Tiba-tiba Arga terlonjak dan melihat ke arah jam dinding di kamarnya, pukul 17.30. Dia bergegas mandi dan mulai menata diri di depan cermin.
"Huffft, bagaimana kalau pak bos tidak mau memberiku pinjaman? Bagaimana kalau penilaian beliau malah jadi buruk terhadapku karena mengajukan pinjaman?" benak Arga diselimuti banyak keraguan.
Arrrghhh, sudahlah dicoba dulu, katanya dalam hati.
Setelah merasa cukup bersolek, tak lupa disemprotkannya parfum di kedua pergelangan tangan dan lehernya. Parfum Lisboa favoritnya yang beraroma segar tapi cukup lembut. Memang bukan parfum mahal, tapi baunya pun tidaklah murahan. Cukup untuk menggambarkan sosoknya yang sederhana tapi berkualitas.
Segera dihamparkannya sajadah, lalu melaksanakan sholat Maghrib. Lelaki ini memang tak pernah meninggalkan kewajibannya untuk beribadah. Sesibuk dan selelah apapun dirinya, dia tak akan lupa pada sujudnya. Itu pula yang menjadi salah satu pertimbangan pemilik perusahaan untuk meliriknya sebagai calon menantu.
Seperti pertimbangan orang tua pada umumnya tentang kriteria menantu idaman, semua ada pada diri Arga. Tampan, bertanggung jawab, soleh, dan memiliki pekerjaan layak.
"Ya Allah, mudahkan hambaMu ini menyelesaikan masalah Arya. Semoga Pak Danang berkenan membantu hamba. Amin Yaa Rabbal Alamin," ucap Arga dalam doa.
Untuk sejenak ia merenung. Memang tak mudah sejak ayahnya meninggal. Arga harus mampu menjadi pengganti dadakan sebagai kepala keluarga. Untuk urusan ekonomi tidaklah terlalu sulit karena keluarga mereka sudah terbiasa hidup seadanya. Almarhum juga masih memiliki tunjangan pensiun.
Satu-satunya hal yang sangat membebani adalah sikap dan kelakuan adiknya. Tanggung jawab sebagai kakak sulung, juga pengganti ayahnya untuk mengarahkan Arya, dirasa sangat berat. Si bontot selalu berulah, salah pergaulan, dan sekarang malah menimbulkan masalah besar. Entah kapan dia berubah lebih baik.
Arga melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, 18.15. Ia segera melipat sajadah dan keluar dari kamar.
"Mau kemana, Ga?" tanya Arum melihat anaknya sudah rapi dan wangi.
"Arga ke rumah bos dulu ya, Bu. Doakan beliau mau membantu kita untuk melunasi hutang di rentenir," jawabnya seraya mencium tangan Arum.
"Ya, ibu pasti doakan yang terbaik ya," jawab ibunya sambil mengusap rambut Arga.
"Arga berangkat, Bu. Assalamu 'alaikum," ucap Arga berlalu menuju motor yang diparkir di depan rumah.
"Wa 'alaikumus salam. Hati-hati ya, Ga," jawab Arum setengah berteriak.
Tak lama terdengar suara motor Arga mulai menjauh. Dan hanya butuh sekitar 30 menit untuk sampai di rumah Pak Danang.
Begitu Arga sampai depan rumah dan mematikan mesin motor, Pak Danang sudah membuka pintu rumah dan mempersilahkannya masuk.
"Masuk, Ga. Wah, memang nggak pernah terlambat kamu ya. Selalu tepat waktu," puji Pak Danang sambil tersenyum.
"Selamat malam, Pak," sapa Arga sambil mengulurkan tangannya.
"Malam. Yuk, masuk," Pak Danang menjawab sembari membalas jabat tangan. Ditepuknya punggung anak muda yang disukainya ini.
"Kita langsung ke ruang makan saja. Setelah makan baru kita ngobrol santai," ajak Pak Danang.
"Baik, Pak," Arga menurut dan mengikuti lelaki paruh baya itu menuju ruang makan.
Arga terkagum-kagum melihat rumah yang sangat mewah dan luas ini. Warna ruangan maupun interior didominasi oleh warna abu-abu, putih dan hitam. Tidak terlalu banyak pernak-pernik barang di rumah ini. Simpel tapi sangat elegan.
Begitu memasuki ruang makan, salah satu sudut ruangan menarik perhatiannya. Sebuah lukisan besar bergambar burung merak dan dua buah rak hias berisi beberapa guci kecil mengapit lukisan tersebut. Meja makan berkapasitas delapan orang nampak di tengah ruangan dan ditata apik layaknya restoran di hotel bintang lima.
"Silahkan duduk, Ga. Bi, tolong panggilkan Binar, suruh turun sekarang," kata Pak Danang.
Wanita yang dipanggil bibi mengangguk dan segera meninggalkan ruang makan.
"Terima kasih atas undangannya, Pak," ucap Arga.
"Santai saja, Ga. Anggap saja ini makan malam perkenalan dan pendekatan. Saya berharap nantinya bisa sering makan bersama, atau bahkan setiap hari, kalau kamu sudah menikah dengan Binar," jawab Pak Danang tenang.
Arga menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa seperti gumpalan daging empal gentong yang tidak dikunyah. Bos ini memang memiliki pembawaan sangat tenang, tapi mampu mengintimidasi orang lain dengan ketenangan dan gaya santai yang dimiliki. Kalau saja jakun ini bukan buatan Tuhan, pasti sudah ikut tertelan.
Tak lama Binar sampai di ruang makan dan memilih duduk persis di depan Arga. Gadis ini mengenakan rok pendek berwarna hitam, dan baju berwarna merah yang entah apa namanya, menunjukkan satu bahunya terbuka, sementara lainnya nampak seperti biasa.
Seperti biasa, gadis ini memang terlihat cantik tapi ketus. Dia bersikap seolah Arga tidak ada di ruangan tersebut.
"Malam Mbak Binar," sapa Arga dengan sopan.
Binar tidak menjawab dan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya.
"Binar," kata ayahnya singkat.
Binar mengerti apa maksud ayahnya.
"Iya, malam," jawabnya singkat.
"Maafkan sikap anak saya, ya. Ayo, kita makan," Pak Danang segera memulai mengambil makanan, sekaligus untuk mencairkan suasana agar tidak beku.
Sembari makan mereka berbincang tentang urusan kantor, dan itu membuat Binar makin muak.
"Kalo emang maunya ngomongin kerjaan, mending kalian makan malam berdua deh. Aku balik ke kamar ya, Yah," kata Binar.
"Eits, maaf, jangan ngambek. Ya sudah, kita tidak lagi bicara soal kerjaan," jawab Pak Danang menarik anaknya untuk tetap duduk.
"Arga, adikmu kuliah di mana?" tanya Pak Danang.
"Di Universitas Tirtomoyo, Pak. Jurusan Hubungan Internasional, sudah semester akhir. Semoga segera lulus," jawab Arga menutupi keraguannya bahwa Arya bisa lulus kuliah.
"Pasti sepintar kamu, Ga. Faktor Genetika. Kalau Binar ini mewarisi kerasnya saya," Pak Danang menggoda Binar.
Arga hanya bisa tersenyum mendengar kalimat pimpinannya itu. Ya, Arya bukan termasuk anak yang bodoh sebetulnya. Dia cukup kreatif dan cerdas, hanya saja tidak mampu atau lebih tepat tidak mau memanfaatkan dengan baik.
"Kalau sudah lulus, kerja di perusahaan kita saja, Ga. Bisa jadi marketing atau PR kita," kata Pak Danang.
"Sekalian aja, Yah, ajak tetangganya kerja. Kalo perlu tukang siomay yang biasa lewat depan rumah sekalian," Binar makin sebal melihat sikap ayahnya yang terlalu berlebihan pada pria ini.
"Adik saya lebih tertarik untuk membuka usaha sendiri, Pak. Dari dulu cita-citanya menjadi seorang enterpreneur, bukan karyawan," jawab Arga.
"Bagus, dong. Kamu juga bisa memberi banyak masukan untuk dia dari pengetahuan dan pengalamanmu. Anak muda punya cita-cita tinggi, itu bagus. Tidak seperti pacar, eh mantan pacar Binar. Pengangguran tanpa cita-cita dan masa depan," sindir Pak Danang.
Mendengar ucapan ayahnya, Binar mendengus kesal.
"PACAR, bukan mantan pacar. Wait, Tirtomoyo Jurusan HI? Pacarku juga, kampus dan jurusan yang sama, semester akhir juga. Jadi kalo adik dia, ayah anggap keren, pacarku juga dong," Binar membela kekasihnya.
"Oh, sama ya. Wah, bisa jadi pacar Mbak Binar temannya adik saya, Arya," kata Arga.
"Nama adikmu Arya? Arya Dwi Putra?" Binar terkejut mendengar Arga menyebut nama adiknya.
"Iya, itu adik saya. Mbak Binar kenal ya?" tanya Arga.