Suara motor yang meraung dari bawah kamar kos membangunkan Melia dari tidur lelap. Diraihnya telepon genggam yang ada di samping kepalanya. Sudah pukul setengah delapan pagi. Pantas saja sudah berisik. Pasti orang-orang sudah bersiap untuk berangkat ke kantor dan ke kampus.
Melia menggeliat pelan dan melemaskan persendian untuk sesaat. Hari ini dia akan menemani Bobby makan siang bersama teman-temannya. Malas sebetulnya untuk berangkat, tapi siapa tahu setelah acara mereka bisa mampir ke mall dan shopping.
Melia sudah mulai bosan dengan kekasih tambun itu. Dari semua pria yang pernah dekat dengannya, baru kali ini ia menerima lelaki yang di bawah standar. Kala itu, ayahnya terlibat sebuah masalah besar. Mau tidak mau, dia membutuhkan bantuan si gendut, satu-satunya orang yang berpeluang menjadi dewa penolong.
Bobby memang mampu berucap mesra, tapi acapkali kalimat-kalimat yang terlontar tidak enak didengar. Dia selalu menganggap apapun dan siapapun bisa dibeli dengan uang. Termasuk kecantikan Melia, yang membuat harga dirinya tergores.
Nanti dulu ah mandinya, sekalian berangkat lunch, pikir Melia.
Dibukanya aplikasi pemesanan makanan online dan mulai memilih dari daftar promo yang ditawarkan. Ya ampun Mel, punya pacar tajir melintir kok pesan makanan promo, berburu gretongan dan diskonan.
Hus, diem lo thor. Gue lagi nabung, biar bisa buka usaha sendiri, rutuk Melia pada author.
Rupanya beberapa barang yang sudah dibeli Melia, dijual kembali melalui beberapa situs toko online dan akun instagram khusus yang ia buat. Hasil penjualan ditabung untuk suatu saat membuka usaha sendiri. Walaupun sampai detik ini dia belum tahu jenis usaha apa yang akan digeluti.
Pilihan menu sarapan akhirnya jatuh pada garlic cheese roasted bread, lumayan beli satu dapat dua plus sebotol teh less sugar. Cukup untuk mengisi perut di pagi hari.
Sembari menunggu makanan dikirim, Melia membuka kanal musik di laptop dan memutar lagu Fly Me to the Moon yang dinyanyikan ulang oleh seorang penyanyi wanita, Olivia Ong. Lagu bernada smooth seperti ini sangat membantu Melia ketika ia sedang berpikir.
Dia menyibukkan diri dengan membaca catatan-catatan mengenai Levy, yang sudah ia buat. Dengan sangat serius Melia mempelajari calon kekasihnya. Memadatkan dari beberapa puluh catatan penting menjadi sekitar dua belas hal penting.
Melia juga mulai melakukan pemetaan rencana untuk bagaimana ia berhasil mendekati pria tersebut dan menarik perhatian secepat mungkin.
Langkah pertama, memilih baju yang tepat untuk dikenakan di pesta itu. Ia bergegas menuju lemari pakaian, dan mulai memilah.
Semua biasa aja, nggak ada yang spesial banget, kata Melia dalam hati sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya.
Ada satu gaun hitam yang sangat elegan, tapi kurang seksi. Selama ini, Melia memang lebih suka menampilkan diri dalam bingkai cantik elegan.
Beib, gue jemput jam 11 ya, see u soon.
Sebuah pesan singkat dari Bobby mengingatkan Melia.
Siap, my cute boss.
Melia membalas pesan sambil menahan mual.
Sebetulnya, bukan keinginan Melia untuk menjadi wanita materialistis seperti sekarang. Sejak kecil memang ia menyukai barang berkualitas tinggi, dan orang tuanya tak mampu memenuhi keinginan itu.
Terlahir dari keluarga menengah, ayah bekerja sebagai seorang manager hotel dan ibu bekerja sebagai karyawan biasa di bagian administrasi, membuat Melia bisa hidup secara layak. Tapi bukankah layak saja tidak cukup?
Memiliki tiga orang adik membuat orang tuanya harus membagi biaya dengan sangat ketat. Belum lagi kakek neneknya yang sering sakit. Karena itu Melia bertekad untuk mencukupi gaya hidupnya sendiri.
Jadi, bukan salah gue kalo jadi matre. Tapi salah ortu yang nggak bisa menuhin gaya hidup yang gue mau, kata Melia dalam hati.
Beib, gue belum punya baju buat pesta si Kelly. Karena lady's party, temanya black and sexy. Habis lunch bantu cari di mall ya?
Pesan singkat dikirimkan Melia untuk Bobby.
Rugi dong gue, dah nemenin lunch haha hihi kagak dapet shopping, pikirnya.
Ketika harus bersama Bobby, selain di mall tentunya, memang saat yang paling menyiksa bagi Melia. Dia terpaksa harus terus bersikap mesra dan menebar senyum. Untung saja Tuhan tidak menciptakan kram bibir. Mungkin ia akan menjadi pelanggan tetap.
Saat berbelanja, Melia tak perlu banyak bercakap atau melihat pria itu. Keduanya akan sibuk sendiri memilih yang akan dibeli. Ketemu hanya beberapa menit saja di kasir. Tidak memuakkan.
Apa sih yang enggak buat elo, Beib. Tenang, duit gue nggak ada nomor serinya.
Balas si tambun dengan penuh kepercayaan diri.
Melia tersenyum membaca balasan pria itu.
Terserah deh lo nyombong apa, yang penting gue belanja, katanya sambil terkekeh dalam hati.
Muach muach, my cutie boss.
Ketika Melia mengirimkan balasan, sebuah notifikasi masuk. Ia bergegas turun untuk mengambil makanan yang dipesannya tadi.
Sambil menikmati sarapan, ia terus berpikir detil tentang rencana yang harus dijalankan untuk bisa mendapatkan Levy dengan segera. Dan tentu saja, mendepak pria tambun yang membuat dia mual selama ini.
Kalopun gue harus have a seks, ya sudahlah, tekad Melia.
Sejak perbincangan dengan Imelda mengenai Levy, memang pikiran Melia tak pernah lepas dari pria itu. Entah kenapa, pria tampan dan sempurna ini telah merebut semua perhatian dan fokusnya.
Sudah jam 10, gue kudu mandi dan siap-siap.
Selesai mandi, Melia menunggu kedatangan Bobby sembari mendengarkan musik dari telepon genggamnya di teras bawah.
Tak selang berapa lama, nampak sebuah Alphard hitam mendekati kos Melia. Ia segera berdiri dan menuju pintu gerbang. Tentu sudah hafal dengan mobil yang sudah mengantarnya berkali-kali.
"Hai, Beib. Cantik banget, as always," kata Bobby menyapa begitu Melia masuk ke mobil.
"Iya dong, biar nggak bikin malu pacar gue," jawab Melia sembari tersenyum.
Sepanjang perjalanan mereka tak banyak bicara, sibuk dengan telepon genggam masing-masing.
"Aduh, Beib. Gue disuruh jemput opa oma di bandara. Jadi kayanya nggak bisa nemenin cari baju," Bobby memandang gadis di sebelahnya.
"Yah, gimana dong. Kan pestanya besok," Melia memajukan bibirnya.
"Gini deh, lo bawa kartu kredit gue, pake aja sepuas lo, sebagai permintaan maaf nggak bisa nemenin," Bobby mengeluarkan sebuah kartu dari clutch yang dibawanya.
"Nggak seru sebetulnya belanja sendirian, tapi ya udah deh. Terpaksa," Melia pura-pura enggan. Dalam hati ia bersorak gembira.
Mestinya dari dulu kek gini, belanja sendirian. Nggak perlu liat muka lo, tawa Melia dalam hati. Semoga saja Bobby tidak mendengar tawa di hatinya.
"Ya udah, kartu kredit bawa aja terus. Gue masih ada yang lain," Bobby mencubit pipi kekasihnya dengan gemas.
Dan Melia tersenyum puas.