Meskipun Lu Bochuan tidak mengerti apa maksud dari kata-kata Lu Zijia, tapi dia yakin itu bukan kata yang baik. Ekspresinya semakin menggelap.
"Gadis Pemberontak, kamu masih tidak mau mengakui kesalahanmu!"
Pada dasarnya, Lu Bochuan tidak akan mungkin akan mengaku jika dia yang telah menjebak putrinya dan mengirimnya ke atas tempat tidur seorang pria.
Selain itu, Lu Bochuan juga ingin Lu Zijia sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu memang bersama Mu Tianyan semalam.
Dengan cara ini, Lu Bochuan akan punya alasan untuk mendatangi kediaman keluarga Mu dan meminta 'pertanggungjawaban' untuk sang putri dengan menyuruh Mu Tianyan menikahi putrinya.
Rencana ini sudah dia rancang dengan matang bersama pihak keluarga Mu. Keluarga Mu menekankan bahwa rencana ini harus berhasil.
Jika tidak, maka keluarga Lu tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa.
Memikirkan imbalan yang dijanjikan oleh keluarga Mu membuat kilatan keserakahan melintas di bola mata Lu Bochuan.
Lu Zijia bisa menangkap sorot keserakahan di mata Lu Bochuan. Dia tersenyum sinis, "kesalahan? Memangnya apa salahku?"
Lu Bochuan berpikir bahwa Lu Zjia telah menyerah. Jadi, dia semakin menyerangnya. Lu Bochuan mengabaikan kata-katanya yang mungkin akan menyakiti sang putri.
"Apa kesalahanmu? Kamu masih berani bertanya!"
"Kamu dengan tidak tahu malunya merayu tunangan kakakmu. Bahkan, memohon padanya untuk menjadi gundiknya."
"Untungnya, Nanbo sangat mencintai kakakmu dan menolakmu. Dia yang memberitahuku tentang masalah ini dan memintaku untuk tidak menyalahkanmu."
"Sementara dirimu? Setelah ditolak, kamu malah berbalik dan pergi ke hotel bersama pria lain. Bagaimana bisa aku memiliki putri yang tak tahu malu sepertimu yang bisanya hanya mencoreng nama baik keluarga."
"Jika aku tahu akan seperti ini, seharusnya aku sudah mencekikmu saat kamu baru lahir!"
Lu Bochuan begitu marah hingga tidak menyadari betapa ironisnya ucapannya.
"Lu Bochuan! Dasar pria munafik! Apa hakmu menuduh Jijia seperti itu."
"Jangan lupa, putrimu dengan gundikmu yang tak tahu malu itu sedang ada di depanmu saat ini."
"Buka matamu lebar-lebar!"
Ketika Du Xiangjun mengucapkan kalimat terakhir, telunjuknya mengarah pada Lu Wanyue yang berdiri di samping Tuan Besar Lu.
Saat ini, Du Xiangjun merasa sangat membenci dirinya sendiri karena pernah dibutakan oleh cinta pria yang semengerikan itu.
Lu Wanyue yang tiba-tiba ditunjuk pun memasang ekspresi tak percaya dan sedih.
Lu Wanyue tidak menangis ataupun membela diri. Dia hanya berdiri diam dengan kepala menunduk. Namun, sikapnya justru membuat orang merasakan kesedihannya.
Sekaligus membuat orang juga merasa kasihan.
Benar saja, api kemarahan Lu Bochuan semakin berkobar saat melihat kesedihan Lu Wanyue.
"Du Xiangjun, jika kamu benar-benar tidak menghormatiku, maka ceraikan aku. Keluarlah dari kediaman Lu."
"Berhentilah berteriak seperti jal*ng di sini. Dasar tak tahu malu. Aku malu melihatmu."
Di luar, Lu Bochuang tampak begitu marah. Akan tetapi jauh di lubuk hatinya, dia juga merasa sedikit bersalah.
Bagaimanapun juga, perselingkuhannya sebelum dan selama pernikahan. Keputusannya untuk membawa sepasang anak hasil perselingkuhannya memang sebuah fakta.
Tapi, apa dia mau mengakuinya? Tentu saja tidak!
Entah sudah berapa kali terjadi pertengkaran semacam ini selama puluhan tahun terakhir. Setiap kali hal ini terjadi, Du Xiangjun selalu bersikeras tidak mau bercerai. Akhirnya, dia menyerah dalam pertengkaran.
Di saat yang bersamaan, hal itu justru membuat Lu Bochuan dan Tuan Besar Lu semakin tidak menyukai sepasang ibu dan anak ini.
Lu Bochuan percaya pertengkaran kali ini pun akan berakhir sama seperti sebelumnya.
Namun tak diduga, ternyata kali ini Du Xiangjun langsung menyetujuinya.