Ini hari pertamaku berkerja. Setelah bernegosiasi dengan kak Daren dia menyetujuiku bekerja diperusahaannya. Setidaknya awal yang baru untuk hidup lebih baik. Ternyata kerja tidak membosankan itu. Malah mengurangi hal hal negatif yang kita pikirkan setiap hari. Kak Daren benar cara kita menerimanya itu lah kunci dari semua masalah yang kuhadapi.
Setelah selesai dengan berkas berkas ini waktunya makan siang. Aku tidak makan dengan Kak Daren. Aku makan dengan salah satu teman kerjaku di devisi pemasaran. Orangnya ramah rambutnya sebahu. Ada lesung pipi dipipi kirinya. Dia manis. "Bagaimana aku memanggilmu? Alexa atau Mrs. Diwangga?" Tanya dengan sedikit kebingungan.
"Alexa. Itu cukup." Jawabku santai.
"Baikla. Makan yang banyak. Disini makanannya enak enak."
"Ya aku tahu. Kak Daren mengatakannya. Makanan disini enak enak. Senang bisa berteman denganmu Lala." Kataku tersenyum tulus. Dia tersedak. "Minum dulu. Makan hati hati." Kataku sambil mengusap pelan belakang punggungnya.
"Aku tidak tahu kamu selembut itu Alexa. Kamu membuatku terkejut." Katanya blakblakan.
"Maksudnya?"
"Ya kita berteman tetapi caramu menyebutnya secara gamblang membuatku sedikit terkejut."
"Bukankah itu hal yang lumrah?"
"Iya. Hanya saja aku mengira dirimu arogan. Sombong atau angkuh. Bukan, lebih tepatnya wajahmu itu seperti mengajak berperang."
"Wow. Kamu sungguh berterus terang."
"Aku tebak karaktermu ini yang membuat Pak Daren mencintaimu. Benarkan? Jika benar kamu harus meneraktirku makan kali ini."
Aku terdiam. "Aku tidak tahu."
"Kamu bercanda."
"Aku juga tidak tahu Lala. Dia menikahiku dengan alasan apa aku tidak tahu." Atau mungkin karena aku jempatan untuk menemukannya kembali dengan Kak Alena.
"Aku sebagai wanita mengatakan dirimu menarik setelah berkenalan. Jika aku pria mungkin aku sudah mengencanimu Alexa."
"Kamu berlebihan, bagaimana bisa seperti itu. Jika tidak mengenalku bagaimana?"
"Tentu saja pria akan pergi darimu." Yang hanya dibalas dengan tertawaan kami berdua.
***
Setelah pulang menyiapkan makan malam. Membersihkan rumah. Dan menunggu Kak Daren pulang dari kantornya. Menghidupkan siaran televisi. Dan memakan sedikit cemilan tidak terlalu buruk. Kulirik jam sudah menunjukan jam delapan.
Bukankah ini sudah terlalu malam untuk dikantor? Atau aku menelponnya saja? Oh tidak tunggu setengah jam lagi, jika tidak pulang juga aku akan menelponnya. Berjalan mondar mandir sambil menatap jam membuatku sedikit khawatir. Tidak seperti biasanya dia pulang terlambat.
'Ting tong' aku berlari kepintu. Wajahnya sayu pakaiannya tidak serapi aku menemuinya dikantor siang ini. Dia basah? Aku tidak berani menanyakan yang terjadi. Atau itu memperumit keadaan. "Mandila dulu, keadaan Kakak sedikit kacau." Kataku prihatin.
Dia mengangguk dan meninggalkan aku keatas. Aku memanaskan makanan agar saat disantap hangat. Kurasa pekerjaan kantornya sangat melelahkan.
"Sudah selesai?" Iya mengangguk dan menarik kursi disebelahku. Ku bantu meletakan makanan di dipiringnya. Kami menikmati makanan dengan hening.
"Buatkan aku kopi ya. Nanti antarkan kekamar." Aku hanya mengangguk dan membiarkan iya pergi terlebih dahulu. Setelah membereskan ini aku membuatkan kopinya. Kopi selesai. Tertata cantik ditanganku. Membawanya keatas menyaksikan iya duduk di sopa ujung melihat diluar jendela.
Apa yang dilihatnya membuatku penasaran. mendekat dan melihat apa yang dia lihat. Hanya rumput dan perkarangan rumah yang terlihat. Apa menariknya? "Ini minumla."
Dia mengambilnya meminum dengan hikmat. "Dudukla temani aku disini." Aku duduk menghadapnya. Memikirkan apa kira kira yang dipikirkan laki laki dihadapanku ini. Dia sulit ditebak. Kadang begitu ceria kadang begitu hangat kadang membuatku bingung
Tidak ada yang berani memecah keheningan diantara kami. Mau dia ataupun aku, tentu saja aku tidak akan memulainya. Kurasa dia tidak baik baik saja.
Pria ini gampang membuat wanita nyaman bukan karena tampangnya saja prilakunya juga sangat membuatku terhanyut kadang jika saja aku tidak mengingat perjanjian yang sudah kami sepakati. Bagaimana jika aku jatuh cinta padanya? Aku akan melanggar poin perjanjian. Ya jika aku tidak mengungkapkannya dia tidak akan tahu. Tetapi sama saja bukan aku menghianatinya?
Pertanyaannya aku tidak tahu rasa ini muncul karena cinta atau karena terbiasa dengan sikap baik yang dia tunjukan padaku. Atau rasa sementara yang mungkin membuatku bangkit dari keterpurukanku.
Bisa juga karena dia orang yang membantuku memecah pertanyaan dikepalaku atau juga karena aku sudah jatuh pada pesona pria ini. Daren Diwangga, apakah aku mencintai pria ini?
"Ada yang ingin kamu tanyakan Ale."
Aku menelan air liurku disaat kata katanya membawaku keluar dari dunia lamunanku. "Tt-idak." Kataku gugup.
Dia hanya diam kembali menatap keluar. Aku masih penasaran apa yang lebih menarik diluar dari pada aku yang didepannya.
"Apa yang menarik diluar sana sehingga mata kakak tidak berpaling dari tadi."
"Kamu tidak melihatnya Ale?"
Aku bingung mau menjawab apa. Jika aku tahu aku tidak akan bertanya bukan? "Kita ada dilantai 2 sekarang. Dari ketinggian ini jika memandang kebawah kita akan lihat usaha kita selama ini sampai kita bisa sampai dititik ini."
Matanya beralih kepadaku. Dari berjam jam lalu baru ini dia menoleh padaku? Sungguh menakjubkan. "Lalu?"
"Begitu banyak kejadian yang dilewati jika direnungi kembali. Semua pantas didapatkan atas usaha kita selama ini. Dia mendekat padaku menggenggam tanganku, tangannya dingin sedingin musim salju dieropa. "Terima kasih mau menikah denganku." Jantungku berdebar aku butuh asupan oksigen. Rasanya ingin terbang kelangit ketujuh.
"Terima kasih sudah mau berbagi kehidupan denganku. Mau itu karena keterpaksaan ataupun desakan. Aku tidak pernah menyesali apapun yang terjadi." Jarak kami hanya beberapa senti. Kak Daren menarik pinggangku dan mencium bibirku. Tanganku reflek langsung melingkari leher Kak Daren. Awalnya ciuman lembut, tetapi lama kelamaan ciuman itu berubah menjadi lumatan.
Kak Daren memegang belakang kepalaku, dan memperdalam ciuman kami. Bibir Kak Daren terasa memabukkan. Seperti zat adiktif yang membuatku candu. Ini ciuman kedua kami. Ini dilakukan ketika sadar sama sadar. Dan aku hampir gila dibuatnya.
Ketika berciuman seperti ada percikan yang mendesir rasanya menyenangkan dan nikmat secara bersamaan. Aku membalas ciumannya. Jariku meremas rambut hitam kak Daren.. Membuat sedikit ujung bibirnya terangkat.
Kak Daren melepaskan ciuman kami. Untuk memberikan aku waktu bernapas. Nafasku terengah engah. Aku takut membuka mataku. Takut melihat seperti apa keadaan kami sekarang. Ia menautkan bibirnya kembali. Seakan tidak ada hari esok untuk melanjutkannya kembali. Hanya berciuman sudah sangat membuatku bergairah.
"Aku menginginkan kamu Ale." Tentu saja hal itu membuat aku tersipu. Bahkan kalimat yang dilontarkannya membuatku ingin meleleh.
"Aku juga menginginkanmu Kak." Kataku akhirnya. Dan tepat setelah itu, kak Daren kembali mencium bibirku. Ciuman yang liar dan panas. Seperti semua tidak akan pernah berakhir.
Ketika masih menciumnya, aku dapat merasakan tangan Kak Daren mulai melepaskan kancing kemejaku. Tetapi diriku mebiarkannya dan tidak akan menghentikannya.