POV Melia
Aku tersenyum membaca membaca pesan yang dikirim Arga di media sosial cuiterku, anak ini memang tidak pernah berubah. Lelaki yang tanpa basa basi, cenderung to the point menyampaikan segala sesuatu di benaknya. Masih teringat juga di hari wisuda SMA kami, dia memintaku menunggunya menjadi pria sukses dan mapan. Dasar lelaki bodoh!
Arga jelas bukan tipe pria yang kuinginkan untuk menjadi pacar, apalagi suami. Walau harus kuakui bahwa penampilannya tidak terlalu buruk. Standar sih, begitupun dengan karakter dan kepribadiannya. Biasa banget. Ibarat rumah, dia ini golongan RSSSSSSSS, Remaja Sangat Sederhana Sekali Sampai Sampai Suka Saja Susah. Tak ada sesuatu yang menonjol dari dirinya yang bisa membuatku terpukau. Tonjolannya juga biasa saja. Upssss, maksudku otot-otot tubuhnya tidak ada yang istimewa. Tak ada pahatan indah sebagai seorang pria yang gagah atau macho.
Bagiku Arga sangat membosankan sebagai seorang pria. Kadang dia mencoba melucu, tapi tetap tak mampu menyaingi Sule, pelawak idolaku. Satu-satunya kelebihan yang bisa kurasakan adalah kemampuan akademisnya. Ia selalu juara umum di sekolah, juga memenangkan beberapa olimpiade sains bahkan sampai tingkat provinsi DIY. Aku banyak dibantunya memahami pelajaran selama menjadi teman sekelas.
Tapi untuk suka dan menganggap dia lebih dari sekedar teman, sepertinya mustahil. Kami bukan hanya seperti bumi dan langit, tapi sudah layaknya bumi dengan planet pluto. Aku anak paling gaul, cantik, modis, dan populer di sekolah kami. Sementara dia?
Pria idamanku tentu harus tampan, dengan lekuk tubuh yang indah, lengan kekar, dan berbulu, apalagi bekas cukur di janggutnya. Itu kriteria fisik lelaki yang kucari. Non fisik? Tentu saja harus golongan menengah ke atas. Tak harus populer, tapi harus cukup mapan untuk membiayai hidupku yang mahal. Gadis sepertiku tidak bisa dan tak biasa menggunakan barang-barang murah. Sejak kecil memang aku alergi pada benda murah dan murahan. Kulitku bisa gatal, nafasku sesak, kepala berkunang-kunang, oh my God, aku bisa pingsan.
Arga? Mulus tanpa bulu seperti bintang iklan sabun colek, eh sabun mandi. Keluarganya juga biasa saja, ditambah lagi ayahnya meninggal ketika ia kelas satu SMA. Aku dan teman-teman sekelas sempat datang untuk melayat ketika itu. Bisa kulihat rumahnya yang kecil, masuk gang sempit, sama sekali tidak berkelas. Lalu, dia berjanji padaku untuk menjadi pria sukses dan mapan? Mimpi kali...
Setelah bertahun-tahun dia akhirnya ingin menemuiku. Jujur saja, bertemu dengannya bukan karena hatiku akhirnya luluh dengan perjuangan dan kesungguhan dia, tapi lebih pada rasa penasaran. Sudah sesukses dan semapan apa sehingga berani menghubungi dan mengajakku bertemu?
Bukan aku tidak tahu bahwa selama ini Arga selalu mengamati cuitanku di cuiter. Terkadang dia memberikan tanda suka pada foto ataupun tulisanku. Tapi sama sekali belum pernah ia memberi komentar satupun. Kuanggap lelaki ini terlalu pengecut untuk melakukan itu. Karena itulah, ketika akhirnya ia mengirimkan pesan dan mengajakku bertemu, kusetujui. Rasa ingin tahu yang teramat sangat membuatku mengiyakan tawarannya. Let see.
Sengaja kupilih Kemplang Village, sebuah kawasan yang cukup elit di bilangan Jakarta Selatan, agar Arga bisa melihat sendiri kehidupanku. Gadis sepertiku bukan kelas warung kopi. Aku yakin dia akan malu dan minder begitu melihat cafe yang kupilih dan lingkungan di sekitarnya.
My location unknown trying find a way back home to you again...
Telepon genggamku berbunyi. Kulirik sekilas, Imelda teman kuliahku yang menelepon.
"Ya, Mel. What's up?" tanyaku.
"We have a party next Saturday di rumah Kelly, don't forget ya," Imelda menjelaskan dengan nada manja yang menjadi ciri khasnya.
"Yeah, at seven, right?"
"Becyul baby. By the way, skripsi you kapan finish, Beib?" Imelda mengungkit hal yang paling kubenci beberapa waktu ini, skripsi. Wangsit apa yang didapat oleh para dosen sehingga menciptakan sebuah kutukan bernama skripsi bagi para mahasiswanya.
"Ishhh, lo bikin gue bad mood deh. Entahlah. Eh, wait... Oh my God, thanks for give me a bright idea, Mel," hampir saja aku berteriak kegirangan. Pertanyaan Imelda datang di saat yang paling tepat.
"Hah? What do you mean, Beib?" tanya Imelda tidak mengerti dengan maksud perkataanku.
"Udah, entar gue cerita ma lo. Sekarang gue mo cabut dulu. Dah ditungguin Bobby di Mall Mangga Lima Rupa Rupa Warnanya. Bye, Mel. Thanks a lot ya," kataku buru-buru karena teringat pacarku sudah meluncur menuju salah satu pusat perbelanjaan itu.
Pacarku anak bungsu dari keluarga tajir melintir yang kemana-mana pakai supir, tiap pesta selalu hadir dan kalau belanja nggak pernah kikir. Jadi sebagai kekasihnya, tentu saja aku bahagia tralala. Setiap hari bisa belanja tanpa harus menghitung uang yang tersisa. Kartu sakti yang dimiliki Bobby seolah tiada batasnya. Tinggal gesek sana, gesek sini sambil tertawa. Arga bisa seperti ini?
Langkahku menemui Arga sudah sangat tepat. Dia cukup cerdas untuk bisa membantuku menyelesaikan kutukan kampusku. Aku yakin dengan senang hati dia akan melakukannya untukku. Cukup kuberikan sedikit senyuman manis, atau bahkan memegang lengannya barang sedetik dua detik. Dan akhirnya, masalahku terselesaikan.
Kau memang cerdas, Melia, kataku dalam hati sambil tersenyum.
Aku setengah berlari ke ruangan bawah karena taksi online yang kupesan sudah menunggu di depan rumah kos. Kebetulan kamarku memang berada di lantai dua.
"Siang mbak, sudah siap?" tanya sopir dengan ramah begitu aku duduk dan menutup pintu mobil.
"Yuk, Pak," jawabku singkat.
Aku tidak mau Bobby menunggu terlalu lama. Dia mudah sekali bad mood. Bahaya, bisa berkurang jatah belanja hari ini.
Sesampainya di mall, segera kutelepon kekasih tercintaku itu.
"Ya, Beib. Gue parkir dulu ya. Ketemu di depan Zoro aja, sekalian gue mo belanja di situ," jawab Bobby dan langsung menutup telepon.
Syukurlah, dia baru sampai, dan masih di tempat parkir. Aku bergegas menuju sebuah toko busana yang dimaksud. Tak selang berapa lama, Bobby muncul di depanku.
"Sori, lama nunggu?" tanya dia.
"Enggak kok, lima menitan. Yuk, masuk," ajakku seraya menggamit lengan lelaki bertubuh tambun ini.
Bobby juga bukan tipe idealku sih. Tapi saat ini, sambil menunggu pria yang tepat untukku, tidak salah jika aku mengisi kekosongan bersamanya. Minimal rekening dia tak kalah gendut dengan tubuhnya. Sekedar menghabiskan dua puluh sampai tiga puluh juta per bulan untukku, bukan hal sulit baginya. Karena itulah aku bahagia menjadi kekasih lelaki ini.
"Sabtu ini kita nggak bisa jalan ya, Bob. Gue siang mo ketemu orang yang bantu kerjain skripsi, dan malamnya gue birthday party-nya si Kelly. And ladies only, jadi gue nggak bisa ngajak lo deh. Nggak papa, ya?" kataku manja meminta ijin.
Sebetulnya undangan Kelly bukan ladies only, hanya saja aku memang tidak berniat mengajaknya. Malu dong, gadis sepertiku menggandeng lelaki seperti dia. Orang pasti akan bergosip bahwa aku ini cewek matre. Bobby cukup jadi juru bayar yang sempurna di mall. Dan siapa tahu di pesta itu bisa menemukan pria yang ideal untukku. Perfect plan.