Chereads / Merebut Istri Tuan Muda / Chapter 3 - Permintaan tidak terduga

Chapter 3 - Permintaan tidak terduga

"Santi, kalau seandainya nenek memintamu menjadi istri sah, Cucuku Tonny apa kamu bersedia?"

Santi yang sedang makan nyaris tersedak mendengar penuturan nenek Wendi.

"Coba pikirkan baik-baik. setelah bayimu lahir apa kamu sanggup berpisah dengannya?"

"Apa kamu mampu melihat anakmu memanggil wanita lain dengan sebutan mama?"

Santi menghentikan kegiatan makan paginya. Menatap lekat ke arah sang nenek. Mencoba mencari tahu kesungguhan hati atas permintaan tak terduga wanita itu.

"Kamu masih punya banyak waktu untuk mempertimbangkan usulanku, Nak."

Sebagai perempuan biasa, jujur Santi ingin mengiyakan pinta nenek Wendi. Namun, ia masih sangsi akankah dirinya tega bersenang-senang di atas penderita wanita lain.

Santi tahu sebelum menikah dengannya, Tonny pernah bercerita bahwa ia memiliki seorang istri teramat dia sayangi.

Santi pernah melihat foto Laras terpampang pada layar handphone milik Tonny. Wanita itu nyaris sempurna. Hanya saja ketidakmampuan memberikan keturunanlah yang buat Tonny terpaksa mendua.

Hari demi hari berlalu sedemikian cepat, sesuai prediksi tim dokter. Hari persalinan Santi akan segera tiba.

Nenek Wendi memutuskan proses kelahiran calon cucunya melalui proses operasi caesar.

Persiapan pun dilakukan. Detik memasuki ruang operasi, Santi memegang erat pergerakan tangan Tonny.

"Jangan takut, aku akan menemani selama proses kelahiran." Ucap Tonny menenangkan Santi.

Sementara itu nenek Atmajaya dan Bi Imah menunggu di luar ruang operasi.

Sebenarnya bukan hanya Santi yang gelisah, Tonny merasakan hal yang sama. Keringat dingin menetes membasahi kening Tonny.

Tapi pria itu tak ingin menampakkan. Dia harus tetap tenang dan menenangkan Santi.

Oe oe oe....

Setengah jam kemudian lahirlah bayi lelaki berparas tampan, Mirip dengan rupa sang ayah.

Tonny dan Nenek Wendi bersuka cita menyambut kehadiran bayi tersebut. Sementara Santi yang masih tergolek lemah pasca operasi, hanya dapat memberikan seulas senyuman tipis kepada suami dan mertuanya.

Bayi merah itu Tonny beri nama Perwira.

Dua bulan sudah usia perwira, Santi teringat akan ucapan nenek Wendi.

"Apa egosi jika aku bersedia menjadi istri sah Tonny?"

"Aku sungguh tak sanggup jika harus berpisah dengan putraku. Meski di bayar dengan setengah dari kekayaan Tonny Aku tak ingin menukar bayi ini dengan apa pun."

Tangisan Perwira buat Santi terjaga dari tidurnya. Meski telah dibantu oleh tiga orang babysitter. Tetap saja Santi tidak bisa sepenuhnya melepaskan tangan.

Ada rasa bahagia yang tak dapat di lukiskan dengan kata-kata saat menggendong bayi lucu itu.

Terkadang saking gemas, Santi dengan sengaja mencubit kedua belah pipi Perwira. Tangisan Perwira merupakan nyanyian merdu yang mengalun, memenuhi gendang telinga Santi.

Demikian pula Tonny kehadiran Perwira buat pria itu tanpa disadarinya perlahan mulai mengabaikan Laras.

Apalagi setelah Nenek Wendi meminta Santi dan Perwira tinggal di istananya.

Setiap kali weekend Tonny tak pernah ada waktu menemani Laras. Sepulang kerja Tonny akan merebahkan diri membelakangi Laras tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Laras menjadi kian resah akan perubahan drastis Tonny. Tak ada lagi sapaan sayang, Perhatian dari pria terkasih.

Seolah Tonny pulang ke rumah hanya untuk tidur malam. Semakin Laras mencoba memahami sikap Tonny, justru buat Tonny semakin terlena. Menjauh dari Laras.

Karena sudah tak tahan lagi akan sikap suaminya yang berubah dingin. Laras mengumpulkan segenap keberanian bertanya kepada Tonny.

"Kak, Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Apa yang sedang kamu sembunyikan?"

"Sudah enam bulan berturut kamu mengabaikan aku."

"Apa benar dugaanku kalau kamu sudah miliki wanita lain?"

"Jawab, Kak. Kenapa hanya diam saja?" pekik Laras dengan intonasi nyaring.

Perempuan itu sudah kehilangan separuh rasa hormat kepada lelaki bergelar suami.

Di tambah lagi semua pertanyaan Laras tidak direspon sama sekali oleh Tonny.

"Sudahlah Laras aku capek."

"Bukankah selama ini aku masih menjalankan kewajibanku dengan baik!"

"Aku memenuhi seluruh kebutuhanmu dan anak angkat itu. Jadi plise biarkan aku istirahat."

Tonny pun hendak beranjak meninggalkan Laras. Entah mengapa justru saat ini pikirannya justru tertuju sepenuhnya kepada Perwira dan Santi.

"Sedang apa bayiku sekarang?" Gumam Tonny.

Karena kesal pertanyaan nya tidak di respon Tonny, Laras seolah kehilangan akal sehat. Dengan segera perempuan itu menyambar gunting yang terletak di atas meja rias.

"Kak, Tonny jika kamu tidak juga menghiraukan aku, lebih baik aku mati saja!"

Semula Tonny menganggap Laras hanya menggerakkan. Tapi mendadak Tonny menjadi khawatir melihat ujung gunting itu telah sedikit menembus kulit bening istri pertamanya.

"Selamat tinggal, suamiku!"

Sesaat sebelum gunting itu kembali menggores pergelangan tangan Laras. Secepat kilat Tonny merebut serta melempar benda taja tersebut dari genggaman jemari Laras.

"Hentikan Laras..." Bariton suara Tonny menggema memecah kesunyian malam.

"Untuk apa kamu menyelamatkan aku?"

"Toh, selama ini aku tak pernah di anggap ada!" Pekik Laras di iringi lelehan kristal yang membahasi kedua belah pipinya.

"Astaga, Laras..."

"Maafkan aku jarang memperhatikanmu."

Akhirnya usaha Laras membuahkan hasil. Dia tak menduga dapat menjebak Tonny dengan berpura-pura hendak bunuh diri.

Laras jadi berpikir seharusnya sudah dari beberapa bulan sebelumnya dia mengancam Tonny.

Meski idenya konyol pikiran perempuan itu buntu, Laras telah kehabisan akal bagaimana caranya mengembalikan keharmonisan rumah tangga mereka seperti sediakala.

Akhirnya setelah sekian purnama, Laras dapat bernapas lega. Tidur nyenyak bertumpu pada lengan sang suami sebagai bantal.

Meski enggan hari berikutnya Tonny bermalam di kediaman istri pertamanya. Dia tidak ingin Laras kembali mengulangi kejadian semalam.

Tonny tidak ingin reputasi bisnis keluarga yang telah susah payah di bangun nenek dan almarhum ayahnya mendapatkan reputasi buruk di mata publik.

Satu minggu sudah Tonny tak menemani Santi begadang mengurusi Perwira.

Tonny sungguh rindu menimang, menghirup aroma tubuh sang bayi. Tonny sungguh gelisah ingin segera menemui istri dan anaknya.

Jelang tengah malam terjawab resah yang sedari tadi melanda Tonny. Nek Wendi menelepon mengabarkan sekaligus memberitahu cucunya sedang sakit.

"Kamu segera ke sini!" Titah tak terbantahkan Nenek Atmajaya.

"Iya, Nek. Aku akan segera on the way."

Laras yang belum sepenuhnya tidur segera terjaga.

"Dari siapa?"

"Nenek sakit. Aku harus segera menemui beliau," jelas Tonny.

"Hem. Kan bisa di tunda besok. Sekarang sudah larut malam!" Laras berusaha mencegah kepergian Tonny.

"Nenek butuh aku sekarang, Laras. Tolong mengertilah," bujuk Tonny.

Karena larangannya tak jua diindahkan Tonny, Laras menjadi kesal.

"Kalau begitu aku ikut, Kak."

"Tidak usah Laras, Aku khawatir penyakit nenek malah bertambah parah dengan kedatangan mu."

"Akan aku cari waktu yang tepat supaya kamu bisa bertemu nenek."

Karena Tonny tetap bersikeras ke kediaman Nek Atmajaya, Laras bertambah kesal mengerucutkan bibirnya.

"Jangan seperti ini. Nanti cantiknya jadi berkurang loh...."

Laras mengerucutkan mulutnya mendengar candaan Tonny yang baginya terdengar garing.

"Gak lucu, ah!"

"Udah pergi buruan nanti nenek kesayangan kamu ngambek, Kalau cucu kesayangannya telat datang." usir Laras jengkel.

"Besok sebelum ke kantor temui aku dulu!"

"Siap, Hanny."