Aku terdiam. Menganggap keputusan yang kuambil benar atau salah. Bukan ini yang kuharapkan. Tetapi bukan berarti yang kubayangkan akan terjadi. Ekspresinya bahkan tatapannya membuat aku takut.
Dia orang yang sama tetapi dengan raga yang berbeda? Jangan ngaco Alexa. Sudah berapa kali aku jalan mondar mandir dikamar ini. Bahkan aku sudah tidak bisa menghitungnya.
Mau menyalahkan siapa? Menyalahkan dunia juga bukan salahnya juga. Aku yang pergi aku yang merasa tersakiti. Benar yang dikatakan Kak Daren aku tidak menyangkalnya. Karena memang itu kenyataannya.
Berpikir Alexa. Cari cara, bagaimana agar Kak Daren dapat menerimamu. Tidak bukan itu yang harus dipikirkan. Iya sedang marah. Yang harus dilakukan adalah mendapatkan maafnya.
Turun dengan perasaan yang berkecamuk. Merangkai kata kata dalam pikiranku. Jangan sampai mengeluarkan kata yang memicu api berkobar. Kulirik sekitarku. Tidak menemukan apapun. Dia pergi?
"Maaf sebelumnya, saya tidak tahu jika anda istri den Daren." Katanya dengan penuh penyesalan.
"Tidak apa bi, seperti biasa aja. Itu sudah cukup untuk Alexa. Dimana Kak Daren ya bi?" Kataku sambil menatap sekeliling, berharap menemukan pria yang kucari.
"Pergi barusan. Sepertinya dikantornya..."
"Alexa. Panggil itu saja." Kataku. Aku menarik napas. Ini harus diselesaikan bukan? Aku harus menemuinya. "Alexa pamit ya bi." Lalu aku lari dengan terburu buru. Sahutan dari bibi samar samar terdengar.
Setelah sampai dikantor. Mereka menatapku heran. Aku tidak ada waktu untuk menvari tahu apa yang dipikirkan tentang apa yang dipikiran mereka. Karena bukan itu tujuanku.
Ada beberapa yang kukenal. Dan mungkin banyak pegawai baru yang tampak asing. Ada yang tersenyum ramah, ada yang sekedar nyapa bahkan ada yang secara terang terangan menatapku tidak suka.
Sekterarisnya sama? Wanita itu Kalla. Ekspersi terkejutnya bukan main, namun langsung diubahnya dengan senyuman kecil dibibirnya. "Sudah lama tidak bertemu Alexa. Bagaimana kabarmu."
"Aku baik baik saja. Apa Kak Daren ada didalam?" Tanyaku. Iya menatapku. Tatapan yang bisa diartikan banyak. "Aku bertanya padamu Kalla. Kamu melamun?"
"Eh. Maaf. Saya tidak bermaksud begitu. Pak Daren lagi rapat. Mungkin sejam lagi akan selesai. Apa perlu saya panggilkan?" Tanyanya dengan ragu.
Aku mengerti. Menatap arloji dipergelangan tanganku. Menunggu pilihan yang terbaik. Tetapi satu jam menunggunya harus melakukan apa? "Apa rapatnya sangat penting?" Tanyaku pelan.
"Jika ada hal mendesak. Saya bisa membantu. Tunggu sebentar akan saya tanyakan." Lalu iya menuju ruangan rapat yang dimaksud. Aku tidak pernah sebergetar ini. Bahkan ini sangat gugup.
Usapan tangan dipundakku, membuatku sadar dari lamunan. Sudah berapa lama aku melamun bahkan aku tidak mengingatnya. "Pak Daren menunggu diruangannya." Katanya dengan senyum yang tak terlepas dari wajahnya. Iya sungguh berbeda dari Kalla yang kujumpai satu tahun lalu. Entahlah semua terasa asing bagiku.
Aku memasuki ruangan yang menjadi tempat aku bertemu terakhir kali dengannya. Dari tempat ini juga aku harus memperbaiki semuanya. Iya menatapku. Namun tidak beranjak dari tempat duduknya. "Kenapa pergi tanpa memakan makanan kakak?" Pertanyaan basa basi yang klasik.
"Sudah jelas bukan? Itu masakanmu. Aku tidak akan pernah memakannya." Cukup tajam. Membuat jantungku ingin copot dari sanggarnya.
"Tetapi, setidaknya makanla sedikit. Kesehatan..."
"Tidak usah berkata seakan peduli dengan keadaanku. Satu hari ini tidak berarti dengan satu tahun yang kamu tinggalkan bukan? Bersikapla sewajarnya Alexa Hinston."
"Aku tidak berniat membela diri. Hanya saja, bolehkah aku menjelaskan sesuatu. Aku... aku tidak berniat membela diriku ataupun membela keadaanku. Kumohon demgarkan."
"Katakan intinya jangan basa basi."
"Aku sudah berjanji bukan. Aku akan membuat diriku bahagia. Aku melakukan sesuai janji itu. Tetapi kak. Setelah aku lari dari semua kejadian yang tidak bisa kuterima aku sadar. Itu bukan yang ingin kucari kebahagianku tidak bisa ditemukan kak. Karena orang yang kutinggalkan dialah sumber bahagiaku."
"Sudah cukup penjelasannya? Sekarang dengarkan aku. Kamu kira aku pria seperti apa? Bisa kamu campakan dan didapatkan kembali disaat kamu sadar? Keputusanku sudah final. Perceraian tetap dijalankan Alexa."
"Beri aku kesempatan Kak. Kumohon."
"Kesempatannya sudah ada dari lama, hanya saja kamu yang membuat itu tidak berguna Alexa. Ada berapa banyak kesempatan yang kamu sia siakan. Pulangla."
"Aku belum sarapan. Bisakah menemaniku sarapan?"
"Ini sudah siang Alexa."
Aku menyengir. Masih jam sebelas. Sudah termasuk siang kah? "Aku lapar. Temani makan ya? Kumohon." Kataku dengan begitu manjanya. Sungguh menjijikan. Bahkan aku saja jijik dengan tindakan yang aku lakukan.
Iya bangkit. Sebelum membuka pintu iya berbalik menatapku. "Apalagi?" Aku tersenyum. Setidaknya ini bisa membantu. Aku berjalan disebelahnya. Dia masih sama. Mungkin sedikit emosi karrna sifat sesuka sukaku ini. Tetapi syukurla. Dia tidak menolak.
"Makan apa?" Tanyaku antusias.
Ini memijat pelipisnya. "Yang lapar dirimu. Pesan saja makananmu."
"Kakak belum makan sejak tadi pagi. Biar kupesankan ya."
"Pesan makananmu sendiri saja. Atau aku yang pergi dari sini."
Aku mengangguk. Jangan pancing amarahnya. Aku memesan makanan dan minuman untuk diriku sendiri. Ya dia menolak tawaranku. Padahal dia belom makan juga.
Aku memasukan satu suap kemulutku. Rasanya tidak berubah. Masih sama saat terakhir kali makan disini. Aku menyodorkan satu sendok makanan. Ekspresinya terkejut namun dapat dinetralkannya kembali.
Tanganku sudah hampir pegal rasanya. Tidak ada reaksi apapun darinya. Dasar sungguh menyebalkan. "Aaa." Kataku aku sudah jadi pertontonan sekarang. Tinggal menganga saja apa susahnya sih? Dasar.
Disaat terakhir aku ingin menurunkan tanganku iya menggenggam dan memasukan suapan itu dimulutnya. Bukan mereka saja yang terkejut aku sudah jelas melogo sekarang.
"Suapi lagi." Katanya. Dia sakit? Sikapnya sungguh berubah ubah. Ini malah membuatku takut. Aku dengan ragu ragu menyuapinya. Tetapi lama lama ini dia yang makan bukan aku. Dasar jual mahal diawal akhirnya menjilatkan.
Satu langkah berahasil Alexa. Jangan senang dulu. Jalanmu masih panjang. Iya mendekat padaku. Bahkan wajahnya sangat dekat denganku. Jantungku bahkan tidak mau diajak kompromi. "Kamu jangan senang dulu, kamu kira aku bakal luluh? Ini baru permulaaan Alexa." Jlebb. Habis sudah. Kamu sungguh percaya diri usahamu berhasil sampai sampai nyatanya kamu yang dipeemainkan. Sungguh bodoh.
Dia tersenyum. Senyuman yang sangat membuatku takut. Siapa yang mempermainkan siapa sebenarnya?