Chereads / Theudifara / Chapter 6 - Keraguan

Chapter 6 - Keraguan

"Selamat ulang tahun, Adele!"

"Selamat ulang tahun juga, Fleda!"

"Hehe, terima kasih, semuanya."

Hari ini, tanggal 16 Charon 270 Zea adalah hari spesial. Ini adalah hari dimana 21 tahun lalu Ayah menemukanku di hutan yang terguyur hujan deras. Keluargaku merayakan hari ini juga untuk merayakan hari kelahiran Fleda yang hanya 4 hari lebih awal, yakni pada 12 Charon 253 Zea.

Setiap tahunnya, keluarga kami merayakan ulang tahunku dan Fleda dengan mengadakan pesta kecil-kecilan di halaman depan rumah. Sekali dalam setahun, kita dapat menikmati roti gandum manis buatan Ibu. Meski hanya cukup untuk mengganjal perut, gula adalah suatu kemewahan bagi keluarga kami yang tidak terlalu mapan.

Pestanya sendiri cukup sederhana, hanya perlu menyiapkan beberapa roti gandum manis dan empat teh herbal hangat untuk dinikmati bersama di malam hari. Dengan memandangi bintang-bintang yang berkilauan di langit, aku berbincang dan bergurau bersama Ayah, Ibu, dan Fleda. Bukan hanya diriku dan Fleda saja yang berbahagia; Ayah dan Ibu juga merasa bahagia jika tiba hari perayaan ini.

"Limhat kamkamk! Bumlamnnyam bemsamr semkamlim!"

"Hey! Jangan berbicara saat makan!"

Memang benar apa kata Fleda, bahwa bulan malam ini sedikit lebih besar dari yang biasa kulihat. Aku pernah membaca tentang fenomena alam ini di buku Ayah. Menurut para ahli astronomi, bulan nampak lebih besar karena posisinya yang lebih dekat ke Alacritas.

Fenomena alam ini disebut supermond. Supermond adalah hal yang umum, tetapi hanya terjadi sekali setiap 18 tahun. Menurut cerita rakyat elf, supermond merupakan suatu pertanda baik. Disebut-sebut jika kamu mengharapkan sesuatu ketika tiba saat supermond, keinginanmu akan terkabul dalam waktu dekat. Kalau begitu, sebaiknya aku membuat satu permintaan.

"Semoga saja aku, Fleda, Ayah, dan Ibu akan terus bersama selamanya ...." gumamku sembari menundukkan kepala.

***

"Hoam ...."

Pagi hari pun tiba kembali. Aku bangkit dari kasur, lalu mulai meregangkan sendi-sendiku. Kuusap mataku yang masih berkunang-kunang dan penuh kotoran. Dalam kondisi setengah sadar, aku menuju ke belakang rumah untuk membasuh muka. Setelah selesai, aku kembali mengusap mata dan mengeringkan wajahku dengan handuk. Lalu, aku berjalan kembali menuju dapur. Biasanya Ibu sudah mulai memasak jam segini.

"... Loh?"

Kucari-cari Ibu di dapur, namun sehelai rambut pun tak kutemukan. Setelah mencari-cari keliling rumah, Ayah dan Fleda juga tidak dapat ditemukan di mana-mana.

Kemana perginya mereka? Apakah mereka pergi ke suatu tempat tanpa memberitahuku? Padahal, Ayah tidak bilang kita akan ke ladang hari ini. Yah, mungkin saja mereka ingin mengejutkanku dengan memberiku hadiah, seperti yang terjadi tahun kemarin.

Aku memilih untuk tidak berpikir macam-macam. Toh, apa hal terburuk yang dapat terjadi kepada mereka? Seperti biasanya, aku menghabiskan waktu luangku dengan membaca dan sedikit latihan selagi mereka pergi.

***

Dengan nafas yang terengah-engah, aku menyudahkan latihan harianku. Tanpa terasa, mentari sudah mulai menenggelamkan dirinya. Merasa haus dan gerah, aku pergi ke belakang rumah untuk menyegarkan tubuhku.

Blam!

Belum selesai aku mencuci muka, tiba-tiba terdengar suara pintu terbanting keras. Kedengarannya, suara tersebut berasal dari pintu depan. Karena penasaran, aku memutuskan untuk mencari penyebabnya.

Tanpa disangka-sangka, aku melihat Ayah yang sedang marah besar. Wajahnya semerah ubi jalar. Tatapannya lebih tajam dari seekor singa. Alisnya merendah hingga nampak urat-urat di dahinya menonjol. Dengan langkah yang berat, Ayah berjalan ke kamarnya dan berpapasan denganku.

"... A--ayah ...?" Aku takut melihat Ayah yang seperti itu. Seluruh tubuhku gemetar, membuatku tidak bisa berbicara lancar di hadapannya.

"MINGGIR KAU!"

"...!" Aku sangat terkejut dan bingung. Tiada angin atau hujan, tiba-tiba Ayah membentakku dengan keras. Apa yang sebenarnya terjadi di luar? Aku bertanya-tanya di dalam hatiku. Berkat bentakan Ayah, aku hanya dapat terdiam seperti patung di depan kamar Ayah. Seumur-umur, aku tidak pernah melihat Ayah marah sampai sebegitunya.

Krieet ....

Ayah kemudian keluar dari kamarnya, masih dengan wajahnya yang murka itu. Bedanya, kali ini Ayah membawa tongkat kayu yang sering digunakannya untuk melatihku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi Ayah keluar melewati pintu depan. Tubuhku masih bergetar hebat meski Ayah sudah tidak kelihatan lagi.

"AAAAAAA!!"

Belum sempat aku menghela nafas, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita yang sangat keras dari arah ladang kami. Bukankah itu suara Ibu? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak ingin berpikir yang aneh-aneh. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari keluar menuju ladang untuk melihat apa yang sedang terjadi. Semoga saja tidak terjadi hal buruk!

"DASAR KAU WANITA JALANG!"

BLETAK!

Aku hanya membatu ketika melihat apa yang sedang terjadi di hadapanku. Ayah terlihat sangat murka dan memukuli Ibu tanpa ampun menggunakan tongkat kayunya. Sedangkan itu, Ibu merunduk dan mencoba untuk melindungi bagian perutnya.

Ibu berteriak kesakitan dan berkali-kali memohon Ayah untuk berhenti. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka-luka lebam. Di belakang itu semua, nampak Fleda yang sedang menangis kencang.

"A ... Ayah ... Ibu .... T--tolong berhenti ...." Lagi-lagi, aku tidak bisa berbuat apapun, selain berdiri ketakutan melihat Ibu yang dipukuli. Semakin lama, semakin kencang juga teriakan Ibu. Tanpa kusadari, air garam telah membanjiri mataku.

Keluarga harmonis yang sangat kucintai selama puluhan tahun hancur begitu saja. Aku bahkan tidak tahu apa yang membuat Ayah murka hingga tega memukuli Ibu. Bagaimana caranya aku dapat menyelamatkan keluargaku? Pemikiran seperti itu memenuhi kepalaku. Aku sadar bahwa aku harus melakukan sesuatu.

... Ah, peduli setan.

Grep!

"Sudah, Ayah! Hentikan ... tolong hentikan ini semua!" Dengan sedikit keberanian, aku mendekap Ayah untuk membuatnya berhenti memukuli Ibu. Suaraku bercampur dengan dahak dan liur. Meski begitu, rasa sayangku kepada keluargaku benar-benar tulus. Aku tidak ingin keluargaku berakhir dengan cara seperti ini!

"DIAM KAU!"

BUK!

"Kuhuk!" Entah sengaja atau tidak, Ayah memukul perutku dengan keras. Saking kerasnya, aku sampai tersungkur ke tanah berkat pukulannya itu. Perutku sangat sakit dan mual. Segera saat itu juga, aku memuntahkan sisa-sisa makanan yang berada di dalam perutku. Di dalamnya juga tercampur darah kental, membuatnya berwarna sedikit kemerahan.

Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Ayah saat itu. Perlahan-lahan, kesadaranku menghilang setelah kepalaku dilanda pusing yang hebat. Aku sudah pasrah dan tidak peduli lagi dengan apapun yang terjadi setelah itu. Lebih baik aku tutup mataku rapat-rapat agar tidak melihat Ayah yang seperti itu lagi.

***