Setelah membersihkan diri dengan mandi, Gil menata seragamnya yang akan ia gunakan besok. Ponsel Gil yang berada di atas nakas berdering. Gil meraih ponselnya.
"Hallo! Ada apa, Papa?" sahut Gil setelah menggeser layar ponselnya, menerima panggilan dari kontak bertuliskan 'Papa'.
"Putraku Gil? Maaf ya, Sayang! Minggu ini papa belum bisa pulang. Masih banyak kerjaan soalnya." Suara dari seberang telepon, Tuan Ludwig.
"Oh begitu ....?" Gilbert Ludwig menyahut lirih. Dibantah pun tidak akan bisa membuat papanya berubah pikiran dan pulang segera.
"Papa janji akan pulang Minggu depan. Kamu jangan lupa makan yang benar ya, Son! Papa sayang sama kamu, Gil!" seru suara Tuan Ludwig dari seberang telepon. Dia adalah sosok ayah yang memiliki dua putra, Justin dan Gilbert. Namun, Tuan Ludwig sangat sibuk dengan pekerjaannya.
"Iya, Gil juga sayang sama Papa kok." Gil menyahut. Padahal, sebenarnya ia begitu kecewa pada sikap papanya itu.
Gil mengakhiri telponnya dan mengembuskan napas kasar.
"Huuft ... semingguan ke depan, sendirian lagi deh!" gumam Gil. Setelah itu, Gil membanting tubuhnya di kasur empuk big size ini. Namun, daripada menghabiskan waktu di rumah mewahnya yang sepi ini, Gil lebih senang menginap di rumah Vin, temannya.
Malam sudah semakin larut, Gil hanya sendirian menonton siaran bola di tv yang berada di ruang tengah.
Terdengar seperti derap langkah kaki mendekat ke arah Gil. Namun, ketika Gil menoleh, tidak ada siapa pun di belakangnya. Mungkin hanya perasaannya saja, batinnya.
Gil mencoba abai, dan kembali memfokuskan diri untuk menonton siaran bola kesukaannya. Gil merasakan ketakutan, tapi Gil tidak berani berteriak. Lagipula jika Gil berteriak pun tidak mungkin ada orang yang datang. Sedangkan, di rumah ini hanya ada Gil seorang diri dan satpam yang berjaga di gerbang depan sana. Dan itu sangat jauh dari tempat Gil berada saat ini.
Gil mulai merasakan hawa dingin di sekitarnya. Ia mematikan saluran televisi dan berlari ke arah kamarnya, yang berada di lantai dua.
Sesampainya di kamar, Gil mengunci pintu kamar rapat-rapat dari dalam. Tubuhnya jatuh dan kini duduk di lantai. Gil memegangi dadanya yang berdegup kencang karena dia berlarian tadi.
Gil menghela napas dalam-dalam, setelah itu mengeluarkannya perlahan. Ia mengulangi kegiatan itu berkali-kali. Setelah dapat menstabilkan napasnya, Gil bangkit dan menuju ke meja belajar.
Bukan untuk belajar, tapi untuk main game di komputer.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar sebuah ketukan di jendela kamar Gil ini.