***
Aku memelankan langkah saat menuruni anak tangga sambil menghela napas panjang ketika mendapati Arkhano yang akhirnya datang ke rumahku dan sedang mengobrol dengan mama di ruang tamu.
Baru kali ini, aku merasa tak nyaman dengan desain rumah yang langsung terbuka ke ruang tamu, membiarkan orang-orang yang sedang berada di sana dapat melihat keberadaan kami.
Saat kakiku telah menapaki anak tangga terbawah, aku langsung berbelok ke dapur tanpa menoleh lagi ke ruang tamu. Tujuanku memang ke sana untuk membuat susu cokelat, apalagi tadi sempat hujan.
Sambil ditemani dengan musik klasik yang terdengar dari earphone yang kupakai, aku membuka kabinet, mengambil gelas kaca, sendok, dan sekotak bubuk susu cokelat dari sana, kemudian menuangkan tiga sendok makan susu cokelat ke dalam gelas dan menambahkan air panas yang dicampur dengan air putih, lalu mengaduknya. Aku meletakkan kembali kotak bubuk susu cokelat di kabinet.
Dan ketika aku berbalik untuk membawa segelas susu cokelat itu ke kamar, aku dikejutkan dengan Arkhano yang telah duduk di kursi dapur sembari memandangiku dengan kepala yang ditumpu oleh tangannya.
"Hai, Ale."
Arkhano menyapaku sembari tersenyum. Seolah kejadian dua minggu lalu tak pernah terjadi. Hal itu membuatku menatapnya dengan datar tanpa ekspresi. Aku berbalik, tak jadi membawa susu cokelat tersebut ke kamar dan memilih untuk menghabiskannya di sana.
"Pelan-pelan saja," kata Arkhano yang membuatku semakin mempercepat tegukan. "Kenapa malah semakin cepat?" protesnya yang ku abaikan.
Aku menaruh gelas kosong dan sendok yang tadi kupakai di wastafel, kemudian mengambil air dingin di kulkas, lalu meneguknya untuk menghilangkan rasa lengket di mulut.
"Ale."
Aku menutup kulkas. Benar-benar mengabaikannya, menganggapnya tak pernah ada di sana. Aku berbalik, berjalan cepat ke luar dari dapur, melewati lorong yang cukup untuk dilewati dua orang dewasa. Namun, tangannya menjegal tanganku. Dia menarik tanganku hingga tubuhku berbalik padanya dan hampir menabrak dadanya yang terlihat bidang.
"Hei!" seruku sembari menatapnya nyalang.
"Kamu marah?" tanyanya padaku sambil mengeratkan cengkraman di tangan.
"Apa-apaan, sih?" ujarku sembari berusaha untuk melonggarkan cengkraman itu. Kutatap Arkhano dengan berani. "Lepas!" tegasku.
"Tidak mau. Nanti kamu lari lagi," jawabnya tetapi sedikit melonggarkan cengkraman sehingga tak terlalu sakit seperti tadi. "Kita bicara, ya?"
"Memangnya apa yang mau dibicarakan?" tanyaku dengan nada ketus. "Sudahlah, lebih baik kamu pulang saja! Banyak yang harus ku kerjakan," ujarku mengalihkan tatapan darinya.
"Aletta," panggilnya dengan suara halus. Bulu kudukku merinding. Belum pernah kudengar suaranya yang seperti itu. "Kita bicara, ya? Sepuluh menit juga tidak apa. Asal kita bicara. Ya? Ya?"
Aku menelan saliva. Masih mengalihkan pandangan darinya. "Aku sibuk," ujarku singkat.
"Give me five minutes," pintanya lagi yang membuatku menghela napas berat. Kutatap dia yang tengah menatapku dengan tatapan memohon, seperti anjing golden retriever yang kemarin kulihat saat berjalan-jalan di Central Park.
"Lima menit. Tidak lebih," putusku pada akhirnya. Dia tersenyum sumringah. Aku mengangkat tanganku yang masih dicengkeramnya. "Tapi, lepaskan ini dulu."
Dia langsung melepaskannya dan aku langsung mengurut pergelangan tanganku.
"Di dapur saja, Le?"
"Terserah."
Arkhano berbalik dan memimpin jalan untuk kembali ke dapur. Dia duduk di kursi dapur, berhadapan denganku.
"Cepat!" ujarku saat baru duduk.
"Ale."
"Kamu hanya punya waktu lima menit. Jangan meny--"
"Baiklah, baiklah." Kulihat dia menarik napas panjang sebelum bicara denganku lagi.
"Aku minta maaf, Ale."
Alisku langsung mengerut. Maaf, katanya? Maaf untuk yang mana? Yang sudah lewat dua minggu itu?
"Maaf kenapa?" tanyaku lagi. Kali ini, aku tidak mengalihkan tatapan darinya. Biar saja aku terlihat seperti sedang mengintrogasinya. "Memangnya kamu salah?"
"Maaf karena kejadian yang waktu itu. Aku impulsif dan langsung marah padamu," ujarnya yang menunduk sejenak, sebelum menatapku lurus.
"Kenapa kamu langsung marah padaku?"
"Ale..." Arkhano menatapku dengan memohon. "Tidak bisakah kamu langsung memaafkanku saja?"
Aku berdecak kecil dan mengalihkan pandangan darinya sejenak. "Kalau kamu saja tidak tahu letak kesalahanmu, untuk apa minta maaf? Minta maaf memang mudah, Arkhano, semudah kamu mengulangi kesalahan lagi."
Dia menghela napas panjang.
"... aku salah. Aku langsung marah padamu karena Cika terlihat seperti akan menangis. Aku tidak tega melihatnya," ungkap Arkhano yang membuatku terkekeh masam.
Aku menatapnya lagi. "Kenapa baru minta maaf sekarang? Kak Cika yang menyuruhmu?"
"Bukan... bukan...!" Dia terlihat panik. "Aku... aku kemarin bertanya pada Cika. Kenapa dia berekspresi seperti itu saat kamu berbicara seperti itu?"
"Bicara seperti itu, yang seperti apa?"
"Ah, Ale...." Wajahnya frustrasi, memintaku untuk tidak bertanya lebih banyak. Namun, siapa yang peduli? Aku? Tidak lah. Malah aku ingin dia mengungkapkan semuanya.
"Katakan, Arkhano!" pintaku padanya dengan tegas.
"Baiklah, kalau itu maumu. Kamu bertanya arti nama Czecheska dan aku... aku langsung menuduh kamu telah mencemooh namanya!" seru Arkhano terlihat frustrasi. Napasnya sedikit tersengal. Membuatku bertanya-tanya, sesulit itukah untuk mengakui kesalahanmu sendiri?
"Puas, kan?" tanya Arkhano sembari memejamkan mata. Aku menghela napas pelan, kemudian tersenyum tipis.
"Terima kasih. Akhirnya kamu mengakui kesalahanmu yang telah menuduhku itu," ujarku merasa lebih lega.
"Kamu sudah memaafkanku? Sudah tidak marah?"
"Belum. Ada yang belum ku ketahui. Kamu tahu itu, kan?" ujarku sembari turun dari kursi, lalu mengambil segelas air putih, kemudian meletakkannya di depan Arkhano yang memperhatikan pergerakan ku sejak tadi.
"Minumlah. Kamu terlihat kesulitan," ujarku sembari tersenyum. Arkhano menatap segelas air putih dan aku secara bergantian. Aku menaikkan sebelah alis dan tetap tersenyum. "Kenapa? Minum saja. Tidak diracun kok."
"Heh! Aku tahu." Arkhano mengangkat gelas itu. "Tapi, kamu terlihat kejam. Jangan tersenyum seperti itu!"
Aku tertawa mendengarnya, lalu kembali duduk di hadapan Arkhano, dan memandanginya yang sedang minum, seolah baru menemukan oase di tengah gurun.
"Sudah?" tanyaku saat melihat airnya telah tandas. "Mau minum lagi?"
Dia menggeleng. "Sekali lagi, aku minta maaf, Ale."
"Iya, aku tahu." Aku mengangguk paham. Sudah cukuplah bagiku mendengar permintaan maafnya yang mudah itu.
"Apa yang kamu tanyakan pada Kak Cika sehingga kamu baru minta maaf padaku sekarang?"
"Itu...." Dia mengalihkan tatapan sejenak dariku, lalu menatapku lagi dengan canggung. "Tidak bisakah itu menjadi rahasia saja? Aku agak malu kalau mengatakannya."
"Bagus, jadi katakanlah." Aku menopang wajah di hadapannya. Siap untuk mendengar alasan Cika yang membuat kami tak bertemu dan tak bertegur sapa selama dua minggu.
"Kamu tidak dengar, Le? Kubilang, aku agak malu!" serunya melayangkan protes padaku.
"Aku mendengarnya. Jadi, tolong katakan alasannya. Memangnya kamu tidak tahu? Dia memperlakukanku seolah-olah aku yang paling salah. Jadi, aku berhak tahu dong alasan di baliknya," ujarku teguh pendirian.
"Astaga... bisa gila aku!" ujar Arkhano sembari mengacak-acak rambutnya.
"Kamu saja yang gila. Aku masih ingin waras," ujarku spontan yang membuat Arkhano menatapku malas. "Hehehe... jadi, katakan. Apa itu?" kataku lagi.
"Aku akan tenggelam karena malu setelah ini."
"Oh, kamu mau jadi gila atau tenggelam?"
"Ck, sudahlah. Kamu jadi menyebalkan, Ale." Dia menatapku yang tersenyum lebar, menanti jawaban darinya. Lagi-lagi dia menghela napas. Sepertinya Arkhano punya kebiasaan menghela napas ketika hendak membicarakan hal penting yang memberatkannya.
"Cika mengatakan padaku, saat kamu menyebutkan nama Czecheska dengan sangat fasih, membuat dia teringat dengan mendiang ayahnya yang baru meninggal."
"Astaga, astaga!" Aku seperti hampir jatuh dari kursi ketika mendengarnya. Namun, Arkhano yang menatapku tajam, membuatku kembali duduk dengan tenang walaupun aku gemas? Merasa sedikit konyol? dengan alasannya.
"Aku turut berduka," ujarku.
"Ya, kamu katakan sendiri lah pada orangnya."
"Tidak, tolong sampaikan saja," tolakku spontan.
Arkhano menghela napas pelan. Dia menatapku lurus. "Dan nama Czecheska adalah nama pemberian dari ayahnya," sambungnya lagi.
Aku mengurut kening, tidak pusing, hanya sedikit frustrasi saja karena alasan yang seperti itu, bisa-bisanya meregangkan hubunganku dan Arkhano.
"Jadi maksudmu, aku mengingatkan dia pada mendiang ayahnya?"
"Kurang lebih begitu," ujar Arkhano yang menutupi mulut dan hidungnya dengan tangan. Aku paham kenapa dia malu sampai ingin gila dan tenggelam.
"How sad my life," gumamku sembari menunduk.
Aletta POV flashback end.
———