Chereads / Puber Kedua / Chapter 4 - 4

Chapter 4 - 4

Entah dengan sadar atau hanya secara reflek, Pram menggandeng tanganku, menerobos kerumunan orang yang tengah sibuk memilih barang yang hendak mereka beli. Aku mengekor dibelakangnya.

Setelah selesai belanja, yang memakan waktu lumayan lama karena antrian kasir yang panjang, kami meninggalkan tempat itu. Dan seperti perempuan yang mengenakan jilbab pada umumnya, aku duduk menyamping, karena hanya dengan posisi itulah aku bisa duduk. Dan setelah kejadian Pram menggengam tanganku tadi, kini satu tanganku pun memegang pinggangnya, hanya sekedar untuk menjaga keseimbangan agar aku tidak terjatuh. Tidak ada maksud lainnya.

"Eh Pram, beli es kelapa yuk" kataku.

"Dibungkus aja, nanti minum dirumah aja" sambungku lagi.

Pram menghentikan laju sepeda motornya. Dan lagi-lagi, ia memegang tanganku untuk menyebrangi jalan, sementara matanya mengawasi kendaraan yang lalu lalang didepan kami. 'anak yang baik' gumanku dalam hati. Hal yang sama dilakukannya ketika kami hendak menyebrang jalan untuk kembali pulang. Jujur saja, aku merasa tersanjung, merasa nyaman dan terlindungi dengan sikapnya. Mungkin terlalu dini untuk menilai Pram adalah pria yang baik, anak muda yang sifat dan sikapnya baik. Tetapi sejauh ini, itulah kesan yang aku dapatkan.

"Pram.. makasih ya."

"Bu.. jangan bilang gitu, saya hanya membantu semampu saya."

"Iya.. pokoknya ibu makasih sama kamu. Maaf ya kalo merepotkan kamu"

"Enggak merepotkan kok bu. Beneran, gak merepotkan saya kok."

"Ya udah, kamu istirahat dulu, nanti malam makan dirumah ya. Jangan lupa lho Pram."

Tubuhku terasa lelah, namun mataku tak kunjung terpejam walaupun sudah merebahkan diri diatas kasur. Banyak hal yang melintas dibenakku, salah satunya rencana untuk mencari kerja. Bagaimana aku akan membagi waktu antara mengurus putri kecilku, dan pekerjaanku. Aku cukup beruntung karena mendapat dukungan penuh dari kedua orangtuaku, ditambah dengan kehadiran Pram, yang sejauh ini sangat meringankan langkahku, sangat membantuku dimasa-masa sulit.

Dan seperti yang telah kami rencanakan, kami menyantap makan malam bersama, dengan masakan sederhana ala rumahan. Kami berbincang tentang banyak hal, sekedar obrolan ringan sebagai selingan untuk menghangatkan suasana.

"Masakan ibu enak, kayaknya cocok kalo buat warung makan"

"Halahhh.. kamu ini. Cuman tumisan kangkung sama tahu goreng aja kok enak."

"Maksud saya, kalo ibu buka warung, jualan makanan, saya bisa ngutang."

"..."

Aku tertawa mendengar jawabannya. Terdengar seperti candaan garing, tapi sudah sangat cukup menghiburku.

"Nah.. gitu dong. Sesekali ibu harus tertawa, tertawa lepas seperti itu. Udah lama lho ibu gak ketawa kayak gitu."

Ucapannya benar-benar membuatku terharu. Dia benar, terlalu lama aku hidup didalam kemuraman, dan dia sangat benar, telah sekian lama aku tidak tertawa lepas. Aku menundukkan wajah, karena air mataku terasa hendak mengalir keluar.

"Iya. Kamu benar Pram." jawabku singkat sambil menyeka air mata disudut mataku.

"Udah, jangan di ingat lagi bu. Sekarang ibu harus bangkit, menjalankan rencana yang sudah ibu buat. Saya akan membantu ibu semampu saya"

'Kamu benar-benar anak muda yang baik' gumanku dalam hati.

Dia benar-benar berusaha membantuku, menghiburku dengan caranya yang mungkin terlihat norak dan garing. Itulah Pram yang aku kenal sejak beberapa waktu belakangan, pribadi yang bisa menghadirkan tawaku, lagi.

Selesai makan, kami melanjutkan ngobrol diruang tengah, hingga larut malam. Hampir jam duabelas malam, obrolan kami berakhir karena rasa kantuk yang mulai menghampiri. Aku pun harus beristirahat karena seharian belum beristirahat.

===

Mentari telah bersinar cerah ketika kubuka mataku. Suasana sepi karena para penghuni kost telah pergi melakukan aktivitasnya masing-masing. Lelah membuat tidurku sangat lelap sampai-sampai terlambat bangun. Kulihat jam didinding menunjukan pukul delapan lewat beberapa menit. Setelah mandi, kusempatkan diri untuk bercermin. Bobot tubuhku tampak menurun dratis beberapa waktu belakangan, benar-benar sangat berantakan, sejalan dengan keadaan hatiku yang hancur.

Saat kubuka pintu teras samping rumah, yang berhadapan dengan bangunan kost, kudapati setumpuk koran dan kunci mobilku tergeletak didepan pintu. Ada secarik kertas bertuliskan sebuah pesan,

'bu, ini ada koran buat nyari lowongan pekerjaan.'

"Pram…" gumanku setelah membaca pesan itu.

Sambil menikmati segelas teh panas, aku mulai melihat barisan iklan-iklan dikoran. Kulingkari iklan yang sesuai dengan kualifikasi ijasah sarjanaku, ekonomi manejemen. Setelah selesai, aku langsung membuat surat lamaran, dengan melampirkan syarat-sayarat yang tertera diiklan tersebut.

Aku sadar, aku tengah berpacu dengan waktu, oleh karena itu, setelah menyelesaikan membuat surat lamaran, aku langsung mengirimkannya. Saat melintas didepan kampus Pram, sekilas kulihat Pram tengah menikmati semangkuk bakso bersama teman-temannya di pinggiran pagar kampus. Segera kupelankan laju mobilku, mencari tempat memarkirkannya.

"Pram." Sapaku dari arah belakang.

"Lho buu, kok ada disini? Ibu dari mana?" tanyanya heran, sementara beberapa temannya pun menatapku.

"Ibu barusan selesai ngirim lamaran kerjaan. Pas lewat sini, lihat kamu lagi makan, jadi ya ibu mampir, sekalian makan siang. Soalnya dirumah ibu belum masak. Gak sempat"

Dan sekali lagi, kuhabiskan waktuku bersama Pram diluar rumah, walaupun kali ini bersama teman-teman kuliahnya. Ia memperkenalkanku pada mereka.

"Pantesan lo jarang ngumpul bareng kita, lo lebih milih ngeram kayak ayam dikost, betah amat. Ternyata ibu kost lo cantik gini" kata seorang teman Pram yang berasal dari ibukota.

Pram hanya tertawa mendengar ocehan itu, sementara aku terunduk malu.

Pram lantas melepaskan pelukannya, dan aku berlari kecil menuju ke kamar mandi yang berada dikamar tidurku. Ketika aku kembali, Pram sudah tidak ada disana. Kusempatkan diri untuk mandi, menajakan diriku dengan berlama-lama disana, menikmati guyuran air hangat disekujur tubuhku yang mengalir lewat shower.

Terlintas dalam pikiranku moment ketika bertemu dengan suamiku dan selingkuhannya. Hatiku terasa seperti tertusuk belati. Sakitnya teramat dalam. Wanita selingkuhannya memang jauh lebih menarik dariku, jauh lebih cantik dengan tubuhnya yang langsing dan kulitnya yang putih bersih. Aku masih belum mampu menerima kenyataan pahit ini. Beruntung bagiku, ada sosok Pram yang menemani, memberiku pelukan yang mampu meredam duka dihatiku. Dialah sosok yang telah berusaha mengembalikan senyum diwajahku. Dan dia berhasil.

Sore harinya, aku kembali ke rumah orangtuaku, sambil berharap akan ada panggilan wawancara pekerjaan untuk aku. Aku sengaja mengendari mobilku sendiri, agar tak selalu merepotkan Pram.

Hari berlalu, namun belum ada kabar baik perlihal surat lamaran pekerjaan yang kukirim. Selagi menunggu kabar tersebut, aku menyibukkan diri dengan merawat putri kecilku, menghabiskan waktuku dengan mengurusi beraneka ragam bunga yang berjajar rapi di pinggiran rumah. Tak lupa, setiap pagi aku menikmati 'keheningan pagi' seperti yang telah diajarkan oleh Pram. Dan dia benar, cara itu berhasil membawa ketenangan, membuatku lebih mampu meredam gejolak emosiku.