Tonny menghela napas lega, setelah roda empat yang dikendarai bodyguard melintas membelah jalanan. Dia punya kesempatan menengok sang buah hati.
Sepanjang jalan Tonny terus mengetuk kelima jemari ke kaca mobil. Kekhawatiran terhadap Perwira buat hati si bapak muda itu jadi tak tenang.
Sesampainya di sana, Tonny dapat menghirup napas lega. Baby Perwira sudah tidur dengan nyenyak pasca di beri suntikan oleh dokter.
Pagi hari sinar mentari tersenyum malu-malu, Terhalang oleh awan gelap. Tak lama berselang turunlah rintik hujan. Diiringi dengan suara kicauan burung peliharaan Nenek Atmajaya.
Tonny bersiap kembali menemui Laras, sesuai janjinya semalam. Tonny tak ingin Laras memendam curiga.
Dua Tahun kemudian.
Perwira, Putra sulung Tuan Muda Tonny, hari ini genap berusia dua tahun. Perayaan ultah Perwira berlangsung dengan meriah.
Semua orang bergembira tak terkecuali Santi. Hanya saja ada yang mengganjal membebani pikiran perempuan muda itu.
Sesuai kontrak perjanjian nikah. 1 bulan setelah ini Santi harus berkemas meninggal kan Perwira.
Karena kontrak pernikahan mereka akan terputus dengan sendirinya.
Usai perayaan hingar bingar, Santi memeluk sang putra yang sedang terlelap.
Hatinya sungguh nelangsa. Di satu sisi dia ingin tetap bersama Perwira.
Namun apalah daya, dia hanyalah orang tak punya, tidak bisa berbuat banyak.
Tok tok tok.
"Boleh Nenek masuk?"
"Iya, Nek. Pintunya nggak aku kunci," jawab Santi.
"Nenek ke sini sengaja ingin bicara empat mata dengamu."
"Nenek berencana melegalkan pernikahan antara kamu dan Tonny."
"Nenek tidak ingin cucu nenek, Perwira merasakan hal yang sama."
"Maksud nenek?" tanya Santi tak mengerti.
"Dulu nenek sempat di asuh ibu tiri. Ibu sambung nenek tidak tulus menyayangi nenek," Imbuh Nenek Wendi sambil menghela napas berat.
Perempuan itu mengedarkan pandangan nanar, Entah ke mana.
"Aku tidak ingin cucuku menderita karena perpisahan kedua orang tuanya."
"Nenek harap kamu bersedia menerima permintaan nenek kali ini."
Wanita yang telah memasuki usia senja itu menatap dalam kepada Santi.
Terlihat dari sorot matanya, Nenek Wendi menyimpan luka masa lalu.
Santi menjawab dengan ragu.
"Aku juga tidak ingin berpisah dengan putraku, Nek."
"Tapi bagaimana dengan istri pertama Tonny?"
"Apa dia mau berbagi suami denganku?"
"Aku sebenarnya tidak ingin merebut kebahagiaan wanita lain." seru Santi dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu tak usah khawatir, Nak." hibur Nek Wendi.
"Laras biar menjadi urusan nenek. Aku hanya butuh jawabanmu sekarang. Apa kamu bersedia seumur hidup menjadi menantuku?"
Hening sesaat.
"Iya, Nek. Santi mau."
"Syukurlah kalau begitu..."
Usai mendengarkan perkataan Santi, Nenek Wendi pamit ingin beristirahat.
Isi hati Laras:
Seminggu sesudah kedatangan Nenek hal aku takutkan benar terjadi. Di depan khalayak umum, Nenek mengumumkan jati diri Santi dan bayinya ke publik.
Nampak dalam konferensi pers yang di gelar, Kak Tonny bersikap sedemikian mesra terhadap si pelakor.
Tak ada sedikitpun rasa sesal yang nampak.
Kak Tonny juga berulang kali mencium buah hatinya.
Ya Tuhan, Apa salah dan dosaku?
Mengapa aku harus diberi cobaan seberat ini?
Pasca di umumkannya calon generasi pewaris bisnis raksasa keluarga Tonny, notifikasi pesan WhatsApp terus berbunyi tanpa jeda.
Mereka adalah teman sosialitaku, bertanya akan kebenaran berita yang beredar.
Untuk saat ini aku hanya membaca tanpa membalas pesan. Dengan di umumkannya keberadaan istri muda suamiku, aku seolah tak pernah di anggap ada.
Sebagai istri, Aku menyayangkan sikap Tonny yang terlalu patuh kepada neneknya. Ketidaktegasan terhadap Nek Atmajaya, buat biduk rumah tanggaku terancam karam.
Seandainya saja kedua orang tuaku masih hidup. Pasti mereka akan menghiburku, Menghapus airmata, dan menguatkanku.
Aku adalah istri sah tuan muda Tonny.
Sayangnya aku diperlakukan bagaimana wanita pengganggu rumah tangga orang.
Nek Wendi bahkan tanpa mempedulikan perasaanku, mengekspos si pelakor beserta bayi mereka.
Usai pemberitaan tersebut sebagian besar netizen menyalahkan kekuranganku, yang tidak bisa berikan cucu buat nek Wendi.
Ada pula yang memberikanku semangat dan dukungan.
Sejak kontroversi pemberitaan media, aku tak menyangka Melda, sahabatku semasa kuliah mengirimi pesan. Dia berencana akan datang menemui saat weekend.
(Kamu jangan sedih, Laras. Aku akan membantumu mendapatkan kembali cinta suamimu!)
(Sekarang coba kamu kirim via chat nama lengkap Tonny beserta ibunya)
(Sekalian fotonya dan madumu)
(Ok, tunggu sebentar)
Klik terkirim sudah identitas Kak Tonny sesuai permintaan Melda.
Aku penasaran akan permintaan aneh Melda. Tapi sudahlah aku tak ingin ambil pusing. Mungkin Melda sedemikian penasaran, akan identitas duri dalam rumah tanggaku.
Sesuai janjinya weekend kali ini, Melda memenuhi janjinya datang menemuiku.
Aku dapat menahan Isak tangis, saat mulai bercerita kepada Melda.
Ternyata dulu Melda bernasip sama denganku. Rumah tangganya sempat di ambang kehancuran, karena hadirnya orang ketiga.
Bahkan apa yang di alami Melda jauh lebih parah dariku. Melda terusir dari rumahnya sendiri.
Dengan kuasa Tuhan, Melda mendapatkan kembali cinta suaminya.
"Kamu campurkan ini ke dalam makanan suamimu." perintah Melda.
"Bagaimana kalau sampai Tonny tahu?" tanyaku ragu.
"Yah, jangan sampailah suamimu tahu."
"Percaya deh sama aku, secepatnya Tonny akan bertekuk lutut memohon supaya kamu tidak meninggalkannya."
"Ini ada juga sesuatu yang harus kamu taburkan pada bak mandi suamimu. Ingat, Jangan sampai kamu pakai mandi." Melda kembali memperingatkan.
Malam hari Melda menginap di rumahku. Dia sudah meminta ijin kepada suaminya. Melda akan bertolak kembali ke kota kelahirannya keesokan hari.
Jelang malam kami berdua menghabiskan waktu di salah satu cafe langgananku. Menikmati alunan musik sembari berselfie ria.
Setiba di rumah kami berdua lanjut bernyanyi sepuasnya di ruang karaoke, yang khusus Tonny buatkan untukku.
Ku menangis
Membayangkan
Betapa kejam dirimu atas diriku
Kau duakan cinta ini
Kau pergi bersamanya
Ku menangis
Melepas
Kepergian dirimu dari sisi hidupku
Harus selalu kau tahu
Akulah hati yang telah kau sakiti....
Bersamaan dengan lirik lagu tersebut aku kembali berurai air mata. Sungguh beban ini terlalu berat untuk aku pikul sendiri.
Aku kembali menagis dalam dekapan Melda. Melda berusaha menenangkan mengusap bahuku berulang kali.
Setelah merasa tenang kami kembali sibuk dengan memilih musik penyemangat.
Sedikit demi sedikit kehadiran Melda buatku bisa menghirup napas, mengurasi rasa sesak yang kian menyiksa batin.
Sinar matahari masih terbit dengan tersipu malu bagaikan gadis remaja yang jatuh cinta. Aku dan Melda telah bersiap mengantarkannya ke bandara.
"Setiap ada perkembangan apa pun, Kabari aku." pinta Melda.
Aku menganggukan kepala sambil mengacungkan jempol.
Kami berdua berpelukan erat sebelum Melda pergi, sungguh beruntung aku memiliki sahabat baik seperti Melda. Teman rasa saudara kandung.
Meldalah tempatku berbagi suka duka.
Sepulang mengantar Melda aku bergegas menuju salon kecantikan. Aku harus memperbaiki penampilan terlebih dahulu, Sebelum berhadapan dengan si pelakor itu.
Akan aku tunjukkan kepada Santi. Meski keberadaan dirinya telah di akui keluarga Atmajaya. Posisiku tetaplah istri sah.