Hari ini hari yang melelahkan untuk Tasya. Mengapa gerangan? Mimik wajahnya memang sudah terkenal datar tapi kali ini tampaknya jauh lebih parah. Sudah datar ditambah masam. Membuat aura hitam menguar dari sana.
Apakah perihal mata kuliah? Iya, betul. Dimarahi dosen karena tidak fokus? Iya, betul juga. Tetapi semua itu tidak akan terjadi bila seseorang yang dianggapnya sebagai pengganggu tidak muncul silih berganti sepanjang hari. Semua membuat konsentrasinya buyar.
"Minggir lo."
Si pengganggu, alih-alih menepi malah menghadapkan tubuhnya tepat di depan Tasya, menghalangi pandangan si gadis. Tasya menatap tepat di mata orang itu dan berkata, "Abis lo terima ini gue bakal pergi dan gak bakal ganggu lo lagi."
Tasya melirik sesuatu yang diulurkan si pengganggu, tampak tak tertarik. Sesungguhnya sejak ia menginjakkan kaki di kampus ini, ia sudah banyak memiliki sesuatu itu. Baginya itu tampak tak berarti. Dengan cepat tangannya menerima sesuatu itu. Dan benar saja, si pengganggu itu dengan cepat menepi dan membiarkan Tasya melewatinya.
'Sampe kapan gue bakal terima beginian, sih? Kayak anak SD aja.' batin Tasya.
Tasya melanjutkan langkahnya ke arah kantin. Perutnya berdemo, minta diisi. Di ujung koridor ia melihat Richard berjalan di depannya, badan yang sedikit tambun itu selalu membungkuk tiap kali berpapasan dengan senior atau pun para dosen. Dengan senyum secerah mentarinya, ia melenggang lebih dahulu memasuki kantin, menghampiri sang kakak.
Beberapa detik kemudian Tasya berjalan lagi, berbelok ke kiri dan mulai mengantri untuk membeli sesuatu di sana. Roti isi krim keju dan susu rasa almond adalah menu yang selalu menemani makan siangnya. Setelah 2 menit mengantri dan mendapat apa yang diinginkan, ia beranjak keluar kantin menuju tempat yang menurutnya nyaman. Tasya mendudukkan dirinya di bangku taman dekat air mancur. Di sana sepi, Tasya menyukainya.
"Hai, Tasya."
Tasya tidak minat menoleh. Ia tahu persis siapa pemilik suara ini.
"Pengganggu satu hilang sekarang datang pengganggu lain," gerutu Tasya. Sedangkan yang duduk di hadapannya hanya terkekeh geli. Hei, dirinya bukan pengganggu. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Tasya. Lagipula ia tulus. Tidak ada maksud jahat.
"Oh, dapat surat cinta lagi? Kali ini dari siapa?"
Yang di hadapannya melirik surat yang sedari tadi dipegang Tasya. Biarpun Tasya yang ia tahu itu sifatnya buruk, tapi ia tak akan membuang surat cinta itu di hadapan orang yang memberi. Yah, setidaknya ia bisa membuangnya di rumah.
"Si Bani itu populer loh. Lo yakin bakal ngelewatin yang ini juga?"
Tasya diam tak bereaksi. Entahlah. Malas mendengarkan mungkin. Ia lebih memilih melanjutkan makan siang yang sempat tertunda itu. Sedangkan yang di hadapannya tersenyum simpul melihat reaksi dirinya.
"Apa lo tuli? Bukannya gue udah pernah bilang kalau gue enggak suka cowok tambun kayak lo, Richard?"
Sosok yang disebut namanya malah sumringah. Seharusnya bila orang normal yang mendengar akan sakit hati bukan? Sebenarnya ada sedikit rasa sakit tapi itu tertutupi dengan rasa senang yang membuncah bagi dirinya. Ini semua karena Tasya menyebut namanya, garis bawahi, namanya.
Tasya melirik lelaki itu. Ia memperhatikan senyum bodoh milik Richard. Lelaki macam apa ini yang sudah dihina berulang kali tetapi masih saja memasang senyum sebahagia itu? Ya, hanya Richard yang begini.
'Luar biasa.' batin Tasya.
"Tapi lo juga kayaknya gak bakal terima satu pun pernyataan mereka, sekali pun mereka populer. Itu artinya lo bisa aja pilih cowok tambun kayak gue gini, 'kan? Haha..."
Richard mendongak melihat Tasya berdiri dan memasukkan surat cinta yang ia terima tadi. Tasya menyampirkan tasnya di bahu kanannya lalu membereskan sampah sampah sisa makan siangnya. Sebelum beranjak dari sana, ia menatap Richard sekilas.
"Di mimpi lo."
Richard tersenyum. Ia menatap Tasya dari belakang. Gadis cantik dengan tubuh proporsional seperti dirinya wajar kan bila memiliki banyak penggemar. Pasti banyak yang menginginkan dirinya untuk dijadikan kekasih. Tak jarang Richard merasa tak pantas. Ia terkadang hanya berani menatap gadis impiannya dari jauh. Meskipun ia juga berani mendekat walau hanya sekedar menyapa dan itu bisa dihitung jari.
Richard tahu semua apa yang terjadi pada Tasya. Mayoritas laki-laki di kelasnya selalu sibuk membicarakan Tasya. Meski Tasya tampak tak bersahabat dengan siapa pun, tetap saja mereka men-dewi-kan dirinya. Yah, memang sudah sepantasnya bila tipe seperti Tasya ini banyak yang mengincar.
"Gue cari-cari ternyata lo ada di sini."
Richard menoleh. Farel rupanya yang menepuk. Richard menaikkan sebelah alisnya, memasang wajah bertanya. Sebelum menjawab, Farel mendudukkan dirinya di sebelah Richard terlebih dahulu. Mengatur napas. Sebab mencari Richard kini tak semudah dulu.
Mereka memang satu jurusan namun mendapat jadwal berbeda di tingkat 3 ini. Hanya ada beberapa sub yang mengharuskan mereka berada di kelas yang sama. Itulah alasan mengapa Farel tampak kesusahan mencari sahabatnya ini. Padahal semester-semester sebelumnya mereka selalu tampak menempel karena memang jadwal mereka sama persis.
"Ray. Sejak hari pertama bahkan sampai hari ini anak itu membuatku terlambat, 5 hari berturut-turut. Adek kurang ajar."
Richard terkekeh. Jadi, alasan bocah itu gugup tempo hari adalah ini, batin Richard. Rayhan, anak itu senang sekali membuat Farel kesal. Alhasil Richard menepuk pelan bahu Farel beberapa kali guna menenangkannya.
"Seharusnya ibu membelikannya motor juga. Jadi dia gak perlu bawa kabur motor gue tiap pagi. Arghh gue jadi gak bisa menjemput Kak Rintia."
Farel menarik-narik rambutnya frustasi. Ia duduk menghadap Richard selagi bercerita dengan semangat atau bisa dibilang kesal yang membara. Seharusnya Farel bangun lebih awal dari adiknya bukan?
"Hei, Richard. Lo yakin gak mau gue bantu?"
Richard meregangkan tubuh bagian atasnya lalu menoleh. Ia tersenyum hangat pada sahabatnya membuat Farel mengerti dengan apa jawabannya.
"Lo tahu, kak Rin itu sepupuan sama Tasya. Lo sempet tanya perihal tempo hari di taman ke gue, 'kan? Ya, walau gak begitu dekat, tetapi Kak Rin tahu segala sesuatu yang mungkin ingin lo tahu. Gue bisa tanyain ke kak Rin buat lo."
"Thank you El, tapi mungkin gak sekarang."
Farel mengangguk paham. Sahabatnya ini memang benar-benar membuatnya seperti sahabat yang tak berguna. Farel menghela nafasnya perlahan. Ia melirik jam tangannya.
"Eum, Chie. Apa lebih baik kita bolos kelas aja?"
Richard menoleh, memiringkan kepalanya. Tampak bingung dengan tawaran Farel. Ia membiarkan otaknya memproses. Seberkas ingatannya mulai terbuka. Ia pun ikut melirik jam tangannya. Menatap dengan was-was.
"El, apa 5 menit cukup untuk sampe kelas dengan selamat?"
Mereka saling bertatapan. Ada beberapa bulir keringat turun mengaliri pelipis mereka.
"Chie! Ayo cepat! Lari atau dosen killer itu bakal kasih nilai D buat kita berdua!"