dia menatapku, lalu tersenyum tipis, entah maksudnya apa.
"Aku pasif. Tidak terlalu mendalaminya dan sudah lama juga tidak bicara dengan bahasa Perancis. Kamu tidak sopan! Berbicara denganku dengan bahasa informal!" tambahnya yang kini tersenyum menyeringai.
"Huh?!" Aku memelototinya. "Kan kamu yang lebih dahulu menggunakan bahasa informal! Aku hanya membalasnya saja!" balasku tak terima sampai alisku menukik.
Dia tertawa terbahak-bahak, kemudian menepuk-nepuk pundakku. "Teruslah belajar agar aku bisa punya teman untuk berbicara bahasa Perancis lagi."
Ucapannya itu membuat keningku mengerut. "Memang sebelumnya kamu bicara dengan siapa?"
"Kakek dari mama, tapi sudah meninggal satu setengah tahun yang lalu," balasnya diakhiri dengan tersenyum sendu. Membuatku merasa simpati dan terenyuh.
"Ah... aku turut berduka cita, Arkhano."
Dia malah terkekeh sembari mengelus lembut rambutku. Membuatku tiba-tiba merinding dengan kelakuannya.
"Apa-apaan ini?" protes ku sembari memindahkan paksa tangannya yang mengelus rambutku.
Dia malah tertawa dengan puas saat melihatku yang memelototinya. Langsung saja ku buang tangan itu dengan kasar. Kemudian, berpaling darinya dan kembali menyalin kosa kata yang muncul.
Dia mendekat, hampir menyentuh pipiku dan itu membuatku sedikit tersentak. Aku menghentikan pergerakan. Meliriknya tanpa menoleh sambil menahan napas.
"Kenapa?" tanyanya yang terasa sangat jelas di telinga.
"... menjauh lah! Jangan dekat-dekat! Aku tidak nyaman!" balasku sengit yang membuatnya langsung menuruti kemauanku.
Dan karena kejadian siang itu, aku dan Arkhano malah semakin dekat setiap harinya, karena Arkhano telah memiliki satu alasan lain untuk bertemu denganku secara serius, yaitu belajar bahasa Perancis bersama-sama. Bahkan, dia juga bertanggung jawab sebagai tutor bahasa Perancis untukku. Dan yah, aku bisa berbahasa Perancis dengan fasih karena dia. Bedanya, aku pembicara aktif karena saat di New York, aku melatihnya dengan Gustav Bryan, teman yang akhirnya menyatakan perasaan padaku, saat aku hendak meninggalkan New York.
***
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, hingga tahun berganti, dan sekolah memasuki semester 2. Aku sangat ingat kejadian ini. Kejadian yang saat itu membuatku tidak nyaman, sekaligus kejadian awal yang telah membuatku menyadari kalau aku punya perasaan lain dengan laki-laki yang selalu datang menghampiriku dengan seribu alasannya yang tak pernah habis itu.
Saat itu, aku dan Gea ada di kantin untuk istirahat pertama di jam sembilan pagi. Dua pancake tebal dengan lelehan karamel telah kudapatkan dari ibu kantin untuk camilan sebelum makan siang nanti.
Aku dan Gea menyantapnya dengan senang hati. Sesekali aku melirik ke arah pintu masuk kantin. Biasanya Arkhano akan muncul dari sana bersama teman-temannya, kemudian menyempatkan diri untuk datang kepadaku sebelum mengambil makanannya dari ibu kantin. Dia menanyakan bagaimana hariku, kabarku, dan segalanya tentangku. Namun, sampai pancake milikku dan Gea sudah habis, Arkhano dan teman-temannya belum muncul juga.
"Sedang menunggu siapa, Le?" tanya Gea yang mengikuti arah pandangku. Dia menoleh lagi padaku, menantikan jawaban.
Aku menggeleng dan tersenyum simpul. "Tidak, tidak menunggu siapa-siapa. Kamu sudah selesai?" tanyaku mengalihkan pembicaraan sembari mengelap tangan dengan tisu.
Dia mengangguk kecil. "Masih ada tujuh menit sebelum jam masuk. Kamu masih mau di sini atau langsung ke kelas saja?"
"Emhh..." Lagi-lagi aku mencuri-curi pandang ke arah pintu masuk. Baik Arkhano maupun teman-temannya, tidak ada yang datang ke kantin.
"Ale?" panggilnya lagi. "Kamu sedang menunggu siapa, sih? Arkhano?" tebak Gea yang menoleh lagi ke pintu masuk dan menatapku lagi.
Sontak saja aku langsung menggeleng dengan kencang. Aku merapatkan bibir, kemudian memaksakan tubuh ini untuk beranjak dari bangku kantin.
"Ayo, kembali ke kelas!" ajakku menatap Gea sambil berkedip cepat. Sebisa mungkin, aku tidak membiarkan Gea untuk mengetahui niat asliku.
Anak itu menatapku dengan aneh, kemudian menghela napas panjang, dan ikut berdiri. Dia menghampiri dan mengalungkan lengannya pada lenganku, kemudian menarikku untuk pergi dari kantin, yang dengan sadar tengah mempertanyakan keberadaan Arkhano.
———