Kehidupanku sebagai seorang perempuan sangatlah bahagia. Hampir tidak ada halangan berarti yang kurasakan. Semua berjalan dengan sewajarnya, sesuai dengan rencana yang ada di dalam benakku. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku universitas, aku langsung menikah dengan kekasihku, yang merupakan kakak kelasku saat kuliah.
Kebahagiaanku sebagai seorang perempuan semakin lengkap dengan kehadiran anak pertama kami. Serorang putri kecil, yang lahir tak lama setelahnya. Sejak saat itu, aku semakin optimis, dan semakin bahagia dengan keadaanku.
Dimataku, suamiku adalah seorang kepala keluarga yang sempurna. Ia begitu perhatian dan penyayang. Dan hal itu pun tak berubah setelah kelahiran anak kami yang pertama. Impianku untuk bekerja pun hilang dengan sendirinya pasca kelahiran putri kecil kami. Dan sebagai gantinya, suamiku membangun kost di samping rumah kami. Pekarangan yang dulunya hanya ditumbuhi oleh semak belukar itu berganti menjadi sebuah bangunan sederhana dengan tiga kamar tidur.
Letak rumah kami sedikit jauh diluar kota, namun sebagai salah satu kota pendidikan yang terkenal dengan banyak kampusnya, kost itu pun akhirnya memiliki penghuni. Lingkungan yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota menjadi alasan utama mereka yang memilih tempat itu.
Pram adalah salah satu penguni kostku, orang pertama yang menempati kamar paling pojok, dekat dekat dengan teras samping rumah, tempat biasa kami sekeluarga bersantai. Sejak awal, Pram telah menunjukkan kesan yang baik dan sopan, dan hal itulah yang membuatku dan suamiku yakin untuk menerimanya tinggal disini. Tubuhnya cenderung kurus dan tinggi, dan wajahnya terbilang lumayan bagiku.
Ia lebih banyak menghabiskan waktu dikamarnya sehingga kami jarang berinteraksi. Begitu juga dengan aktivitas diluar, jarang sekalia ia keluar untuk hangout, atau sekedar menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Sosoknya terlihat cuek dan penyendiri.
Rindiani adalah nama pemberian orangtuaku, dan sebagaimana orang lainnya, Pram pun memanggilku dengan sebutan 'bu Rindi'. Dan selama ini, Pram pun sangat menghormatiku sebagai ibu kost karena dalam keseharian, aku selalu menutupi tubuhku dengan memakai jilbab, dan kebiasaan itu telah kumulai sejak duduk dibangku SMP.
Suatu malam, ponselku berdering. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal tertera di layarnya. Kulihat jam di dinding, waktu telah menunjukkan pukul dua dinihari. Karena penasaran, kuterima panggilang masuk itu. Itulah telfon yang mengguncang duniaku dalam dalam sekejab, hingga akhirnya meruntuhkannya. Panggilan itu berasal dari seorang petugas kepolisian, yang menginformasikan bahwa suamiku terjaring operasi penyakit masyarakat. Dia ditangkap disebuah kamar hotel saat sedang berduaan dwngan seorang wanita.
Tubuhku mendadak lemah dan jatuh terduduk di sofa ruang tamu. Sedih, marah, bingung, semua bercampur aduk dalam hati dan pikiranku. Apa yang harus aku lakukan? Hampir setengah jam aku mencoba menguatkan diri, mencoba menenagkan diriku sendiri sebelum memenuhi permintaan pihak kepolisian itu.
'Pram'… ya, itulah nama yang terlintas di benakku. Dengan mata sembab, kuketuk pintu kamarnya sambil memanggil namanya dengan suara pelan. Hampir lima menit aku melakukannya hingga akhirnya ia membuka pintu. Tampaknya ia telah tertidur pulas karena wajahnya yang sayu dan matanya sedikit memerah karena terbangun dengan terpaksa.
"Pram, kamu bisa tolongin ibu?"
"Iya, ada apa bu?"
"Kamu bisa nyetir kan? Tolong anterin ibu, sekarang."
"Iya bu, bisa. Tunggu sebentar ya bu, saya siap-siap dulu."
"Ya, ibu tunggu di depan ya."
Putri kecilku masih terlelap dalam pelukanku, sangat tenang dan damai, sangat kontras dwngan keadaanku.
"Kita mau kemana bu?"
"Kantor polisi, ke polsek." jawabku singkat.
Air mata masih mengalir dipipiku, pikiranku kacau. Aku benar-benar bingung menghadapi masalah ini. Pram pun hanya diam membisu. Entah apa yang ada di pikirannya.
Tak berapa lama, kami tiba di kantor polisi. Aku berjalan mendahului Pram dan putri kecilku masih terlelap dalam gendonganku. Seorang petugas menerima kedatangan kami, dan mempersilahkankami memasuki sebuah ruangan.
"Nama ibu siapa?"
"Rindiani" jawabku singkat.
Si petugas pun bertanya pada Pram yang duduk disampingku.
"Dia adik saya" jawabku singkat setelah pram menjawab pertanyaan si petugas.
Setelah itu, si petugas mulai menjelaskan detail kronologi kejadian, mulai dari awal hingga akhir. Hatiku terasa seperti tersayat-sayat kerika mendengar bahwa suamiku ditangkap dengan seorang wanita saat mereka sedang bercinta disebuah hotel kelas melati di pusat kota.
Keadaanku benar-benar payah!, pikiranku kacau balau. Airmataku semakin deras mengalir, sementara suara tangisanku tertahan di dada.
"Saya ingin bertemu suami saya" pintaku.
Tanpa menunggu lama, si petugas mengantarkan kami ke sebuah rungan lain dan Pram masih mendampingi aku. Lututku gemetar, dan jantungku semakin berdebar-debar. Pikiranku benar-benar buntu, benar-kacau.
Kami tiba didepan sebuah ruangan dengan pintu yang masih tertutup. Si petugas segera membukanya. Dengan putri kecilku yang masih terlelap didadaku, aku memasuki ruangan itu, setelah sebelumnya si petugas kepolisian mendahului. Pram berdiri tepat disampingku. Di salah satu sudut ruangan, berkumpul beberapa pria yang terjaring dalam operasi tersebut, salah satunya adalah suamiku.
Entah apa yang ada dipikiranku, aku langsung menyerahkan putri kecilku pada Pram. Pram tampak terkejut, namun ia langsung menyambut putri kecilku ketika kuserahkan padanya.
Suamiku melihatku sekilas, kemudian ia kembali menundukkan wajahnya. Ia tampak pasrah, tak berani menatapku. Aku melangkah mendekatinya, dengan air mata yang masih mengalir.
'PLLAAAAKKK'
Sebuah tamparan kulayangkan padanya. Entah darimana datangnya keberanian itu, tetapi aku benar-benar melakukannya. Kuluapkan emosiku yang sejak tadi tertahan didadaku. Seorang polawan yang kebetulan berada di ruangan itu segera menghampiriku, mencoba menenangkanku.
"Aku minta ceri." Pintaku dengan suara bergetar.
Seisi ruangan hening.
"Mana perempuan yang bersamanya?" tanyaku pada polwan yang berdiri disampingku.
Ia melangkah, mendekati sekumpulan perempuan yang berkumpul di sudut lainnya. Ia berhenti dihadapan seorang wanita muda. Wajahnya tak begitu jelas terlihat karena ia selalu menundukkan wajahnya, dan rambutnya yang panjang pun menutupi wajahnya.
Aku mendekatinya,
'PLAAAKKKK'
sebuah tamparan pun kulayangkan. Polwan yang mendampingiku pun sedikit terlambat mencegahnya.
Mataku terasa perih dan tubuhku lelah. Aku ingin keluar dari tempat ini.
"Kita pulang.." kataku pada Pram.
Ia masih menggendong putri kecilku saat kami berjalan menuju keluar. Tak sepatah katapun ia ucapkan, dan aku yakin, Pram telah mengerti sepenuhnya terhadap duduk permasalahan yang telah menimpa keluargaku. Pikiranku benar-benar kacau, dan yang membuatku semakin terpuruk adalah ketika melihat putri kecilku yang tengah terlelap dalam pelukan Pram.
Aku benar-benar letih. Tak sepatah katapun diucapkan oleh Pram hingga kami tiba kembali di rumah.
"Makasih ya Pram. Maaf ibu merepotkan kamu malam-malam begini."
"Gak apa-apa kok bu, saya hanya membantu semampu saya. Sekarang ibu istirahat dulu. Kalo ada apa-apa, ibu bisa panggil saya"
"Iya..makasih ya."
Sepertiga malam kulewati dengan tangisan. Aku membayangkan bagaimana jahatnya suamiku mengkhianatiku, menghancurkan mimpi-mimpiku.Â