Chereads / Puber Kedua / Chapter 11 - 11

Chapter 11 - 11

 "Boleh tuh..kebetulan gue laper." Jawab teman Pram yang berasal dari ibukota, yang akhirnya kuketahui bernama Topan.

Dan akhirnya akupun mengikuti langkah mereka menyusuri lorong kampus Pram untuk menuju ke warung makan langganan mereka. Setelah keluar melalui pintu belakang kampus, kami memasuki sebuah gang kecil yang lebarnya hanya cukup untuk dilalui oleh 2 orang dewasa.

Warung kecil itu berada, tepat diujung jalan tersebut. Bentuknya hanya sebuah rumah biasa, dan ruang tamu disulap menjadi sebuah warung kecil yang berisi 4 meja, begitu juga dengan bagian terasnya. Suasana didalam sangat ramai karena bertepatan dengan jam makan siang.

Rombongan kami berjumlah 7 orang, sehingga kami harus menggabungkan 2 meja kecil agar bisa menampung kami.

Kami harus mengantri untuk mengambil menu makanan, karena diwarung ini memakai model prasmanan. Dan seperti biasa, canda dan tawa terus saja terjadi, membuat suasana warung semakin ramai.

"Maaf ya, ibu kerepotan soalnya si mbak yang biasa bantuin ibu disini udah berhenti." kata si ibu pemilik warung sambil membersihkan sisa makanan diatas meja, sebelum kami gunakan.

"Kok ibu gak cari gantinya sih?" tanya Pram.

"Haduh Pram, kamu tau sulitnya nyari orang yang mau kerja kayak gini. Semua pada gengsi Pram, jadi ya terpaksa ibu yang kerjain semuanya."

"Kalo kamu ada teman yang cari kerja, bilang ke ibu ya Pram, ibu bener-bener kerepotan sekarang."

"Iya bu."

Sambil menyantap makan siang, mereka terus saja bercanda. Dan sepertinya memang inilah bentuk pertemanan mereka, saling ejek, lalu salin tertawa bersama.

Sesekali Pram pun ikut terlibat dalam keramaian mereka, kemudian tertawa bersama-sama. Masa muda yang indah.

"Pram.. udah musim hujan. Dingin." Celetuk Rita.

"Iya Pram, kalo cuman selimut doang mah gak asik, enakan selimut hidup, yang bisa meluk." Timpal Topan.

Seperti biasanya, mereka kembali tertawa sementara Pram hanya tersenyum sambil terus menikmati makan siangnya.

"Lho kalian belum tau ya?? Pram belum cerita??" tanyaku ditengah tawa mereka, sementara Pram melirikku dengan tatapan aneh.

"Apaan mbak?" tanya Rita.

"Pram udah punya pasangan lhooo.. dia udah punya pacar sekarang." Jawabku sambil menginjak kaki Pram dibawah meja, sementara ia masih menatapku dengan tatapan aneh.

"Yang bener mbak..?? Siapa?? Tanya Rita penasaran, begitu juga dengan wajah teman-temannya yang lain.

"Beneran lhooo. Pram udah punya pacar." Jawabku dengan serius untuk meyakinkan mereka.

"Siapa mbak..??" Tanya Rita lagi.

"Kenalin.." jawabku sambil menjulurkan tanganku padanya.

Tiba-tiba suasana hening. Semua terdiam dan berhenti sejenak sambil memandang wajahku dan wajah Pram secara bergantian. Dengan raut wajah tak percaya, Rita menyalami tanganku.

"Telenovela yang bagus." Sindir Topan.

"diiihhhhhh… sirik." Balas Pram.

Dan mereka semua kembali tertawa. Untuk lebih meyakinkan, aku merangkul lengan Pram lalu menyandarkan wajahku disana.

"Udah sayang, biarin aja." Gumanku sambil bermanja-manja dilengannya.

Mereka kembali terdiam, dan menatap kami dengan tatapan aneh, tatapan tidak percaya.

"Ini serius..??!" Tanya seorang teman laki-laki Pram yang belum kuketahui namanya.

"Serius dong.." jawabku.

"Iya kan sayang??" sambungku lagi dengan bertanya pada Pram.

Dibawah sana, aku kembali menginjak kaki Pram.

"Iyaaa.." jawabnya singkat, lalu mengecup keningku."

Topan, dan beberapa teman Pram yang lain terbatuk-batuk melihat tingkah kami, sementara Rita memandang kami dengan mata terbelalak.

"Oke fix, kita makan!" seru salah seorang teman Pram.

"Iya.. traktiran.. pajak jadian kalian." Sambung Rita.

"Eeehhh.. gak bisa..! Gak ada traktir-traktiran!" seru Pram.

Dan semua pun tertawa.

Bersama mereka, aku merasakan kegembiraan, melupakan sejenak beban hidupku. Mereka benar-benar menjalani hidupnya dengan penuh kesenangan, penuh tawa, tidak sepertiku yang telah dipenuhi oleh berbagai tuntutan dan beban hidup. Melihat mereka tertawa, melihat mereka tersenyum, sungguh sangat menyenangkan. Mereka terlihat begitu optimis menatap masa depan, terlihat tak memikirkan tentang kehidupan.

"Pulang yuk." Kata Pram pada kami.

Satu persatu kami membayar makanan yang telah kami santap pada ibu pemilik warung.

"Pram, jangan lupa pesan ibu ya, kalo ada temanmu yang mau kerja disini."

"Eh, gimana kalo saya aja bu??" tanyaku. Aku berdiri disamping Pram.

"Hah?? Mbak yakin?? Tanya si ibu, sementara Pram tercengang melihatku.

"Kayaknya sih bisa bu, emangnya kerjaannya apa?"

"Kerjaannya ambilin piring dan gelas yang udah terpakai dimeja, dibawa kedapur, nanti ada yang nyuci disana. Trus kamu bersiin meja, di lap biar bersih."

"Ooo gitu.. kayaknya sih bisa tuh"

"ngomong-ngomong, gajinya berapa ya bu?" tanyaku lagi.

"Kalo gaji sih kecil mbak, ibu cuman mampu ngasih 800.000 per bulan. Tapi setiap hari minggu kita libur, sesuai jadwal perkuliahan kampus. Makan juga gratis disini mbak."

Bagiku, gaji sejumlah itu cukuplah besar jika dibandingkan dengan beban pekerjaannya yang terlihat mudah bagiku. Aku seorang ibu rumah tangga, dan pekerjaan itu adalah santapanku setiap hari.

"Ya udah, kalo gitu biar saya aja yang kerja disini, bantu-bantu ibu. Sambil nunggu panggilan kerjaan bu. Boleh?"

"Boleh banget mbak.. ibu malah senang. Ya udah, besok mbak datang jam setengah delapan pagi ya, bisa mbak?"

"Bisa bu." Jawabku dengan antusias.

Pram masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Begitu juga dengan teman-temannya yang masih ada disitu. Setelah selesai membayar, kami pun membubarkan diri masing-masing.

"Brooooo… buruan pulang, ujan. Diluar dingin! Enakan dikamar, pakai selimut hidup" teriak Pram pada Topan yang telah pergi mendahului kami.

Disaat bersamaan, tanganku masih terselip dilengan Pram kemudian dengan gestur mengejek, aku menyandarkan pipiku dilengannya.

"Njjjiiiirrrrrrrrrrr….! Kammpreeettt loooo!!!!" makinya.

Sontak saja kami berdua tertawa puas setelah mampu mengerjainya. Kami terus berjalan, menyusuri lorong kampus Pram untuk kembali ke area Parkiran di bagian depan gedung.

"Mbak Rita."

"Iya mbak?"

"Buruan pulang lho ya, hujan ini. Dingin. Kalo hujan gini sih enaknya pacaran aja mbak." Sambungku lagi sambil memeluk erat pinggang Pram, sementara wajahku bersandar dibahu Pram.

"Eehhhh… iiihhhhhhh.. BODOOOOOOOO AMATTTTT....!!!!" Balasnya dengan wajah jutek.

Sekali lagi aku dan Pram tertawa puas karena telah membalas candaan mereka selama ini. Pram tampak senang mengerjai teman-temannya, begitu juga denganku.

Entah mengapa hari ini menjadi penuh warna bagiku terutama sejak bertemu dengan Nita, perempuan yang berhasil merebut suamiku. Bukan emosi yang muncul, melainkan rasa iba, kasihan terhadap Nita yang merasa dirinya belum mampu merebut hati suamiku, bahkan ketika suamiku telah meninggalkanku.

Aku memakluminya dan aku bisa merasakan apa yang Nita rasakan. Sama sepertiku, rasa kecewa dan sakit hati akibat hancurnya rumah tanggaku karena pengkhianatan.

Dan sejujurnya, aku tidak menyimpan dendam pada Nita, begitu juga terhadap suamiku. Seiring berjalannya waktu, perlahan… aku bisa menerima kenyataan bahwa inilah keadaanku, inilah takdir yang harus kujalani.