"Itu Nova juga senang lho kalo nak Pram ada disini, kayaknya dia manja dan gak rewel kalo sama nak Pram." sahut ibuku.
"Iya bu.. saya anak bungsu, jadi gak pernah ngerasain gimana punya adik. Nova saya anggap seperti adik saya juga bu."
Suasana penuh keakraban dan kekeluargaan itu membuatku bahagia, apalagi melihat respon kedua orang tuaku yang sangat baik terhadap Pram. Sepertinya keadaan mulai membaik untukku.
Kami berdiri diteras, untuk melepaskan kepergian Pram. Dengan takzim, Pram menyalami kedua orang tuaku dan menciumi punggung tangan mereka. Yang membuatku kagum dan merasa lebih bahagia adalah pelukan yang diberikan oleh bapak dan ibuku padanya.
"Hati-hati dijalan ya nak." pesan ibuku segera setelah melepaskan pelukannya.
"Iya bu."
Aku hanya menyalami Pram, karena masih sungkan terhadap kedua orangtuaku.
"Hati-hati dijalan ya Pram, semoga kuliahnya lancar." pesanku sambil menyalaminya.
Hujan semalam masih belum berhenti, walaupun yang tersisa hanyalah gerimis. Saat mobil yang hendak keluar dari pekarangan rumahku, aku teringat satu hal. Kunci rumahku! Aku segera berlari, mencoba menghentikannya.
"Pram, Ibu titip rumah ya. Ini kuncinya, kalo malam tolong lampunya dinyalain biar terang." pesanku.
Aku berdiri disisi kiri mobil itu, dan harus sedikit membungkuk agar bisa berbicara dengan Pram. Jalan kecil didepan rumahku sangat sepi, karena hari masih lumayan gelap, ditambah dengan gerimis dan hawa dingin. Pram meraih kunci itu, dan aku mendekatkan wajahku padanya.
"Cium aku." bisikku.
Kaca mobilku sangat gelap, sehingga orang tuaku tak mungkin melihat kedalam mobil. Segera saja Pram melumat bibirku dengan lembut hingga hampir satu menit lamanya.
Aku benar-benar sudah gila dan nekat.
Akhirnya Pram pun pergi disertai lambaian tangan kami.
"Anak yang baik" guman ibuku, sambil berlalu, masuk kedalam rumah.
'Sangat baik, jauh sangat baik dan hebat!' gumaku dalam hati setelah mendengar ucapan ibu.
Nova masih terlelap, sementara bapak memilih menghabiskan waktunya didepan televisi. Kutarik selimutku, dan mencoba mengingat kembali kegilaanku semalam.
Seumur hidupku, hanya suamikulah yang pernah melihat tubuhku secara utuh, hanya dia satu-satunya pria yang pernah menyentuhku. Bahkan ia nelakukannya saat kami telah menikah.
Harus kuakui, Pram lebih piawai dalam hal memuaskanku, walaupun aku masih belum merasakan disetubuhi olehnya. Namun, caranya memperlakukanku membuatku nyaman dan membuatku terbuai.
Mungkin karena setelah sekian lama tak merasakan sentuhan lelaki, sehingga timbul kegilaan, seperti yang kulakukan semalam. Aku bahkan memintanya menciumku, saat ia hendak pulang, dihadapan kedua orangtuaku. Aku benar-benar gila!
Aku tak pernah merasakan bagaimana sensasi bercinta dengan laki-laki lain, selain suamiku. Kupikir, selama ini aku telah merasakan kedahsyatannya, dan ternyata aku salah, benar-benar salah. Pram, lelaki yang jauh lebih muda usianya telah membuka tabir dunia lain yang belum pernah kujajaki sebelumnya. Ia membuatku terlihat seperti seorang remaja yang baru saja merasakan nikmanya bercinta.
Hari berlalu namun tak ada satupun kabar tentang lamaran pekerjaan yang kukirimkan
"Sabar… mungkin memang belum rejeki, nak." kata ibu.
"Iya bu, mungkin Rindi harus kembali ke kota, cari lowongan lain lagi." jawabku.
Ibu mengusap lembut kepalaku, dan membiarkanku menyandarkan kepalaku dipundaknya. Aku beruntung, memiliki kedua orang tua yang selalu mendukungku, selalu memberikan semangat padaku. Aku yakin ibu masih memikirkan masalah yang menimpaku, masalah dengan suamiku yang sepertinya memang akan berujung dengan perceraian.
Sungguh pahit, sebuah kenyataan pahit menimpaku, menimpa keluarga kecilku. Dalam hatiku pun demikian, bimbang dan bingung menatap masa depanku, bingung bagaimana akan mempersiapkan masa depan Nova, putri kecilku.
Dan Pram. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, aku tidak bisa menggambarkannya. Kehadirannya seperti pelangi setelah badai, sungguh indah, sangat mempesona. Dan aku sedang menatap pelangi itu, sedang merasakan keindahannya. Dan layaknya pelangi, hanya akan bertahan sesaat, lalu akan menguap, menghilang entah kemana.
Mungkin hanya memori, hanya kenangan yang akan tersisa, sebuah kenangan indah yang layak untuk kusimpan dalam hatiku, dalam hidupku.
Dan untuk saat ini, biarlah kurasakan indahnya, biarlah Nova, putri kecilku merasakan indahnya pelangi itu. Hidupku akan terus berlanjut, terus berjalan. Apa yang menantiku dimasa depan, biarlah terjawab oleh waktu yang bergulir. Aku yakin, akan ada mentari esok pagi, akan ada kebahagiaan menantiku dimasa depan. Yang kulakukan saat ini hanyalah terus berjalan, terus berusaha dan berharap aku akan sampai dimasa itu.
*
Seperti kata ibuku, mungjin aku belum berjodoh dengan sebuah pekerjaan, begitulah keadaan yang harus kujalani. Penghasilan yang berasal dari kost 3 kamar milikku tentu saja tidak bisa kuandalkan sebagai penopang ekonomi untuk Nova dan diriku sendiri. Tak mungkin pula aku mengharapkan kedua orangtuaku untuk membiayai kehidupan kami berdua.
'Hhuufffff..' sesulit ini kah hidup yang harus kujalani?
*
Hari berganti minggu, dan sepertinya aku harus kembali mulai mencari lowongan pekerjaan, mulai mengirimkan lamaran lagi. Sudah 3 minggu berlalu sejak pertemuanku dengan Pram dirumah orang tuaku, dan belum juga ada informasi lowongan pekerjaan darinya.
Setelah berdiskusi dengan kedua orangtuaku, kuputuskan untuk kembali kerumahku, mulai mencari pekerjaan lagi. Aku sudah bertekad, akan melakukan pekerjaan apapun untuk memulai lembar hidupku yang baru. Kedua orantuaku pun dengan berat hati menyetujui keinginanku ini. Namun mereka tetap meminta agar Nova tetap bersama mereka, agar kesehariannya bisa diperhatikan dan hidupnya terawat.
Aku mengerti dan memaklumi keinginan kedua orangtuaku, apalagi tujuanku pulang ke kota untuk mencari pekerjaan, tentu saja kehadiran Nova akan sedikit merepotkanku.
Seiring dengan berjalannya waktu, kabar keretakan rumah tanggaku pun telah tersebar luas. Tetangga di kampung halaman, teman-temanku semasa kuliah yang masih mengingatku, semua telah mengetahuinya. Hal ini membuatku semakin minder dan malu untuk sekedar bertemu mereka, atau sekedar saling menyapa lewat media sosial. Banyak diantara mereka yang memberi dukungan padaku, namun ada pula yang meresponnya dengan nada miring. Seperti itulah realita yang kuhadapi, sebuah realita yang semakin mempersulit kehidupanku.
Yang membuatku sedikit terpukul adalah respon seorang teman kuliahku dulu, seorang wanita yang memang sangat cantik dan menyandang predikat 'kembang kampus' sejak pertama kalu menginjakkan kakinya disana, hingga selesi kuliah. Grup media sosial alumni kampus seangkatanku pun heboh dengan apa yang dia tuliskan disana.
'Gue kenal suamjnya si Rindi, lumayan cakep orangnya. Wajar aja kalo akhirnya dia selingkuh. Liat aja selingkuhannya jauh lebih cantik, seksi, ramping gitu. Laki mah emang gitu, kalo liat yang bening langsung main hati. Makanya kalo jadi cewek, jadi ibu rumah tangga, rajin-rajin ngerawat diri, biar suami betah dan gak main gila diluar.'
Setelah membaca postingan tersebut, aku memutuskan keluar dari grup itu, dan tak hanya sampai disitu saja, aku bahkan menutup semua akun media sosial milikku. Aku malu, teramat malu terhadap orang-orang diluar sana. Aku malu aib keluarga kecilku menjadi bahan perbincangan diluar sana.