Chereads / Theudifara / Chapter 4 - Musim Semi .02

Chapter 4 - Musim Semi .02

"Hei! Adele! Apa yang terjadi di sini!? Apa kamu baik-baik saja!?"

Dengan wajah yang panik, Ayah menanyakan apa yang terjadi di sini. Kehadiran Ayah dan Ibu yang tiba-tiba membuatku terkejut. Aku memalingkan muka karena tidak sanggup menatap mereka setelah apa yang terjadi. Tanpa disangka, Ibu datang ke sisiku dan memelukku erat.

"Sayang, kamu tidak apa-apa kan? Lihatlah betapa merahnya jidatmu ...."

Baru kali ini aku melihat Ibu seperti ini. Matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis. Aku hanya berdiri diam dan menerima pelukan hangat Ibu. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan ....

Sementara Ibu memelukku dengan erat, Ayah melihat-lihat ke sekeliling kamarku.

Sepertinya Ayah sedang heran apakah aku baru saja menggunakan law. Ekspresi mukanya sangat mudah dibaca. Kemudian, tatapan Ayah terpaku kepada buku "Pengetahuan Dasar Mana dan Law" yang berada di lantai. Aku telah tertangkap basah, secara harfiah.

Meski begitu, aku sudah bersiap untuk dimarahi. Semoga saja Ayah tidak membentakku terlalu keras. Aku menutup mataku karena aku tidak sanggup melihat Ayah saat ini.

"Kamu ini anak yang sangat pintar, Adele. Lain kali, jika Adele ingin berlatih untuk mengendalikan mana, ngomong-ngomong dulu ke Ayah. Jangan jadikan kejadian hari ini terulang lagi, ya," ucap Ayah sembari mengelus kepalaku.

Eh ...? Awalnya kukira Ayah akan memarahiku. Malahan, dia mengelus kepalaku. Suaranya yang lembut memberikanku keberanian untuk melihat mukanya. Wajahnya tulus, tidak menunjukkan tanda-tanda amarah sedikit pun. Bukannya marah, ia justru memujiku.

... Seumur-umur, baru pertama kali ini aku mengalami kejadian seperti ini. Karena tidak tahu harus berbuat apa, aku menangis kecil di pelukan Ibu. Sementara itu, Ayah dan Ibu hanya tersenyum kecil dan terus mendekapku hangat

Banyak hal yang terjadi hari ini. Mungkin karena kelelahan, tanpa kusadari aku tertidur di dalam pelukan Ibu. Tubuh Ibu begitu hangat dan nyaman. Andai saja, aku dapat merasakan ini selamanya.

***

... Kukuruyuk ...!

Waktu berlalu begitu cepat. Tiba-tiba saja, pagi telah tiba kembali. Badanku yang kemarin terasa sakit kini sudah membaik. Meski begitu, kali ini giliran sendi-sendiku yang mengalami pegal. Sepertinya aku tidur terlalu lama.

Aku menguap dan meregangkan badanku sembari duduk di atas kasur, kemudian mengusap mataku yang dipenuhi kotoran. Beberapa menit setelahnya, aku terus menatap kosong lingkungan sekitarku tanpa memikirkan apapun.

Setelah selesai mengumpulkan akal, aku melihat-lihat ke sekitarku. Sepertinya aku sedang berada di kamar Ayah. Pantas saja aku dapat tertidur dengan nyenyak.

Kasur yang berada di sini lebih empuk dibandigkan kasur di kamarku. Belum lagi aroma kayu tua yang berada di kamar ini membuatku merasa aman dan rileks. Sejujurnya, aku tidak ingin bangun dan terus tertidur di dalam kamar ini. Namun kelihatannya, harapanku untuk dapat menetap di kamar Ayah pupus.

Kriet ....

Selagi diriku melamun sebentar, terdengar suara pintu terbuka.

"Ah, kakak sudah bangun!"

Tiba-tiba, Fleda datang menghampiriku dengan membawa semangkuk pram.

"Untung saja aku masuk selagi membawa pram-pram ini! Barusan saja, Ibu membuatkannya padaku! Akan kuberi setengahnya kepada kakak!"

Fleda kemudian memberiku pram dengan senyum lebar di wajahnya. "Betapa imutnya adikku ini!" pikirku.

Fleda adalah adik perempuanku yang empat tahun lebih muda dariku. Senyumannya yang tulus dengan mudah meluluhkan hatiku yang baru saja bangun.

"Terima kasih, Fleda! Kamu memang adik perempuan yang terbaik dan terimut yang bisa kuminta!" gumamku sembari memeluk Fleda dengan erat.

"Hehe, sama-sama, kak! Oh iya, aku baru ingat! Dengar ya kak! Kemarin, selagi kakak tertidur, aku dan Ayah ..."

Fleda bercerita tentang bagaimana kemarin ia pergi ke ladang bersama Ayah dan menangkap seekor tikus besar yang menjadi hama di ladang kita. Aku mendengarkan cerita Fleda sembari memakan pram pemberiannya. Yum! Seperti biasa, pram buatan Ibu memang sangat enak.

....

"--Akhirnya, Ayah dan yang lainnya berhasil menangkap tikus besar itu!"

"Haha, kerja bagus, Fleda. Lain kali, cerita-cerita lagi ya ke kakak. Kakak suka mendengarkan cerita-ceritamu."

Hatiku terisi kembali setelah melihat Fleda yang ceria dan memakan pram buatan Ibu. Ah, panjang umur. Setelah Fleda selesai bercerita, Ibu masuk ke dalam kamar.

"Bagaimana keadaanmu, sayang? Apakah sudah baikan?"

"Sudah baikan, bu," jawabku.

"Baguslah, kalau sudah berbicaranya dengan Fleda, nanti kamu ke teras, ya. Sepertinya Ayah ingin berbicara sesuatu."

Waduh, apa kali ini aku benar-benar akan dimarahi? Mungkin saja begitu.

Aku pun mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Setelah menaruh mangkuknya di meja, aku berjalan menuju teras. Fleda hanya terdiam dan mengikutiku dari belakang. Dengan menyalurkan sedikit tenagaku, aku kemudian membuka pintu depan. Dari situ, aku langsung melihat Ayah yang sedang duduk di bawah pohon.

Kakiku berjalan dengan sendirinya untuk menghadap Ayah. Tubuhku berkeringat dan bergetar kecil, karena tidak tahu apa yang akan Ayah bicarakan. Tanpa disadari, aku telah berada tepat di hadapan Ayah. Suasananya sangat canggung berkat kejadian kemarin. Aku tidak dapat menatap muka Ayah dengan benar.

"Dengar baik-baik, Adele. Mengenai kejadian yang kemarin, Ayah ingin berbicara sesuatu ..."

Aku menelan ludahku, lalu bertanya, "apa itu, Ayah ...?"

"Hahaha! Tenang saja, Ayah tidak akan memarahimu, kok."

"... Ha?"

Aku terkejut dengan Ayah yang tiba-tiba tertawa. Aku mengeluarkan napas lega. Untung saja aku tidak jadi dimarahi. Dahulu, ketika Ayah memarahiku, aku sampai menangis semalaman penuh di dalam kamarku.

"Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberitahumu segalanya, Adele."

"Memberitahuku segalanya? Memangnya aku punya kelainan apa? Jangan-jangan, aku punya penyakit yang tidak dapat disembuhkan, seperti karakter utama di novel-novel romantis Ayah?"

"... Bukan begitu, Adele .... Ternyata yang suka membaca buku-buku Ayah diam-diam adalah kamu, ya? Tertangkap basah, nih."

"Eh, lupakan itu, Ayah. Aku tidak tahu apa-apa." Aku memalingkan wajahku dari Ayah. Kesampingkan itu, aku penasaran, apa yang sebenarnya disembunyikan Ayah?

"Ha ...." Ayah terdengar sedang menarik napas yang dalam.

"... Adele, kamu ini anak yang sangat pintar, pernahkah kamu berpikir mengapa semua elf di Desa Ercangaud hanya berambut pirang, dan tidak ada satu pun yang memiliki rambut putih sepertimu?"

Jika dipikir-pikir, memang aneh. Bukan sekali dua kali aku memikirkannya.

"Sebenarnya, ya, Adele ... kamu itu bukan anak kandung Ayah dan Ibu."

"... Eh?"

Karena terkejut, aku tidak dapat memberikan respon apapun. Apakah ini adalah awal dari petualanganku, sebuah adegan yang terkadang muncul di novel Ayah, dimana karakter utama diberitahu jika ia merupakan anak adopsi? Kalau iya, mungkinkah orang tua asliku adalah seorang bangsawan di Kerajaan Wuelstand?

Bercanda. Sejak dulu, aku sudah memiliki dugaan jika aku bukan anak kandung Ayah dan Ibu. Atau bisa jadi, aku memiliki kelainan yang membuatku memiliki penampilan yang berbeda dibanding yang lainnya di Desa Ercangaud. Ternyata, salah satu dugaanku tersebut benar adanya.

Sementara itu, Ayah terus menjelaskan bagaimana pertemuan pertamanya denganku, dan mengapa aku bisa menjadi anak angkatnya. Rasanya kejadian seperti ini sudah sangat klise di beberapa novel Ayah, namun tetap saja, aku akan terkejut jika hal itu terjadi padaku.

"Selain itu, Adele ... kamu ini baru berusia 14 tahun, seharusnya kamu bertingkah seperti adikmu atau Fram. Tapi lihatlah, kamu itu seperti orang tua yang sudah hidup lama, terjebak di dalam tubuh anak kecil," katanya sambil terheran-heran.

"Ayah sudah tahu kalau kamu sering membaca buku-buku Ayah. Tapi, Ayah biarkan karena sepertinya kamu senang sekali membaca buku-buku Ayah."

Ahaha .... Sepertinya sudah ketahuan sejak lama, ya ....

Aku merasa kalau Ayah hanya berbasa-basi saja. Apa yang sebenarnya Ayah ingin katakan?

"... Oke .... Sudah cukup basa-basinya."

"Adele kecilku, pernahkah kamu mendengar atau membaca dalam sebuah buku tentang satu jenis elf yang memiliki rambut putih?"

"Uh ... tidak, Ayah. Kan, buku-buku Ayah isinya kalau tidak novel romantis, pasti buku-buku filsafat."

"Benar juga, ya. Ekhem, jadi begini. Jenis elf yang dimaksud Ayah adalah high elf. Mereka memiliki kekuatan fisik dan law yang luar biasa dibandingkan elf pada umumnya. Mereka dapat dengan mudah dibedakan dari elf lainnya hanya dengan melihat rambut putihnya. Makanya Ayah tidak heran saat kejadian kemarin. Sebelumnya, Ayah sudah menduga-duga kalau hal seperti itu akan terjadi cepat atau lambat. Tapi, Ayah tidak mengira kalau hal itu akan terjadi saat kamu masih berusia 14 tahun."

Agak sulit untuk menerima segala hal tersebut. Tapi ini bukan hal yang buruk. Aku menundukkan kepalaku agar dikira Ayah sedang merenung. Aslinya, aku sedang tertawa kecil karena diberitahu oleh ayahku bahwa aku adalah individu unggul.

"Oke, bagus jika kamu cepat mengertinya. Mulai besok, kamu harus berlatih untuk mengendalikan mana bersama Ayah, agar tidak lagi terjadi kejadian kemarin. Oh, dan Fleda juga boleh ikut kalau mau," ucap Ayah sembari menengok ke arah Fleda.

"Yaay! Aku bisa berlatih bersama kakak!" Fleda bersorak gembira di sisi teras bersama Ibu.

"Oho, kukira kamu akan memarahi Adele. Mukamu terlalu serius, sayang."

"Hahaha, sebenarnya aku juga ingin memarahinya karena telah membahayakan dirinya. Tapi, ya, aku tidak tega memarahi anak kita yang imut ini."

Hari yang kukira akan dipenuhi gerutuan Ayah justru menjadi salah satu hari terbaik seumur hidupku. Syukurlah. Dengan ini, aku dapat berlatih law tanpa harus sembunyi-sembunyi dari Ayah. Aku sangat tidak sabar untuk berlatih bersama Fleda dan Ayah.

***