*flashback on*
Sebuah pesawat tampak terlihat dari balik kaca besar bersekat di dalam airport. Sepertinya pesawat itu sedang diisi bahan bakar. Sesaat lagi para penumpang juga akan boarding. Pesawat itu akan menjemput banyak orang, termasuk orang-orang yang Tasya cintai. Ayah dan Ibunya akan terbang melintasi benua di atas lautan lepas bersama dengan kekasihnya. Mereka pergi bukan tanpa alasan yang jelas, melainkan ada sesuatu yang sangat penting yang harus mereka urus. Pernikahan. Iya, Tasya akan menikah dengan kekasihnya.
Tasya berdiri dari bangku tunggu dan berjalan sejajar dengan sang kekasih. Menikmati waktu yang terasa berjalan cepat sekali. Tangannya bergandengan dengan calon suaminya yang berdiri di sebelahnya. Matanya menangkap sosok orangtuanya yang ikut berjalan mendekat. Begitu orangtuanya berada tepat di hadapan mereka, sang kekasih bertanya sedikit tentang keadaan sang calon mertua.
"No need to worry, Vernon. We'll be fine. Barang-barang itu tidak berat. Terima kasih kau sudah menemani Tasya."
Vernon Davis. Lelaki berkebangsaan negeri Paman Sam ini tentu memiliki keluarga yang menetap di Amerika. Meskipun sang ayah berkebangsaan Indonesia, sang ayah sedari muda sudah menetap di Amerika untuk mengejar mimpinya. Perlu diketahui, kedua orangtuanya adalah pelukis. Bahkan mereka bertemu saat adanya pameran yang melibatkan mereka berdua di dalamnya.
Orangtua Vernon ingin pernikahan mereka dilaksanakan di kota kelahirannya, New York. Atas dasar itulah, Vernon beserta orangtua Tasya pergi ke benua seberang untuk membahas lebih lanjut detail pernikahan mereka, terkecuali Tasya. Ia tidak diizinkan ikut serta karena akan segera diadakannya ujian masuk kampus yang sudah lama menjadi impiannya. Jangan tanyakan tentang latar belakang pendidikan Vernon. Vernon itu memiliki otak yang sangat encer sampai-sampai di usia yang hanya terpaut empat tahun lebih tua dari Tasya itu sudah lulus dengan gelar Magister dan bahkan sudah dipercaya sebuah perusahaan besar untuk memegang jabatan yang sangat penting di perusahaan tersebut.
Tasya tampak senang melihat keakraban kekasihnya dengan keluarga intinya. Awalnya ayah Tasya bersikeras melarang dirinya bersama seorang laki-laki saat usianya baru menginjak 15 tahun. Terlebih lagi sang lelaki bisa saja sewaktu-waktu membawa Tasya pergi jauh darinya. Ayahnya hanya tak mau berjauhan dengan putri semata-wayangnya.
Kedua orangtuanya berpamitan, ingin masuk lebih dulu setelah sebelumnya memberikan pelukan pada Tasya. Menyisakan Tasya dan Vernon di sana. Tasya membalikkan badan dan berjalan lebih dekat dengan pintu boarding dan mau tak mau Vernon pun mengikuti.
Vernon meraih jemari Tasya yang berada bebas di samping tubuhnya. Mata itu, mata yang penuh kekhawatiran dan Vernon bisa melihatnya. Dari samping, ia menyentuh pipi Tasya dengan sebelah tangannya yang lain, mencoba menyalurkan ketenangan di sana.
Tasya menoleh. Sentuhan lembut yang sangat disukainya menyapa hangat pipi chubby miliknya. Ia pun ikut meletakkan tangannya di atas punggung tangan sang kekasih. Matanya mengamati seluk beluk wajah oriental milik Vernon. Tampan. Satu kata yang mampu Tasya pendam selama 3 tahun mereka bersama.
"Everything's gonna be alright, babe."
Tasya tahu, satu kata yang mampu memberikan ketenangan. Baginya Vernon adalah dunianya, porosnya, bagaikan bulan yang mengitari bumi. Kata-kata kekasihnya selalu tepat dan tidak pernah sekalipun tak akurat. Namun, kali ini, sekalipun dirinya merasa tenang, tak dapat dipungkiri bila ada sedikit rasa khawatir di dirinya.
Vernon mendekat, matanya mengamati wajah Tasya, seolah tak rela meninggalkan sang kekasih sendirian. Vernon pun tersenyum, ia semakin mendekatkan wajahnya, dan hanya berselang 2 detik sebelum ia mencium kening calon istrinya. Mereka berpelukan mesra meski banyak penumpang yang sedang antri untuk menunjukkan boarding pass. Mereka tampak tak memperdulikannya. Tak lama setelahnya, Vernon melepas pelukannya dan mengusap kepala Tasya dengan sayang.
"Janji kamu bakal sampai selamat di sana."
Vernon menatap mata kekasihnya lamat kemudian tersenyum lembut. Ia berujar, "Pasti. Aku akan langsung kabari kamu sesampainya di sana atau selagi aku transit. Aku janji."
Tasya mencoba percaya, ia tak mau membuat Vernon jadi terganggu dengan ucapan dan pikirannya yang kemana-mana. Ia memilih tersenyum dan memeluk singkat Vernon sekali lagi
"Save flight, sayang...."
Attention, please. This is the final boarding call for passengers Lufthansa Airlines Flight 943 to New York, boarding at gate A-3. The final checks are to be finished and the doors of the aircraft are to close in approximately five minutes time. Thank you.
Pengumuman bahwa pesawat akan mulai berangkat. Tasya menatap kepergian sang kekasih dari pintu boarding, sambil melambaikan tangan, bibirnya merapalkan 'I love you' untuk sang kekasih. Sekarang, Tasya hanya sendiri, menurutnya. Tapi sebenarnya ada sepupunya yang sedang menunggu Tasya di parkiran sana.
Brak. Suara pintu mobil ditutup dengan kuat. Sepupu Tasya menoleh dan mengisyaratkan Tasya untuk memakai seat belt nya.
"Sudah lovey-dovey dengan kekasih bule lo itu?"
Tasya melirik. Ia tak begitu dekat dengan sepupunya yang satu ini. Entah karena ucapan sepupunya yang begitu tajam atau memang karena kepribadiannya yang introvert.
"Dari pada lo jomblo abadi."
"Gue lagi dekat sama seseorang, asal lo tahu."
"Tetap aja sekarang masih jomblo."
Rin meringis sembari melirik Tasya. Sepupunya ini kenapa bisa-bisanya punya mulut tajam begitu.
Selama di perjalanan tak banyak obrolan yang keluar. Rintia lebih memilih nge-rapp tidak jelas dan Tasya mendengarkan lagu lewat iPod merah kesayangaannya.
30 menit berlalu. Rin menurunkan Tasya di pekarangangan rumahnya. Sebelum pergi, Rintia bertanya, "Anak Agung, lo yakin gak mau ke Bandung bareng gue? Besok lo juga bakal ke kota untuk ikut tes, 'kan?"
Tasya menggeleng. Masih banyak yang harus dipersiapkannya. Ia harus mengepak baju, buku, dan lain sebagainya. Lagi pula ia sudah memesan tiket menuju kota. Sisanya ia bisa minta Rin untuk menjemputnya. Toh, sepupunya itu tidak akan bisa menolak.
Pagi harinya kicauan burung membangunkan Tasya dari tidur lelapnya. Ia melirik jam di atas nakas dan mulai mendudukkan diri sesaat sebelum berdiri.
Tasya membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam agar semuanya benar-benar siap. Ia menarik kopernya ke luar rumah. Sebelum itu, Tasya mengecek layar ponselnya sejenak.
"Di pesawat 'kan gak ada sinyal, bodoh."
Tasya mengunci pintu rumahnya dan kakinya melangkah ke arah di mana halte terdekat berada. Sesampainya di sana ia duduk menatap ke luar jendela. Ia harus tiba siang ini karena tes akan dilakukan sore nanti.
Jemari mungil Tasya menari di atas layar ponselnya. Membuat ketukan ketukan yang berirama asal. Mengirim pesan untuk sepupu tersayangnya.
Beberapa jam kemudian, Tasya sampai di airport yang dituju, Rin sudah berada di sana, berdiri di lobby luas di dekat pintu keluar. Rin langsung mengamit satu tas bawaan Tasya dan berjalan mendahului sepupunya itu. Tasya yang sudah terbiasa pun tak terlalu ambil pusing.
Rin berhenti tepat di depan kampusnya. Ia menurukan Tasya di sana. Ini sudah pukul 1 siang dan sebentar lagi tes ujian masuk untuk Tasya akan dimulai.
"Masuk sana. Gue tunggu di kafe ujung jalan ya. Kalau udah beres, lo ke sana aja."
*
"Selesai juga...." ucap Tasya setelah keluar dari kelas di mana ujian diadakan.
Tasya mengaktifkan ponselnya. Ia melihat siapa yang memenuhi kotak panggilan masuk ponselnya. 'Bibi? Rintia?'. Dahinya mengernyit. Ada apa Gerangan sampai bibi dan sepupunya menghubungi?
Tiin Tiin. Suara klakson mengejutkan Tasya. Ia menoleh dan melihat Rin sudah berada di depan gerbang kampus. Bukankah seingatnya Rin berpesan setelah setelah selesai ujian, Tasya yang harus menghampirinya ke kafe?
Tasya segera berlari untuk segera masuk ke mobil saat Rin meneriakkan namanya begitu heboh. Raut wajah Tasya menunjukkan kebingungan. Pasalnya Rin tak pernah begitu penuh ekspresi seperti saat ini.
"Taysa, mereka hilang. Pa- paman, bibi dan Vernon hilang saat pesawat yang mereka tumpangi terjatuh diterjang badai besar dini hari. Ta-"
Rin menoleh menatap Tasya. Namun, ia mendapati Tasya dengan tatapan kosongnya. Rin memeluk Tasya dengan sigap, memberikan belaian sayang di punggungnya. Rin tahu apa yang dirasakan Tasya. Sedari kecil Tasya hanya memiliki orangtuanya, Tasya tak pernah bisa berteman, atau tepatnya tak pernah mau berteman. Tasya hanya akan menempel pada dirinya. Memang kedekatan yang bahkan mereka berdua sering pungkiri. Tasya anak yang tak pernah menangis ataupun merengek. Di matanya, Tasya anak yang kuat. Tapi kini, ia melihat Tasya seperti anak berusia 5 tahun yang lolipopnya diambil paksa. Tasya menangis meraung-raung di dalam mobil sampai air matanya membasahi baju. Sungguh, ia tak pernah melihat Tasya begitu hancur.
*flashback off*
"Melamun lagi?"
Tasya menoleh dan mendapati Richard di sampingnya. Richard mengulurkan roti isi krim keju dan susu rasa almond kesukaannya. Hei! Apa Richard mengikutinya? Tapi ini 'kan masih di dalam kelasnya.
"Tempo hari gue lihat lo jalan ke sini. Dan gue juga gak lihat lo di kantin padahal udah jam makan siang. Makanlah. Gak baik melamun terus."
Tasya menelisik. Matanya terarah kepada beberapa buku yang Richard jinjing. Rupanya setelah ini Richard ada kelas di sana juga. Saat Tasya ingin melangkah pergi, Richard menahannya. Sontak, Tasya terduduk kembali. Baru saja Tasya ingin protes bila saja Richard menahannya tanpa alasan yang jelas. Namun, kali ini Tasya tercenung karena Richard mengusap sudut matanya dengan ibu jarinya.
"Berbagi akan membuat perasaan kita lebih lega, Tasya."
Tasya terdiam. Ia melirik tatapan lembut milik Richard. Richard terenyuk dan segera meraih makan siang yang tadi ia beli untuk Tasya, memaksa Tasya untuk menerimanya. Richard tahu, Tasya merasa tidak nyaman dengan segala perlakuannya, tapi Richard terlalu peduli sehingga tak bisa sedikit pun mengabaikannya. Segera setelah menerima itu, Tasya berjalan keluar dari kelas itu.
"Semangat Tasya. Jangan menangis lagi." ucap Richard dengan suara lemahnya.