"Widiw, ngelamun aja kamu, Ga. Mikirin apa, sih?" Novi melempar kertas yang sudah dia remas ke meja Arga.
"Siapa yang ngelamun? Ini lagi mikirin kerjaan, Nov." Arga berusaha setenang mungkin menjawab agar tidak ketahuan bahwa dia memang sedang melamun.
"Halah, emangnya aku ini anak TK yang mudah kamu bohongi, Ga? Palingan kamu mikirin besok, mo ketemu sama sang pujaan hati," cibir Novi sambil mencebikkan bibir.
Arga diam saja. Dia tidak membalas cibiran Novi, pura-pura sibuk di depan laptop. Sejak pagi tadi Arga memang sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi pada pekerjaan. Apalagi, kalau bukan memikirkan keberangkatan dia besok ke Jakarta untuk menemui gadis tercinta.
Sudah bertahun-tahun dia tidak bertemu dengan Melia dan besok akan jadi hari perdana bagi mereka untuk kembali berjumpa. Semoga tidak hanya untuk sesaat, tetapi untuk menetap, itu harapan Arga di dalam hati.
Hari ini benar-benar sulit untuk bisa bekerja dengan baik. Waktu juga terasa berjalan begitu lambat. Entah sudah berapa ratus kali Arga melirik jam di pergelangan tangan kanannya. Hingga beberapa saat kemudian ....
Yes, jam kantor selesai! teriak Arga di dalam hati.
Dia bergegas berkemas dan menuju ke parkiran motor. Arga berencana untuk membeli beberapa camilan khas Yogya sebagai oleh-oleh untuk Melia. Memang bukan sebuah kado spesial, tetapi hanya sebatas memenuhi tata krama saja.
Melia pasti rindu jajanan di sini, pikir Arga.
Kawasan Malioboro sangat padat di akhir minggu seperti ini. Arga memutuskan untuk membeli beberapa kotak bakpia dan yangko, yang umum dibeli orang sebagai oleh-oleh. Ia sendiri tidak tahu persis jajanan apa yang disukai Melia.
Semoga saja dia suka, katanya dalam hati.
Sudah lama dia tidak berjalan-jalan santai seperti ini. Selama ini waktunya habis untuk bekerja, lalu istirahat di rumah. Pagi hari dia sudah membantu Arum lalu ke kantor. Siklus membosankan yang tiada henti.
Arga memang tipe pria yang tidak banyak warna. Relatif flat dan standar. Tidak ada hobi atau kegemaran yang menonjol dari dirinya.
Tapi tentu saja, hidup seperti ini memang damai. Seringkali manusia terlalu banyak tingkah dan keinginan, terlalu banyak cita-cita juga impian yang membuat mereka justru tidak bahagia. Arga belajar prinsip sederhana dan damai ini dari almarhum ayahnya.
Sejak kecil, ayahnya selalu menekankan bahwa hidup bahagia itu ketika kita bisa makan dengan layak, tidak kehujanan juga kepanasan, dan dapat berkumpul bersama orang-orang tersayang kita yakni keluarga. Itu saja sudah cukup. Dan hal ini diamini oleh Arga.
Tapi hal yang jauh berbeda pada diri Arya, adiknya. Justru bagi dia, bahagia itu memiliki harta melimpah, rumah megah, mobil mewah dan hal-hal wah lainnya.
Terlahir dari rahim yang sama memang tidak menjamin memiliki adat, karakter dan pemahaman yang sama. Jangankan sekedar saudara kandung, bahkan yang terlahir kembarpun tidaklah sama sifat dan sikap.
Arga menghabiskan waktu beberapa jam menikmati hiruk pikuk Malioboro sembari merenungkan perjalanan hidup keluarganya.
Sebetulnya hidup mereka cukup layak dan bahagia, kalau saja adiknya tidak selalu membuat ulah. Dua tugas besar Arga saat ini adalah Melia dan Arya. Harus bisa menaklukkan mereka. Walau sebagai manusia normal, ada masa di mana dia merasa lelah dan putus asa.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 lewat 10, Arga memutuskan untuk pulang dan segera istirahat agar besok terlihat segar saat bertemu Melia.
Sementara di seberang sana, Melia masih asik berbelanja di mall.
"Mel, lo serius nggak mau nyusul gue ke mall? Bobby ke bandara, jadi gue sendirian dari siang tadi," Melia menelepon sobat karibnya, Imelda.
"Gue lagi males ngemall, Beb. Kalo clubbing ho oh aja," Imelda sedang sibuk mengecat kukunya.
"Ya udah, gue traktir clubbing malam ini," Melia memang tidak ingin menyia-nyiakan kartu kredit Bobby di tangannya.
Dia tidak tahu kapan kartu kredit itu akan balik ke si tambun. Jadi mumpung masih di tangan, hura-hura.
"Ciyus, Beb? Ow, jam 10 ketemu di Eskala ya," Imelda semangat menyambut tawaran Melia. Gadis ini memang pecinta clubbing. Dengan tubuh berisi dan agak kelebihan muatan ini, dia mampu berlenggak lenggok dan meliuk-liuk dengan hot.
"Oke, tunggu di lobi ya. Jangan masuk duluan. Eh by the way, ngajak sapa lagi neh?" Melia masih sibuk memilih beberapa baju santai.
"Weekend gini, kagak usah ajak-ajak. Sudah pasti pada kumpul di sono, ye kan?" Imelda sibuk meniup kukunya agar cat segera mengering.
"Sip deh, see you there ya, Beb," Melia menutup panggilannya karena matanya menangkap sebuah dress putih sederhana dengan sedikit hiasan renda di bagian dada.
Cocok buat clubbing malam ini, pikirnya.
Setelah dirasa cukup belanja hari ini, mall juga sudah mau tutup, Melia memesan taksi online untuk mengantarkannya kembali ke kos.
1977, dilihatnya plat mobil yang sesuai dengan aplikasi taksi online. Melia memberi isyarat sopir untuk turun dan membantunya memasukkan belanjaan.
"Mbak Melia? Mari saya bantu masukkan ke bagasi," sopir muda yang berusia sekitar 25 tahun ini membantu Melia sambil tersenyum ramah.
Melia segera masuk ke dalam mobil.
"Sudah, Mbak?" basa basi si sopir.
"Yap," Melia menjawab singkat dan mengeluarkan telepon genggamnya.
"Habis ngeborong, Mbak?" pria itu mencoba membuka percakapan.
"Udah, Bang. Nyetir aja, nggak usah basa-basi," Melia memang paling tidak suka sopir taksi online yang terlalu ramah apalagi bawel. Nggak level juga bagi dia untuk mengenal dan berakrab ria dengan kalangan driver. Mending kalau drivernya pesawat, masih cucok meong tralala.
"Ya, Mbak. Cantik-cantik kok jutek. Nggak punya pacar loh nanti," goda lelaki itu tidak mau menyerah.
"Idih, gue nggak punya pacar? Hoi, yang antri banyak mas. Please deh," jawab Melia sebal.
Melihat pancingannya berhasil membuat Melia berkomentar, pria itu makin bersemangat.
"Wah, boleh dong kalau gitu saya ikutan antri," kata lelaki itu sambil melihat Melia dari kaca tengah.
"Antri mah silahkan aja, belum tentu dapet giliran," Melia heran dengan pria tidak tahu diri ini. Sudah dijawab dengan ketus, masih saja mengajaknya bicara.
"Yah, masa nggak dapet giliran. Rugi dong udah ngantri. Enak loh dapet pacar driver kaya saya, Mbak. Kemana-mana saya anterin deh," masih tetap berupaya.
"Idih, cuma modal nganterin mau jadi pacar gue? Ibarat perusahaan, gue cari yang komplit fasilitas. Gaji tetap, tunjangan transport, kesehatan, kecantikan, belanjaan, tabungan, dan jaminan hari tua dong," kalimat Melia makin ketus.
"Tet tew, mo kerja apa mo pacaran sih, Mbak?" goda si sopir.
"Suka-suka gue. Lo nyerocos lagi gue laporin kantor lo," ancam Melia mulai kehilangan kesabaran.
"Hehe, jangan dong. Iya udah, saya diem," pria itu tersenyum melihat kelakuan penumpangnya.
Gadis zaman sekarang, semua hanya dinilai dengan uang.