Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata kata. Bahkan untuk mencernanya saja tidak cukup. Kemarin, hari ini, mungkinpun esok tidak ada yang menebaknya. Sudah cukup larinya Alexa. Lari tidak dapat membuat permasalahan hatimu selesai.
Ya. Hari ini tepat setahun aku pergi meninggalkan semuanya. Setahun sudah cukup untuk menerima bahwa hasil nya tetap sama. Pertanyaan pertanyaan yang menghantuiku, dan menjadi orang bodoh sudah cukup.
Kujalani perkotaan yang tidak jauh berbeda dari tahun lalu. Hanya berubah sedikit tetapi tidak akan membuatmu lupa bahwa inilah tempat tinggalmu. Didepan rumah yang amat kurindukan. Terdapat secercah kenangan yang terlintas. Kenanganku bersama pria itu. Pria yang kutinggali tanpa kata sepatahpun. Bagaimana kabarnya?
Aku tersenyum pada wanita paruh baya, umurnya sekitar enampuluhan mungkin. Tetapi iya masih terlihat kuat dari fisiknya hanya keriput yang menunjukan bahwa iya tidak muda lagi. Iya membalas senyumku.
"Nyari siapa nak?" Tanyanya padaku.
"Kak Darennya ada nek?" Ujarku. Ekspresinya berubah. Dari senyum yang terukir menjadi ekspresi yang tidak bersahabat. Apa aku salah bertanya?
"Anda siapanya ya jika boleh tahu?" Tanyanya dingin. "Tidak ada seorang wanitapun pernah kesini saya takutnya den Daren tidak menyetujuinya."
"Apakah Kak Daren ada didalam?"
"Anda tidak diijinkan masuk. Lain kali saja ya. Saya tidak ingin den Daren marah marah nantinya." Katanya lesu. Terlalu banyak ekspresi yang ditunjukan. Ada apa dalam setahun belakangan ini? "Den Daren jarang pulang kerumah semenjak saya tinggal disini. Pulang sebulan sekali, iya lebih nyaman dikantornya. Lagian dia tidak mengijinkan siapapun menginjakan kaki dirumah ini nak, bahkan nyonya besar pun tidak."
"Tidak apa, namaku Alexa. Bolehkah aku masuk..."
"Panggil bik Darni saja." Katanya lembut
"Bik Darni tolong ijinkan saya masuk ya. Nanti masalah Kak Daren jika iya marah nanti saya yang akan menjelaskannya. Bantu saya ya bik?" Ujarku memohon. Iya mempertimbangkan ucapanku. Menimbang nimbang apa yang harus iya lakukan. Namun iya mengijinkan dengan sedikit keberatan.
Ruangan yang sama. Tidak berubah sedikitpun. Apa yang terjadi dengannya belakangan ini? Kuharap dia baik baik saja. Aku menaiki tangga yang menuju kekamar kami. Dikunci? Apa selalu begini?
"Pintu itu selalu dikunci Alexa, iya tidak mengijinkan bibi masuk. Iya mengatakan bahwasanya ini tempat pribadinya dan iya yang akan membersihkannya."
Aku mengangguk. Tanda bahwa aku mengerti. "Dia pulang malam ini kan bik?"
"Biasanya iya, saya mengingat jadwal pulangnya. Ada apa memangnya alexa?"
"Makan malam akan saya yang memasaknya. Bibi tidak usah khawatir. Jadi bibi bisa mengerjakan pekerjaan yang lain. Bagaimana?"
"Baiklah. Tetapi jangan tunjuki wajah ya, saya takutnya den Daren gak jadi makan dan naik kekamarnya tanpa mengisi perutnya."
Alisku tertaut. "Ada yang pernah bibi ijinkan masuk?"
"Itu, sebenarnya awal awal bekerja disini saya tidak tau. Itu Den Daren marah besar. Semanjak itu dia membuat peraturan seperti itu. Saya mengijinkan Alexa kesini karena saya tau anda orang baik. Untun menghindari yang tidak diinginkan. Ikuti kemauan saya ya."
Aku mengangguk. Menggenggam tangan bibi. "Terima kasih sudah mau merawatnya bibi. Aku kedapur dulu ya."
Aku memotong sayuran. Aku sudah membuat banyak kesalahan. Aku takut dia tidak akan menerimaku tetapi jika tidak menujukan diri sampai kapan akan tahu reaksi dirinya. Maafkan aku yang pengecut ini.
Setelah menyelesaikan semuanya. Aku kekamar tamu untuk membersihkan diri. Turun kebawah melihat bibi yang sudah siap siap menunggu orang yang akan datang. Apakah selalu setegang ini?
Aku berada tidak jauh dari ruang makan. Dari sini masih jelas terlihat. Pemuda itu tidak berubah setahun belakangan ini. Tubuhnya tegap. Hanya sedikit yang tidak terurus. Itupun tidak membuat ketampanannya berkurang.
Iya menyuap makanan kemulutnya. Setelah satu suapan iya berhenti. Apa tidak enak? Iya memejamkan matanya. "Bik, siapa yang memasak makanan ini?" Tanyanya. Suara baritonnya bahkan sangat aku rindukan. Kenapa sungguh menyiksa begini?
"Saya Den." Jawab bibi sambil tertunduk.
"Jangan berbohong. Aku sudah memakan makanan bibi selama setahun ini. Aku tahu ini bukan masakan bibi."
Bibi bersujud kelantai. Iya menangis. "Maafkan saya den. Saya gak bermaksud apa apa. Jangan pecat saya."
Iya meninggalkan meja makan. Setelah tidak terlihat lagi. Aku mendatangi bibi. Membantunya berdiri. "Maafkan saya ya bibi." Ia menggeleng. "Ini tidak salah kamu. Mungkin iya dalam keadaan yang tidak baik baik saja."
"Saya akan membawakan makanan kekamarnya. Bibi bisa membereskan sisanya." Lalu dibalas angukan oleh bibi.
Dengan membawa nampan berisi makanan. Aku berdiri didepan kamarnya. Mengetuk beberapa kali tetapi tidak ada sahutan. Apa pin pintu kamarnya? Aku mencoba semuanya. Dari ulang tahunnya, ulang tahun kakakku. Ulang tahun orang tuanya. Tetapi tidak ada satupun. Ulang tahunku? Itu lebih tidak mungkin. Mencobanya tidak salah bukan? Ternyata bukan.
Aku memasukan beberapa angka dengan ragu. Dan berhasil. Aku tidak tau artinya apa. Tetapi sudahlah alexa. Mungkin ini kebetulan. Aku masuk kekamarnya. Tidak ada perubahan sedikitpun. Setiap incinya masih sama. Aku merindukan semuanya.
Pintu kamar mandi terbuka. Aku tidak berani berbalik. Jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari bisanya. Apapun kosekuensinya aku menerimanya. Menerima bahwa apa yang kita perbuat harus kita tanggung. Tetapi aku takut jika nyatanya aku akan menangis akhirnya.
Aku membalikan badan. Tatapan kami bertemu. Ekspresinya tidak bisa dibaca. Oh tuhan kenapa aku begitu lemah dihadapannya.
"Apa yang kamu lakukan disini." Katanya dingin. Itu sungguh menusuk hatiku. Aku berusaha tersenyum. Semua akan baik baik aja Ale. Semua akan baik baik saja. Kataku dalam hati.
"Apa kabar Kak." Bodoh. Alexa bodoh. Sudah jelas iya tidak baik baik saja kenapa mulutmu yang manis ini mengatakan itu.
"Apa aku terlihat baik baik saja dimatamu? Sudah lelah bersenang senang diluar, untuk apa kamu kembali."
Aku sedikit sesak. Rasanya ingin menangis. Tetapi bukan kamu yabg tersakiti Alexa jangan bertingkah seperti itu. "Maaf." Kataku menunduk. Aku tidak tahu. Ini salah atau benar. Setidaknya aku sufah berusaha.
"Tidak semua hal selesai hanya dengan kata Maaf. Kamu nganggap aku apa Ale. Pergi begitu saja. Kamu kira hanya kamu yang tersakiti ha."
Aku meremas jemariku. Yang dikatakannya benar. Memang bukan aku yang tersakiti dia, orang tuaku, mungkin banyak orang. "Aku terlalu pengecut waktu itu. Aku.. aku..." air mataku terjatuh. Aku tidak sanggup.
"Berhenti menangis, jangan menganggap kamu tersakiti disini Ale. Keluar dari kamarku sekarang."
Aku terdiam. Mengusap air mataku. Kemungkinan terburuk sekalipun aku sudah menyiapkan diriku. Jadi kuatlah Alexa. "Aku masih istrimu kak."
"Istri? Setahun ini apa yang dilakukan istriku untukku hm? Bahkan kamu sudah lupa Ale, setahun pernikahan kita akan berakhir. Apa kamu melupakan perjanjian itu?"
Jlebb. Aku tidak pernah memikirkan itu. Bagaimana bisa. "Bagusla jika kamu sudah datang dengan sendirinya. Kita akan mengurus surat perceraiannya besok."