Aku tidak akan membiarkan perempuan itu mengambil alih posisiku, sebagai ratu dalam rumah tangga kami.
Aku bertekad akan menyingkirkan perempuan itu cepat atau lambat. Sampai dunia kiamat aku tak Sudi jika harus berbagi suami dengan wanita lain.
Setelah melakukan serangkaian perawatan, Aku lanjut berbelanja beberapa gaun cantik, Tas, Sepatu dan arloji.
Siang ini aku berencana menyambangi villa Nenek Atmajaya. Orang suruhan ku telah menemukan tempat tinggal si pelakor itu.
Meski kedatanganku akan mendapat tatapan tak bersahabat dari Nek Atmajaya. Aku tak peduli.
Fokusku sekarang harus merebut kembali Tonny. Sekaligus memberikan pelajaran berharga yang tak akan dia lupakan seumur hidup.
Aku menghela napas terlebih dahulu sesaat sebelum menjejakkan kaki di rumah Santi.
Satpam segera membukakan gerbang tanpa banyak tanya. Itu karena si satpam tahu siapa diriku.
Tak lupa aku turut serta menggandeng Sesil. Sementara sebelah tangan lainnya, Menarik koper berukuran sedang berisi pakaianku dan Sesil selama kami tinggal di sini.
"La-ras...." Ucap Tonny nyaris tercekat.
Hahaha, Dia pasti kagum melihat penampilan baruku. Tonny juga pasti tak menyangka aku akan mendatangi kediaman istri mudanya.
"Iya, Kak Tonny ini aku Laras istri pertamamu."
"Aku akan tinggal bersamanya di sini." Jawabku angkuh sembari melirik sinis ke arah Santi.
Aku menelisik dari ujung kaki hingga rambut Santi. Sungguh, Kecantikan perempuan itu tak ada apa-apa di bandingkan diriku.
Wajah Santi berubah pucat sepucat mayat. Tubuhnya gemetaran. Dia lantas bersembunyi di balik tubuh tegap Tonny.
Selangkah demi selangkah aku terus mendekati Tonny dan Santi. Dengan gesit aku mencekal pergelangan tangan Santi. Menghempaskan dari dari Tonny.
"Jangan, Mbak." Pinta perempuan itu lemah.
"Papa tolong aku...."
Sayangnya Tonny hanya diam mematung tak berkata sepatah kata pun.
"Jangan coba bersembunyi di balik tubuh suamiku!" Seruku dengan suara bergema.
"Sebelum berani menampakkan diri di muka publik, Seharusnya kau sudah menyiapkan mentalmu. Kau akan berhadapan langsung denganku!"
Ingin rasanya aku menjambak rambut wanita itu sekeras mungkin, Hingga seluruh rambutnya tercabut. Kemudian mencakar wajah tak berdosa yang di tampakkan Santi.
Sayang semua hanya sekedar angan. Aku tak ingin mengotori tanganku. Aku akan membuat perhitungan dengan kalian berdua.
"Hanny kita bisa bicara baik-baik."
"Ya Tentu saja Kak Tonny. Aku sengaja membawa koper ini. Aku akan tinggal di sini bersama kalian."
"Tentu saja aku akan menagih kembali semua hari yang telah dirampas perempuan ini!" Jawabku sinis.
"Aku peringatkan kepada kau, Jangan pernah panggil suamiku dengan sebutan papa!"
"Panggilan itu hanya pantas diucapkan oleh putriku Sesil." Aku ancungkan jari menunjukkan Santi yang masih tertunduk lesu.
"Meski kau telah berhasil memberikan putra kepada keluarga Atmajaya. Perlu kau ingat baik-baik, Aku adalah istri sah Tonny."
"Jangan coba membantahku atau aku akan membeberkan semua kelakuannya busukmu ke media sosial, Hingga kau tidak akan sanggup mengangkat kepalamu!" Tatapku nyalang.
"Papa kenapa tidak pernah pulang?" Tanya Sesil.
"Sesil rindu sama papa."
"Maafin papa, Sesil. Papa sibuk kerja cari uang buat Sesil dan mama Laras."
Aku kembali mencebik mendengar penuturan Tonny.
"Kamu bukan cari uang, kak. Tapi sibuk mengurusi pelakor pilihan nenekmu," Bantahku dalam hati.
Kak Tonny menggendong Sesil. Menghujani putri angkat kami kecupan di kening dan pipi.
Aku meminta tinggal pada kamar yang sebelumnya Santi tempati.
Santi protes tak menyetujui. Aku tetap bersikeras tak mau mengalah. Cukup sudah stok sabarku selama ini.
Ini barulah permulaan Santi. Selanjutnya kau akan aku buat sakit hati setiap saat. Hingga dadamu terasa sesak, Menyaksikan bagaimana aku mengambil alih cinta suamiku.
Aku tersenyum puas melihat bagaimana Santi terusir dari kamarnya sendiri. Ketika Santi minta tolong kepada Tonny menimang bayinya, Aku tidak mengijinkan.
"Kau urus saja anakmu sendiri!"
"Tonny akan tetap bersamaku sampai batas waktu yang tak ditentukan!"
"Sebentar saja sayang. Kasihan Santi susah menggendong Perwira."
"Tidak, Kak. Aku tidak mengijinkan kamu membantunya. Kan, ada asisten rumah tangga di sini!" Tolakku berang.
Aku putuskan mengajak Tonny ke ruang tamu. Kami berdua akan kembali ke kamar, Setelah art selesai membantu Santi membereskan semua barang miliknya.
"Kemana Nek Atmajaya?"
Aku cukup beruntung kali ini. Nek Atmajaya sedang di rawat di rumah sakit. Membuatku leluasa memberi pelajaran kepada Santi.
"Selamat datang di neraka Santi, Hahaha...."
POV Anti:
"Mengapa nenek harus jatuh sakit di saat tak tepat?"
Semenjak nenek di rawat secara intensif, istri tua Suamiku semakin leluasa bertindak semaunya.
Bahkan sekedar menggendong Perwira pun tak di ijinkan oleh wanita itu.
Setelah kedatangan Laras, Tonny menjadi pribadi berbeda. Tonny sama sekali tidak menghiraukan keberadaan aku dan bayi kami.
Setiap kali aku mencoba mendekati Tonny, selalu disambut dengan tatapan mengintimidasi Laras.
Bahkan tangisan Perwira tak jua kunjung menggerakkan hati Tonny memperhatikan buah hati kami.
Aku berharap Nenek Atmajaya secepatnya pulih. Karena hanya beliaulah satu-satunya sosok yang disegani Laras.
Seandainya Nenek ada di sini, pasti perempuan itu segan menjejakkan kakinya di istana kecil milikku.
Laras dengan sengaja memanasiku. Buat aku cemburu. Rasanya dada ini ibarat gunung berapi yang siap memuntahkan laharnya.
Hingga beberapa hari berlalu tanpa sadari, aku tengah mengandung buah hati untuk kedua kalinya.
Ketika sedang menyuapi Perwira, mendadak kepala ini terasa pusing berputar. Aku bangun dari tidur di temani Haxel bodyguard kepercayaan Nyonya Atmajaya.
"Aku kenapa?"
"Di mana Tonny?"
"Dan Perwira?"
"Nona tenanglah anda terlalu banyak beban pikiran. Saya berharap semoga setelah mendengar kabar ini Nyonya Atmajaya akan segera pulih."
"Maksud kamu?" Tanyaku tak mengerti.
"Selamat Nona, Anda sedang mengandung keturunan keluarga Atmaja," Jelas Haxel.
"Kok Nona malah terlihat sedih?"
"Bagaimana aku tidak sedih, Haxel."
"Meski sudah ada Perwira, Karena adanya Laras, Tuan mudamu jadi tak peduli denganku dan Perwira."
"Aku tak sanggup membayangkan jika kedua buah hatiku ditelantarkan oleh papa kandung nya sendiri," Tukasku tak bersemangat.
"Nona tidak usah bersedih, Saya yakin setelah Nyonya Atmajaya pulih. Beliau akan menegaskan tentang siapa sebenarnya posisi anda kini, Nona Santi."
"Kalau Nona bosan biar saya temani jalan-jalan."
Karena merasa bosan aku menerima ajakan Haxel membawa Perwira keluar rumah, Sekaligus menyegarkan pikiran.
Kami bertiga menghabiskan waktu membawa Perwira di tempat bermain. Aku meninggalkan Perwira dalam asuhan Haxel.
Aku sengaja meminta Haxel menjaga Perwira, Karena aku ingin shopping, dengan maksud berupaya mengalihkan sakit hati karena ketidakpedulian suamiku.
Tidak terasa sudah empat jam lamanya aku shopping. Aku masih ingin lanjut perawatan di salon.
Sebelumnya aku harus menghampiri Haxel dan Perwira terlebih dulu. Aku ingin memastikan putraku tidak rewel dan membuat Haxel kerepotan.
Langkahku seketika terhenti menyaksikan bagaimana pria itu memperlakukan putraku. Dia terlihat sungguh menyayangi Perwira.
Demikian pula Perwira berceloteh riang gembira dengan bahasa cadelnya.
"Seandainya saja Tonny yang di sana...." Aku membatin.
"Nona, Apa sudah selesai belanjanya?"
Aku jadi gelapapan sendiri. Sungguh aku sibuk dengan dunia khayalku sampai tak menyadari, Tengah berhadapan dengan Haxel.
"Iya, Sudah. Tapi aku ingin ke salon."
"Apa kamu masih bisa menungguku?"
"Apa Perwira tidak rewel?"
Lelaki berparas rupawan itu tersenyum memamerkan dua lekukan dalam pipi.
"Nona tenang saja. Tuan muda Perwira masih betah bermain di sini."
"Silahkan Nona lanjutan aktivitas, Saya akan menjaga Perwira dengan baik."
Dengan menganggukkan kepala aku melangkah menuju klinik perawatan kecantikan.
Usai creambath, luluran seluruh tubuh, Gunting rambut, Relaksasi dengan pijatan, Aku merasa lebih fresh dari sebelumnya.
Aku tertegun kesekian kalinya, Menyaksikan kasih sayang tulus diberikan Haxel kepada bayiku.
Perwira tidur dalam dekapan Haxel. So sweet sekali, Kan?
"Seandainya saja dapat ditukar, Aku ingin Haxel saja yang jadi suamiku."
"Sdah selesai, Nona?"
"Iya, Maaf, aku dan Perwira jadi merepotkan kamu."
"Tidak apa-apa, aku malah senang menemani kalian. Seandainya anakku masih hidup, dia sekarang pasti sudah sebesar Perwira."
Jadi Haxel sudah menikah?
Pantas saja dia terlihat berpengalaman mengurus Perwira.
"Emm, jadi kamu sudah punya istri?"
"Iya, tapi dia minta cerai karena tertarik kepada pria lain yang lebih mapan dariku."
Mendadak raut wajah Haxel berubah menjadi muram. Aku jadi merasa bersalah sudah bertanya hal tersebut kepada Haxel.
Pasti Haxel masih mencintainya mantan istrinya. Terbukti keceriaan dalam dirinya mendadak hilang, ketika menceritakan kisah masa lalunya.
"Maaf sudah buat kamu sedih."
"Tidak apa, Nona dia hanyalah masa lalu yang tak pantas untuk aku kenang."
Aku menepuk bahu Haxel berupaya memberikannya semangat.
"Bersama Nona dan Tuan muda Perwira, aku merasa mendapatkan kembali semangat hidup."
"Aku merasa punya teman tempat berbagi suka duka."
Aduh, Kok Haxel jadi mellow begini?
Awalnya aku mengira hanya pria saja yang bisa buat para gadis patah hati. Ternyata masih ada lelaki yang tulus memberikan cinta kepada pasangannya.
Aku mulai merasa nyaman bersahabat dengan Haxel.
"Mulai sekarang kalau sedang tidak berada di rumah, Kamu panggil aku dengan sebutan nama saja, ya."
"Tapi, Nona?"
"Saya merasa tidak pantas memanggil anda dengan sebutan nama."
"Jangan segan Haxel. Panggil aku Santi."
"Aku akan marah, Kalau kamu tidak turuti permintaanku," Tukasku merajuk.
"Hahaha, baiklah nona, eh. Maksudku Santi."
Sungguh senang rasanya melihat Haxel kembali ceria.
Tak terasa waktu berlalu telah seharian kami bertiga meluangkan waktu bersama. Saat jarum jam menunjukkan pukul enam sore, kami kembali ke rumah dengan riang gembira.
Meski belum lama mengenalnya, Aku merasa nyaman bersama Haxel. Kesedihan yang tadinya menghimpit dada, Seakan menguap entah ke mana.
"Terima kasih Tuhan, Engkau telah kirimkan sahabat sebaik Haxel."
"Dari mana saja kalian?" Gelegar suara Tonny buatku terlonjak kaget.
"Begini rupanya kelakuanmu saat aku tidak berada di rumah!" Sentak Tonny melampiaskan emosi.
"Aku bosan di rumah."
"Aku bosan harus terus mengemis perhatian mu!"
"Aku juga punya hati. Apa kamu pikir aku tidak sakit hati menyaksikan suamiku bermesraan dengan wanita lain!" Ujarku dengan intonasi keras.
"Laras istriku." Pungkas Tonny nyaris lirih.
"Aku juga istrimu, Kak."
"Dengan keberadaan Laras di sini. Ketika Perwira merengek meminta ingin di gendong oleh ayahnya sendiri, Kamu bahkan tak peduli!"
"Maafkan aku, Santi."
"Aku tak tega buat Laras terluka dengan menggendong Perwira."
"Kalau seperti itu, lebih baik anda tidak usah bersusah payah membujukku!"
"Tidak usah anggap aku ada!"
Tanpa terasa tetesan air kembali menganak sungai, Melewati kedua belah pipi ini.
Sungguh aku sakit hati mendengar pengakuan Tonny. Entah terbuat dari apa hatinya.
Tonny lebih menjaga perasaan Laras dibandingkan aku. Entah bagaimana nasip janin yang tengah aku kandung kini?
Aku tidak rela anak keduaku tak dihiraukan oleh ayah kandungnya sendiri.