Angin kencang disertai dengan gemuruh keras menyelimuti hutan. Awan gelap berkumpul tepat di atas hutan. Air sedikit demi sedikit turun hingga menjadi deras. Hewan-hewan bergegas mencari tempat perlindungan. Bau tanah yang sangat kental tercium di dalam hutan. Tanah hutan menjadi becek akibat hujan tersebut. Daerah hutan Ercangaud memang sudah biasa mengalami pergantian cuaca yang tiba-tiba.
"Sial, kenapa harus di saat seperti ini hujan deras datang tiba-tiba!?"
Nampak dari kejauhan, seorang elf dewasa sedang bergegas menuju rumahnya setelah mengumpulkan tanaman-tanaman herbal. Ia kesulitan melewati hutan, berkali-kali terpeleset selagi berlari. Dengan terburu-buru, ia melompati berbagai pohon sebagai pijakannya. Satu demi satu pohon besar ia lompati. Ia melompat dengan gesit hingga ....
Bruak! Tanpa sengaja, ia terpeleset dan jatuh ke tanah. Ia mendarat di atas kubangan lumpur, menjadikan penampilannya mirip sebuah monster. Lalu, ia berusaha keluar dan membersihkan tunik cerahnya.
"Benar-benar hari yang sial." Ia memegang kepalanya yang terbentur dengan cabang-cabang pohon. Setelah mendapatkan kembali akalnya, ia melihat ke sekitar. Ternyata, tepat di depannya, terdapat pemandangan yang mengherankan.
Sebuah kereta kuda rusak parah dengan menyisakan sebagian gerbongnya saja. Kusir, penumpang, dan penjaganya meninggal dengan mengenaskan. Terlihat beberapa mayat juga ada yang terlempar jauh keluar gerbong. Darah berceceran dibawa hujan, menyebar ke tempat yang lebih rendah. Bau-bau busuk mayat tercium dengan begitu jelas meskipun saat ini sedang hujan deras. Baunya sebusuk roti berbelatung, sampai-sampai elf itu harus menutup hidungnya rapat-rapat.
"Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Karena syok, ia hanya memandangi pemandangan mengerikan tersebut sebentar. Setelah mengumpulkan keberaniannya, ia bangun dan kemudian memeriksa keadaan para pelancong tak bernyawa itu.
Ini bukan kecelakaan. Mereka semua memiliki bekas luka gigitan dan cakaran. Kemungkinan, mereka diserang sekelompok monster ketika dalam perjalanan menuju ibukota, pikir elf itu.
"Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka orang kaya. Mungkin rombongan pedagang kaya atau rombongan kepala suku besar." Nafasnya terengah-engah. Ia berharap agar tidak menemukan satu pun insan yang masih bernafas. Betapa menyusahkannya merawat seseorang yang sedang dalam keadaan sekarat. Belum lagi, ia akan terlibat ke dalam masalah serumit benang kusut jika itu terjadi. Pokoknya, ia tidak akan membantu sesiapapun yang terlibat kejadian ini.
Sayangnya, harapannya tidak menjadi nyata. Samar-samar, ia mendengar tangisan bayi. Arahnya tidak jelas, karena tertutup hujan deras. Berkebalikan dengan tekadnya barusan, ia segera berlari untuk mencari sumber suara tersebut. Mungkin ia melakukannya karena beberapa hari lalu ia baru saja menikah, dan ingin cepat-cepat memiliki momongan.
Setelah beberapa menit berlari tanpa arah, akhirnya ia menemukan sumbernya.
Disitu terbaring bayi elf yang sedang menangis kencang. Seluruh tubuhnya basah akibat tertimpa hujan. Terdapat pula beberapa bercak darah yang menempel di tubuhnya. Dengan nafas yang terengah-engah, elf itu bernafas lega.
Bayi tersebut kemudian diangkat olehnya. Ia mencoba untuk menenangkannya dengan menggendongnya. Sepertinya berhasil, bayi tersebut berhenti menangis setelah beberapa menit berlalu.
Karena hujan yang makin deras, ia harus segera membuat keputusan. Setelah kurang dari semenit berpikir, elf tersebut memutuskan untuk membawanya ke rumah bersamanya. Ia pun kembali berlari menuju ke rumahnya di pintu masuk hutan.
Langkah demi langkah ia perhatikan, supaya ia tidak terpeleset kedua kalinya. Menjaga keseimbangan pada situasi seperti ini tentu susah, mengingat hujan terus mengguyur tanpa henti, membuat licin pohon dan tanah yang dipijaknya. Meski begitu, ia berhasil menjaga keseimbangannya dengan baik.
Perlahan-lahan, nampak sebuah gubuk dari kejauhan. Elf itu telah mencapai tujuannya. Tidak pakai lama, ia memberanikan diri untuk membuka pintu.
"Aku pulang!"
"Selamat datang!" Sebuah suara manis menyambut elf itu ke dalam gubuk.
Melihat suaminya basah kuyup dengan membawa seorang bayi, Melinda terkejut.
"...Sepertinya memang benar, bayi bukan terlahir, melainkan jatuh dari langit. Akan kita beri nama apa, sayang?"
"Pfft!" Elf itu tertawa kecil berkat candaan istrinya. "Sudahi dulu candaanmu itu. Aku menemukannya terlantar di hutan."
"Baiklah. Sepertinya aku sudah bisa menebak-nebak apa yang terjadi. Sini, biar aku saja yang mengurus bayi itu. Sebaiknya kamu mandi saja, seluruh badanmu basah kuyup, sayang."
"Oke, kuserahkan dia padamu."
Sementara ia membasuh dirinya di belakang rumah, Melinda membersihkan tubuh bayi itu yang penuh kotoran dan darah. Dengan lembut, Melinda membasuh badan bayi itu sedikit demi sedikit dengan air hangat. Bayi itu pun mulai merasa rileks dan tersenyum beberapa kali. Tampaknya ia menikmatinya.
***
Setelah selesai membasuh dirinya, William pun kembali menemui Melinda. "Bagaimana keadaannya?"
"Sudah lebih baik, sayang. Lihat betapa berkilaunya dia."
Rambutnya seputih susu, memantulkan cahaya lentera yang berada di samping mereka. Jika dipegang dan dirasakan, rambutnya sehalus kain sutra yang ditenun pengrajin handal. Kulitnya sangat cerah dan halus. Dengan mengelusnya saja sudah dapat membuat hati suami-istri ini luluh.
Telinganya yang kecil dan runcing menjadi tanda bahwa bayi ini merupakan seorang elf. Dengan tangannya yang kecil, ia mencoba untuk menggenggam tangan Melinda. Ia sedikit tertawa ketika ia berhasil memegang tangan Melinda yang besar dibandingkan dengan tangannya. Sepertinya ia merasa nyaman karena ada sosok yang melindunginya.
"Sayang ... bolehlah kita besarkan dia sampai dia menemukan sayapnya sendiri."
Hati pasutri muda ini telah berhasil ditaklukan oleh penggoda kecil yang datang entah dari mana.
"... Dia nampak begitu rapuh. Bahkan jika hanya tiupan kecil mengenai tubuhnya, bukan tidak mungkin dia bisa hancur karenanya."
Melinda menghela nafas yang dalam, lalu segera membuat keputusan. "Aku sangat lemah dengan hal seperti ini. Hatiku berkata bahwa aku harus merawatnya. Bagaimana menurutmu, sayang?"
"Haha, aku setuju akan hal itu. Jika begitu jadinya, kita perlu menamakan dia."
William menoreh ke arah Melinda. Ia berharap Melinda akan memberikannya nama yang bagus. Melinda berpikir sejenak sembari melihat kembali penampilan bayi tersebut.
"Ah!" Melinda sudah menemukan jawabannya. "Bagaimana dengan Adele?"
"Adele? Boleh juga. Tapi, apa artinya?"
"Ini kuambil dari bahasa lama kita. Singkatnya, Adele berarti mulia. Aku melihatnya sebagai sosok yang mulia dan elegan dengan penampilannya."
"Mulia, ya. Menamakannya sesuatu yang mulia menurutku tidak berlebihan setelah melihat penampilannya yang cerah. Kurasa dia adalah sosok yang dipilih oleh dewa-dewa. Adele... nama yang bagus. Sangat bagus. Akan kuizinkan nama itu."
"Fufu, terima kasih, sayang. Mulai saat ini, nama kamu adalah Adele Ercangaud."
"Semoga saja anak kita yang baru ini, menjadi mulia baik di hatinya maupun penampilannya."
"Amin."
*****