Chapter 2 - Kopi

Rembulan tahu laki-laki yang duduk disebelahnya beberapa kali melihat ke arahnya. Namun novel yang berada ditangannya terlalu sayang untuk diabaikan. Dia lebih memilih membaca novel daripada menuntaskan rasa penasaran laki-laki itu.

Lagipula buat apa sih dia melihat ke arahku? Adakah yang salah dengan sikapku? Aku merasa tidak merugikan siapapun?

***

Raditya memejamkan mata, berusaha untuk tidur, setelah dia beberapa kali melirik ke arah perempuan yang sangat asyik dengan bacaannya. Buku apa sih yang dibacanya? Sebegitu baguskah?

Mendadak perempuan itu menutup bukunya, dan mencengkram pegangan kursi pesawat dengan kuat. Matanya terpejam. Raditya merasa lucu melihat pemandangan disampingnya. Tanpa sadar bibirnya membentuk senyuman. Mulutnya mulai usil menggoda, "Ehmm! takut terbang? Baru pertama kali terbang?"

Perempuan itu membuka mata dan menoleh ke arah Raditya. "Ini bukan pengalaman pertama naik pesawat. Aku selalu takut saat pesawat harus take off. Tahukah kamu bahwa ini salah satu saat paling krusial dalam penerbangan selain saat pesawat landing?"

Wajahnya masih memancarkan ketakutan. Raditya tak berani menggodanya lagi.

Perempuan itu memandang lurus ke depan, tak bersuara. Raditya sudah kehilangan minat untuk tidur. Dia ingin bicara dengan perempuan yang duduk disebelahnya. Dia suka mendengar suaranya, mendengar penjelasannya, mendengar nada bicaranya yang seperti mengalun. Dan satu lagi Raditya suka saat perempuan itu lebih memilih menggunakan kata Aku dan Kamu bukan Elo-Gue.

"Buku apa yang kamu baca?"

"Oh, novel karya Remy Silado. Namaku Mata Hari."

"Seorang mata-mata perempuan."

"Ya ya, kamu sudah membacanya?" Perempuan itu bertanya antusias.

"Aku pernah membacanya, tapi belum selesai."

"Aku hampir menamatkan membaca novel ini."

"Kamu suka membaca novel? Genre apa yang kamu suka?"

"Sebenarnya hampir semua genre aku baca dan suka. Walaupun genre seperti science fiction terkadang terlalu berat untukku. Dulu membaca hanya sekedar hobi pengisi waktu luang, tapi sekarang jadi kebutuhan." Perempuan itu tersenyum manis. Raditya tidak bisa melepaskan tatapan matanya dari perempuan itu.

"Oh ya, kenalkan namaku Raditya." Dia mengulurkan tangan. Raditya merasa perempuan ini pasti tidak mengenalnya, dia nyaris bertanya "Selama ini kamu tinggal di planet mana sih sampai tidak mengenal aku?"

"Namaku Rembulan."

"Sepertinya nama kita berlawanan makna, Raditya berarti matahari dan kamu adalah Rembulan." Perempuan itu hanya tersenyum menanggapi perkataan Raditya.

"Kamu tadi yang dikerubungi beberapa perempuan?" Rembulan lagi-lagi tersenyum manis.

"Hahaha iya, cukup merepotkan di saat-saat genting. Aku nyaris terlambat chek in."

"Aku mengira mungkin kamu salah satu idola."

"Kamu benar-benar tidak mengenalku?"

"Kamu seorang penyanyi pendatang baru, aktor pendatang baru atau seorang youtuber terkenal?"

Raditya nyaris meledak tertawa, dia terlalu percaya diri bahwa seluruh masyarakat Indonesia pasti mengenalnya sebagai idola baru, ternyata ada satu yang nyempil duduk disebelahnya sama sekali tidak mengenalnya.

"Aku seorang aktor, lebih sering bermain sinetron laga." Dan perempuan itu hanya ber-oh panjang lalu tersenyum.

"Maafkan aku, sungguh aku tidak mengenalmu. Sudah bertahun-tahun aku tidak menonton televisi." Wajahnya terlihat bersalah.

"Nggak apa-apa, itu bukan hal yang penting. Sekarang kita sudah berkenalan. Dan kamu? Apa kesibukanmu saat ini? Maafkan kalau aku terlalu usil bertanya?"

"Aku seorang penulis. Lebih tepatnya penulis novel. Tapi aku tidak setenar Dewi Lestari, Ayu Utami, Clara Ng, Ika Natassa atau Marga T. Aku jauh dari itu."

"Aku jadi penasaran pengen baca novelmu?"

***

Aktor? Dia seorang aktor? Ya Tuhan, betapa buruk pengetahuannya soal dunia selebritas. Pantas saja dia tadi menatap tajam ke arahnya. Mungkin tak percaya, ada makhluk yang tak mengenal dirinya.

Ah, kan tak semua orang harus mengenal dia kan? Mungkin mama yang suka nonton sinetron juga belum tentu mengenal dirinya, apalagi dia lebih sering bermain sinetron laga. Mama kan penggemar sinetron percintaan. Atau Sarah yang teman-teman bergaulnya beberapa dari kalangan selebriti juga belum tentu mengenalnya. Untungnya laki-laki yang disampingnya ini ramah. Raditya....nanti aku akan mencari tahu di mesin pencarian.

Sebagai seorang aktor penampilannya biasa saja, kaos tanpa kerah dan celana jeans. Tapi Rembulan yakin dibalik pakaiannya, pasti tubuhnya terlihat luar biasa, tercetak jelas dari kaos putih yang dipakainya.

Mendadak wajahnya jadi bersemu. Apa-apaan sih aku jadi berpikir seperti ini?

Ingin rasanya Rembulan menoyor kepalanya karena pikiran jorok itu mendadak muncul di otaknya.

Suasana menjadi canggung, tenggorokannya terasa kering. Ternyata berkenalan dengan seorang aktor bertubuh bagus membawa dampak buruk baginya. Dianya saja yang otaknya nggak beres.

***

"Ehm!" Raditya berdeham, untuk menarik perhatian Rembulan. Matanya melirik Rembulan yang memegang cangkir kopi.

"Kamu tidak meminum kopinya?"

"Tadi sebenarnya aku sudah minum kopi yang aku beli, ini kopi kedua yang aku minum pagi ini. Sebenarnya aku lebih suka minum kopi buatanku sendiri," katanya.

"Kapan-kapan aku boleh mencicipi kopi buatanmu?"

"Hah! Itu hal yang tidak mungkin. Belum tentu kita ketemu lagi."

Raditya tertawa kecil, "Ya, aku tahu. Tapi kemungkinan itu selalu ada kan?Suatu saat, aku penasaran karena sepertinya kopi buatanmu enak."

"Bukan cuma aku yang bilang kopi buatanku enak. Setiap yang meminumnya pasti bilang enak. Baiklah suatu saat aku akan mengundangmu untuk minum kopi buatanku," Rembulan tersenyum bangga. Tidak sia-sia selama ini dia selalu mengutak-atik resep kopi sampai menemukan formula yang pas.

"Adakah seseorang yang istimewa, yang selalu menikmati kopi buatanmu?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Raditya. Tiba-tiba terselip rasa tidak rela kalau ada laki-laki lain yang setiap hari mendapat suguhan istimewa kopi buatan Rembulan.

Mata Rembulan membulat menatap Raditya, pertanyaan macam apa itu? Laki-laki ini aneh sekali?Lagipula dia belum mencicipi kopiku, dia sepertinya yakin sekali kopiku enak dan pas dilidahnya.

"Aku tidak tahu apa maksud pertanyaanmu. Tapi hampir setiap hari aku membuat kopi untuk kunikmati sendiri."

Raditya tersenyum lega, dari tadi dia menunggu jawaban dari Rembulan.

"Andaikan aku bisa sering-sering menikmati kopi buatanmu." Raditya berkata lirih. "Bisa saja aku akan merindukan kopimu dan mungkin juga dirimu?"

"Mungkin?Aku yakin kamu akan merindukan kopiku dan aku, karena aku yang membuatnya." Rembulan tersenyum lebar. Dia begitu percaya diri.

Apa? Rindu? Dan dia membalas pernyataan laki-laki ini. Lama-lama otaknya jadi konslet. Kenapa dengan laki-laki ini dia jadi lancar berbicara? Apa itu merindukan dirinya? Duh, kenapa sih sebelum bicara dia tidak melihat dampaknya. Sekarang Raditya tersenyum lebar padanya. Semoga Raditya tidak berpikir macam-macam tentang dirinya.

Apa karena dia terlalu lama sendiri? Pikirannya jadi melantur saat bicara dengan laki-laki menarik. Dia juga punya beberapa teman laki-laki yang menarik, tapi tidak pernah membuat otaknya jadi begini. Oh, Tuhan tolonglah hamba untuk tidak terus mempermalukan diri sendiri.