Chereads / Puber Kedua / Chapter 2 - 2

Chapter 2 - 2

Lelaki yang menjadi pacar pertamaku, lelaki yang selama ini sangat kucintai, sangat kupercayai, kini menghancurkan hidupku. Lembar-lembar kenangan tentang kami pun silih berganti datang mengisi pikiranku. Kucoba merenungkan kekuranganku, kesalahanku, atau hal apapun yang membuatnya begitu tega mengkhianatiku.

Wanita yang menjadi selingkuhannya memang cukup menarik, walaupun aku hanya melihat wajahnya secara sekilas. Tubuhnya ramping dengan kulit yang putih bersih. Berbanding terbalik dengan kondisiku, dimana tubuhku sedikit lebih gemuk pasca melahirkan. Apakah hanya karena kondisi fisikku sehingga ia berselingkuh? Apakah aku kurang perhatian? Apakah aku? Dan ratusan pertanyaan lain hilir mudik dikepalaku, hingga pagi menjelang.

Dari balik jendela kamarku, kulihat Pram telah bangun dan menikmati segelas kopi di teras depan kamarnya.

"Pagii Pram"

"Iya, pagi bu."

"Pram, maaf ya, ibu mau minta tolong lagi. Bisa?"

"Bisa kok bu, lagian ini hari minggu, gak ada kuliah"

"Ibu mau pulang kerumah orang tua ibu, kamu bisa anterin? Nanti pulangnya kamu bawa lagi mobilnya. Bisa?"

"Bisa kok bu"

"Tapi.. kok mobilnya gak ditinggal aja disana bu?" tanyanya keheranan.

"Hhmmm.. kamu kan udah tau permasalahan ibu. Nah, kali aja suami ibu berniat mau mengambil mobil itu, jadi sebaiknya mobil itu tetap berada disini aja, walaupun sebenernya mobil itu hadiah pernikahan dari orang tua ibu."

"Iya bu, kalo gitu saya siap-siap dulu ya bu."

Dengan cekatan Pram membantu memasukan beberapa tas berisi pakaianku dan putri kecilku kedalam bagasi mobil. Aku tak bisa membantunya karena harus menggendong anakku, selain itu kondisi tubuhku pun kelelahan karena belum beristirahat sejak semalam.

Dalam perjalanan, sesekali aku tertidur karena kelelahan, dan Pram sangat memakluminya. Suara putri kecilku, maupun pertanyaan Pram tentang rute jalan menuju ke kampung halamankulah yang membuatku terjaga.

"Ibu pergi sampai kapan, bu?"

"Belum tau Pram, ibu butuh istirahat, mau menenangkan diri dulu."

Pram hanya mengangguk mendengar jawabanku.

Hampir 2 jam berlalu, akhirnya kami sampai dikampung halamanku. Dusun kecil di sebelah selatan kota pendidikan ini adalah tempat tinggal orangtuaku, tanah kelahiranku. Sepi, jauh dari keramaian kota, bahkan setiap rumah warganya pun saling berjauhan. Inilah pertama kalinya Pram melihat kampung halamanku. Kedua orang tuaku telah mengenal Pram, karena dalam beberapa kesempatan, saat mereka mengunjungiku, sempat berkenalan dengannya.

Suara deru mesin mobil menarik perhatian kedua orangtuaku, sehingga mereka keluar dan berdiri diteras. Keluar dari mobil, aku langsung berlari kecil menghampiri mereka dan memeluk erat keduanya. Setelahbsebelumnya, didalam mobil, putri kecilku kuserahkan pada Pram. Sambil menggendong putriku, ia berjalan mengikutiku.

Aku kembali menangis, air mataku kembali tertumpah dalam dekapan ibuku.

"Lho kok nangis? Ada apa tho nak?" tanya ibuku sambil memelukku erat.

"Nak Pram" sapa bapakku.

"Iya pak" Keduanya berjabat tangan, lalu kami masuk ke ruang tamu.

Sambil menangis, kuceritakan semua kejadian semalam, kutumpahkan semua keluh kesahku. Ibuku pun ikut meneteskan air mata, sementara bapak sesekali menghela nafas. Terlihat kemarahan diwajahnya.

Putri kecilku tampak gelisah dan sedikit rewel, sehingga Pram pun berinisiatif mengajaknya keluar ruangan. Dibawanya putri kecilku menelusuri halaman rumahku, yang ditumbuhi beberapa pohon mangga dan rambutan. Suasana sejuk dan tenang itu membuat ia pun kembali tenang, dalam dekapan Pram.

Setelah beberapa saat, Pram kembali dengan putri kecilku yang telah terlelap dalam dekapannya.

"Biar ibu yang gendong, nak Pram istirahat dulu."

Aku beranjak ke dapur, membuat segelas kopi untuknya, sementara bapak menemani Pram.

"Bapak ucapkan terima kasih, karena nak Pram sudah membantu anak saya."

"Saya hanya membantu sebisa saya pak, lagipula, saya gak mungkin biarin bu Rindi pergi sendiri. Saya gak tega pak."

Perbincangan yang samar-samar kudengar, membuatku terharu. Betapa terpuruknya hidupku kini namun masih ada orang yang baik dan peduli padaku.

Setelah menghidangkan minuman, aku membantu Pram mengeluarkan tas dari bagasi mobil dan meletakkannya didalam kamar tidurku.

Setelah menghabiskan segelas kopi buatanku, Pram pun berpamitan.

"Pram, ibu titip rumah sama kamu ya. Kalo ada apa-apa, kamu telpon ibu."

"Ini untuk kamu beli bensin ya Pram." Kataku sembari menyerahkan sedikit uang padanya.

Awalnya ia menolak, namun aku tetap memaksa hingga ia menerimanya.

== == ==

Waktu terus berjalan dan tak terasa, hampir empat bulan kuhabiskan waktuku di kampung halaman. Putri kecilku pun kini semakin lucu dan menggemaskan. Dialah yang selalu menjadi pusat perhatian kedua orangtuaku. Dan berkat dukungan mereka, perlahan, aku pun mulai bangkit kembali, mulai bisa menerima kenyataan hidupku.

Ya, walaupun belum secara resmi bercerai, namun aku telah menganggap diriku sebagai janda karena sejak peristiwa itu, suamiku menghilang tanpa kabar. Dukungan penuh dari kedua orangtuaku pula yang membuatku semakin bertekad untuk segera bangkit, berbenah diri dan menyusun rencana untuk hidupku dan putri kecilku.

Kuputuskan untuk mulai mencari kerja bermodalkan ijasah kuliah yang kumiliki. Kini, mimpi untuk bekerja mulai kujalani dan aku yakin, aku akan mampu menjalaninya.

Dari kota pendidikan, sesekali Pram mengirimkan kabar tentang keadaan rumahku, tentang keadaan lingkungan sekitar rumahku, dan hal lainnya yang sekiranya penting untuk ku ketahui.

Hari jum'at pagi, aku meminta ijin pada kedua orangtuaku untuk untuk kembli ke kota pendidikan, untuk melihat keadaan rumah dan mencari informasi lowongan pekerjaan. Mereka pun setuju, namun mereka meminta agar putri kecilku tetap tinggal bersama mereka, apalagi ia telah berhenti menyusui sejak satu bulan terakhir.

Selama perjalanan pulang, banyak hal yang kurenungkan, banyak hal yang kupikirkan. Tentang semua yang terlewati selama beberapa waktu belakangan, tentang masa depanku, masa sepan buah hatiku. 'Aku harus bisa. Aku harus segera bangkit dan menata kehidupanku' itulah tekadku.

Dan tak terasa, aku sudah sampai ditujuanku. Rumahku. Rumah yang menyimpan begitu banyak memori didalamnya.

Setelah membuka pintu pagar, aku takjub dan terharu melihat pemandangan dihadapanku. Halamannya bersih, rumput-rumput liar telah dipangkas, dan bunga-bunga yang aku tanam tampak segar dan sehat. Siapa yang telah melakukan semua ini? Pemandangan ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang aku bayangkan.

Keadaan sangat sepi, karena hari jum'at biasanya ketiga penghuni kostku masih disibukkan oleh aktifitas mereka masing-masing. Keadaan didalam rumahku masih sama seperti saat kutinggalkan, hanya saja debu-debu sudah mulai terlihat menempel dimana-mana.

'saatnya bekerja' gumanku pelan. Dan mulailah aku membersihkan rumahku, membereskan semua perabot-perbaot rumah tangga yang berserakan , karena tak sempat melakukannya saat kutinggalkan beberapa bulan lalu. Membersihkan debu, menyapu, mengepel, dan merapikan seisi rumah, agar bersih dan nyaman untuk kutempati lagi.

Dan tak terasa, sudah hampir dua jam berlalu. Satu-satunya bagian rumah yang belum kubereskan adalah dapur.

Beberpa saat setelah mulai membereskan bagian dapur, terdengar suara mesin motor memasuki pekarangan rumahku.