'Pram' gumanku dalam hati, karena familiar dengan suara motornya.
"Pram.. selamat siang"
"Siang bu"
"Kok ibu pulang gak ngabarin saya?"
"Ibu naik apa kesini?" sambungnya lagi tanpa memberi waktu padaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Aku hanya tersenyum melihatnya.
"Dduuuuhhh.. kamu ini udah jadi penyidik kepolisian ya? Kok nanyanya sampe segitunya."
Pram pun tertawa.
"Ibu sendirian kesini, naik angkot tadi. Ibu gak mau ngerepotin kamu. Si dedek tinggal disana sama opa oma. Ibu cuman sebentar aja disini, nanti hari minggu pulang kok" jawabku.
"Ooooo gitu."
"Oh iya, ibu mau minta tolong sama kamu. Tapi kamu ganti pakaian dulu, biar gak kena kotor bajunya."
"Iya bu, bisa kok"
"Ya udah, ibu kedalam dulu ya, nanti kamu nyusul aja, masuk aja kalo udah ganti pakaian."
"Iya bu."
Beberapa saat kemudian, Pram menemuiku di ruang tengah. Kemeja dan jeans yang ia kenakan telah berganti dengan kaos oblong yang lengannya telah dipotong, begitu juga dengan celananya, jeans yang terpotong hingga ke bagian lututnya.
"Ibu minta tolong kamu turunin foto-foto ini ya Pram, trus taruh digudang" kataku sembari menunjuk ke arah bingkai foto yang terpampang didinding, berisi foto-foto pernikahanku dengan suamiku, total ada lima bingkai berukuran besar disana.
"Ibu yakin..?"
"Iyaaa.. ibu yakin" jawabku mantap.
Aku ingin move on. Aku ingin melanjutkan bab kehidupanku dalam lembaran baru. Pram pun segera melaksanakannya, sementara aku kembali melanjutkan pekerjaanku didapur.
"Pram, minum dulu." Kuserahkan segelas es sirup padanya.
Kami berdiri, bersandar di dekat pintu dapur.
"Kamu baik-baik aja kan Pram? Sehat kan?" tanyaku yang juga bersandar disampingnya.
"Sehat bu, baik-baik aja kok."
"Syukurlaaah.. oh iya, siapa yang bersih-bersih halaman rumah, Pram?"
"Saya bu, soalnya rumputnya udah pada tinggi, jadi kelihatan gak rapi. Makanya saya pangkas, biar enak dilihat"
"Oohhh.. jadi kamu..? Makasih ya Pram. Kamu udah banyak membantu ibu"
"Hehehehe.. gapapa bu, lagian saya juga tinggal disini, ngekost disini, saya cuman membantu semampu saya kok."
Pram benar-benar seorang pemuda yang baik, itulah kesanku setelah lebih dekatnya, setelah peristiwa memilukan malam itu. Usianya yang terpaut empat tahun dibawahku tertutupi dengan sempurna oleh prilakunya yang baik dan cara berpikirnya yang dewasa. Aku beruntung, bisa mengenalnya.
"Pram, kalo kamu tau atau denger info lowongan pekerjaan, beritahu ibu ya, ibu mau cari kerja nih."
"Ibu yakin? Trus si dedek gimana? Siapa yang ngurusin si dedek kalo ibu kerja?"
"Kalo si dedek, mungkin nanti biar tinggal sama opa omanya, atau nanti ibu titipkan di tempat penitipan anak. Nanti ibu lihat deh, mana yang baik untuk dedek."
"Iya bu, nanti kalo ada info, saya kabarkan ke ibu."
Sejenak, tidak ada obrolan diantara kami. Pandangan kami menerawang melewati pintu belakang dapur, melihat beragam bunga dan pepohonan yang tumbuh subur sehingga Tembok setinggi 2 meter dibelakangnya nyaris tertutupi dengan sempurna.
"Ibu baik-baik aja?" kali ini ia bertanya dengan serius sambil menoleh kearahku, menatap mataku dalam-dalam. Sebuah pertanyaan yang rasanya seperti sebuah pukulan untukku.
"Kamu sudah dewasa, dan pasti sudah bisa mengerti apa yang terjadi. Ibu hanya ingin mencoba bangkit, mencoba untuk menata kehidupan lagi. Harus, untuk si dedek"
"Dan untuk ibu juga" sambung Pram.
"Ibu juga berhak bahagia, berhak untuk mendapatkan cinta lagi, berhak bahagia." Lanjutnya.
Aku memandangnya lirih, terharu mendengar kata-kata yang ia ucapkan. Aku tahu, Pram mengucapkannya dengan kesungguhan hati. Ia masih saja melayangkan pandangannya kedepan, seolah sedang melamun.
"Makasih ya, Pram"
"ngomong-ngomong, kamu udah makan siang belum? Ibu laper nih, tapi disini gak ada makanan, soalnya ibu belum belanja"
"Belum sih bu, nanti aja."
"Ya udah, kita makan diluar aja yuk, ntar ibu traktir deh."
"Okeeeeee, siap…" jawabnya dengan penuh semangat.
"Ya udah, kamu ganti pakaian dulu. Trus kita makan."
Beberapa saat kemudian, Pram kembali.
"Kamu ini.." kataku sambil menggelengkan kepala.
"Kamu mau pergi makan apa mau pergi ke sawah?" protesku setelah melihat pakaian yang ia kenakan. Celana jeans yang lagi-lagi terpotong hingga kebagian lutut, di padu dengan kaos oblong yang warnanya hampir pudar.
Ia menatap dirinya sendiri, mulai dari ujung kaki hingga tubuhnya.
"Gak pantas ya?" tanyanya heran.
Aku hanya menggelengkan kepala. Sejurus kemudian, ia kembali ke kamarnya.
"Nah, kalo gitu kan bagusss." Komentarku saat melihat dia telah berganti pakaian.
"Pakai motor aja ya bu, biar cepet"
"Iya, boleh. Tapi jangan ngebut ya."
"Iyaaaaa buuuuu. Eh, ngomong-ngomong, kita makan dimana bu?"
"Hhmmmm.. kita ke sekitaran Babarsari aja, disana ada banyak tempat makan yang enak."
"Okeee bu."
Hampir 40 menit kemudian, sampailah kami di sebuah warung makan yang terkenal dengan cita rasa pedasnya. Warung yang cukup sederhana dan dengan harga terjangkau bagi kantong mahasiswa ini selalu ramai pengunjung setiap harinya. Dan beruntung bagi kami, karena masih mendapatkan tempat disana. Disekitar kami tampak sejumlah mahasiswa tengah menikmati makan siangnya. Ada juga rombongan keluarga, karyawan kantoran, hingga siswa siswi dengan seragam sekolahnya.
"Kamu jalan sama ibu, ntar ada yang marah gak Pram?"
"Maksud ibu?"
"Ka… kali aja kamu udah punya pacar, trus ngelihat kamu jalan sama ibu. Ntar dia bisa marah kan?"
Pram tertawa kecil mendengar celoteh gak penting dariku.
"Gak ada bu. Saya belum punya pacar. Lagian mana ada cewek mau sama cowok seperti saya. Naik motor butut, gak gaul gini"
"Ya sudah, malah bagus itu. Jadi kamu bisa fokus kuliah dulu. Nanti kalo udah lulus, cari kerja. Kamu kumpulin duit buat beli mobil, biar makin gaul, makin kece."
"Hehehehe.. rencanya sih gitu bu, tapi bagian yang beli mobil itu belum kepikiran. Sekarang yang penting kuliah aja dulu, bisa lulus."
"Anak yang baik" balasku.
Dan obrolan singkat kami terhenti ketika makanan pesanan kami dihidangkan oleh pelayan warung tersebut. Tanpa basa-basi, kami menyantapnya dengan lahap karena lapar. Keringat bercucuran diwajah kami karena rasa pedas yang luar biasa dari masakan khas warung tersebut. Rasa puas, kenyang dan nikmat akhirnya kami dapati ketika selesai makan.
"Eh Pram, nanti pulangnya sekalian belanja ya. Buat masak makan malam. Nanti malam kamu makan dirumah aja, temenin ibu. Mau kan?"
"Bisa kok bu. Belanja dimana?"
"Kita belanja di Miro*a campus U*M aja."
"Ya udah, kita pergi sekarang aja bu, langsung belanja, trus pulang."
Dan akhirnya kami sampai di tujuan berikutnya. Toko yang terkenal dengan harga murah meriah ini hampir selalu dipenuhi oleh pengunjung. Bagian sayur dan buah pun disesaki oleh pengunjung yang didominasi oleh kaum perempuan.