"Jadi, Arya itu adik kamu?" tanya Binar sekali lagi mencoba meyakinkan dirinya.
"Iya, benar. Kalau begitu, selama ini Mbak Binar ini pacar adik saya? Arya memang beberapa kali menyebut nama Binar, tapi saya tidak menyangka kalau Mbak yang dimaksud," Arga terkejut dengan kenyataan yang baru saja mereka temukan.
"Hahaha, see... Yah, jadi masih mau memuji atau menghujat Arya? Ternyata orang yang sama lho," ejek Binar pada ayahnya.
Pak Danang terdiam dan tidak menjawab. Dia tidak menyangka bahwa bajingan yang tidak disukainya adalah adik kandung Arga. Sungguh dua kakak beradik yang sangat berbeda.
"Memang sifat kami sangat berbeda, dan juga kurang akur. Bukannya mau menjelekkan adik sendiri, tapi dia memang belum bisa bersikap dewasa. Sejak dulu hingga sekarang, masih saja menjadi trouble maker. Saya minta maaf kalau Arya sudah menimbulkan banyak masalah di keluarga Bapak," Arga teringat cerita Pak Danang tentang adiknya.
"See, ayah tidak salah menilai, kan?" Pak Danang balas mengejek.
"Kakak macam apa kamu, merusak image adiknya sendiri, huh!" tukas Binar kesal.
"Maaf, Mbak Binar. Saya berbicara apa adanya. Arya sudah banyak menimbulkan masalah di mana-mana. Tentu kami bahagia jika Mbak Binar bisa merubahnya menjadi manusia yang lebih baik. Tapi jangan sampai ia melakukan lebih banyak lagi kesalahan dan kerumitan. Kita harus bisa membatasi dan bersikap tegas, demi kebaikan dia sendiri," penjelasan Arga begitu gamblang.
Pak Danang memandang kagum pada pria satu ini. Dia tidak semerta-merta membela tapi justru dengan jujur dan terbuka mengakui sikap buruk adiknya. Bahkan mewakili meminta maaf atas semua masalah yang ditimbulkan. Ini menunjukkan sikap bijak dan bertanggung jawab.
Tapi Arga juga tidak bermaksud menghancurkan adiknya, karena menekankan kata "belum dewasa" dan mengutarakan keinginan merubah Arya menjadi orang yang lebih baik. Sungguh seorang kakak yang mampu berpikir jernih.
"Bagus, Ga. Tidak salah saya menilaimu," kata Pak Danang sambil tersenyum pada Arga.
Binar membanting sendok dan garpunya lalu pergi meninggalkan meja makan. Pak Danang dan Arga hanya melihat sekilas kepergiannya kemudian melanjutkan makan malam mereka.
"Pak, ada hal penting yang ingin saya sampaikan setelah makan malam," Arga mencoba memberanikan diri.
"Baik, setelah makan kita ke ruang kerja saya," jawab Pak Danang.
Mereka melanjutkan makan sambil melanjutkan obrolan santai.
Setelah selesai menyantap hidangan dan berbincang sejenak, Pak Danang mengajak Arya untuk berbicara di ruang kerja pribadinya.
Sepertinya sesuatu yang serius, siapa tahu Arga sudah setuju untuk menikahi Binar, kata Pak Danang dalam hati.
"Apa yang mau kamu bicarakan, Ga?" tanya Pak Danang setibanya di ruang kerja miliknya.
"Mmmhh, sebelumnya mohon maaf, Pak. Saya berharap apa yang saya sampaikan tidak menimbulkan penilaian buruk terhadap saya," Arga sedikit ragu untuk meneruskan kalimatnya.
"Santai saja, Ga. Katakan dengan jelas dan tanpa ada yang ditutupi, apapun itu," tegas Pak Danang melihat anak buahnya ini masih diliputi keraguan.
Akhirnya Arga menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi keluarganya pada pimpinan perusahaan tersebut. Dia juga menyiapkan diri jika pria itu marah atau bahkan memecatnya. Ia sadar, belum lama bekerja sebagai karyawan di perusahaan tersebut, dan baru hitungan hari dipromosikan menjadi supervisor finance.
"Tidak mungkin perusahaan memberikan pinjaman padamu sebesar itu. Karyawan lain pasti akan iri dan ikut-ikutan, Ga. Sebagai orang keuangan tentu kamu paham hal itu," jawab Pak Danang setelah mendengar penjelasan Arga.
"Saya paham sekali, Pak," jawab Arga pasrah. Memang mustahil perusahaan memberikan pinjaman sebesar itu walau ia tahu perusahaan Pak Danang termasuk besar dan keuangan pun sangat sehat.
"Tapi saya bisa membantu kamu secara pribadi. Sebentar," kata pria itu.
Terlihat dia membuka brankas yang disimpan di dalam lemari bacanya. Dikeluarkannya beberapa tumpuk uang tunai lalu dimasukkan ke dalam amplop coklat besar. Arga terkejut melihat apa yang dilakukan bosnya.
"Ini 180 juta. Tiap hari kamis, kamu makan malam di sini karena saya ingin diskusi tentang perusahaan kita. Tiap bulan cicil saja semampumu," kata Pak Danang tegas sambil menyodorkan amplop berisi uang tersebut.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya," Arga menerima uang itu dan menyanggupi permintaan pimpinannya.
Dalam benak Pak Danang setidaknya tiap Kamis malam Arga dan Binar bisa bertemu dan lebih saling mengenal. Selain itu, ia ingin mempelajari lebih dalam karakter lelaki satu ini, dan tentu saja mengajarinya lebih banyak hal lagi tentang mengelola perusahaan.
Bagaimanapun caranya, kau harus jadi menantuku, pikir Pak Danang.
"Lalu apa rencanamu untuk adikmu, Ga?" dia penasaran apa yang akan dilakukan Arga.
"Saya berencana membujuknya untuk masuk di pelatihan-pelatihan kewirausahaan, Pak. Jika memang minat di enterpreneur, saya tidak akan menentang. Hanya saja, dia perlu diarahkan dengan tepat agar bisa sukses," Arga menjelaskan yang dipikirkannya mengenai Arya. Walau ia sendiri tidak yakin akan mampu meyakinkan adik semata wayangnya untuk melakukan itu.
"Bagus, Ga. Tapi saya ragu dia mau," seolah Pak Danang mampu menebak pikiran Arga.
"Setidaknya hanya itu yang terpikirkan oleh saya saat ini, Pak. Saya benar-benar berterima kasih atas bantuan Bapak hari ini. Insya Allah, semoga Arga bisa membalas dengan baik," ucap Arga tulus.
"Santai saja, pertimbangkan saja tawaran untuk menjadi menantu saya," pembahasan kembali pada perjodohan lagi.
Arga mencoba mengalihkan pembicaraan dengan berdiskusi mengenai situasi ekonomi dan politik saat ini. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan Arga memohon ijin untuk pamit pulang.
"Sekali lagi, terima kasih banyak pak, undangan dan bantuannya malam ini," Arga mengulurkan tangannya.
"Sama-sama, hati-hati di jalan, Ga," jawab Pak Danang dan membalas uluran tangan Arga.
Arga menuju motornya sambil tersenyum puas. Setidaknya masalah rentenir selesai besok.
"Sssst, heh!"
Arga menoleh mendengar sebuah suara seolah memanggilnya. Ternyata Binar. Gadis ini langsung menarik tangan Arga menuju ke bagian kiri bangunan rumahnya. Di sana nampak sebuah kursi taman dengan rangka dari besi dan alas duduk dari kayu yang cukup untuk dua orang.
Kedua telapak tangan mereka menyatu. Terasa hangat dan cukup untuk membuat sesuatu dalam diri Arga meronta.
Ah, andai saja ini Melia, pikir Arga.
Dengan lembut, Binar duduk di kursi taman tersebut dan menarik Arga dengan perlahan untuk duduk di sampingnya.
Sungguh sikap gadis ini sangat berbeda dengan tadi di ruang makan, pikir Arga.
Sebuah garis lengkung dari bibir menghiasi rupa cantiknya.
Dibandingkan dengan sejuta bintang di langit, aku jauh lebih menginginkan seuntai senyum di wajahmu.
Arga tersenyum sendiri dengan sekelebat kalimat di kepalanya. Tentu saja, kalimat itu untuk Melia, sang pujaan hati.