Chereads / Theudifara / Chapter 5 - Musim Semi .03

Chapter 5 - Musim Semi .03

Hari-hari datang dan berlalu. Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian itu. Sesuai dengan janji yang diberikan Ayah, ia melatihku bersama Fleda setiap tiga hari. Pelatihan yang diberikan Ayah cukup berat bagi kami. Meski begitu, aku dan Fleda tetap senang karena kita bertiga menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

"Yak, lepas sekarang, Fleda!"

"Hiyat!"

Dari tangan Fleda, muncul beberapa kerikil yang terbang dengan kecepatan luar biasa, hingga mengenai orang-orangan sawah tepat di kepalanya. Sebuah lubang tercipta di kepala orang-orangan sawah itu sebagai akibatnya. Padahal, bagian kepala yang dikenai Fleda itu terbuat dari kayu.

Selama seminggu berlatih bersama Fleda, aku menyadari sesuatu. Ternyata, Fleda juga cukup berbakat dalam mengendalikan mana. Menurut Ayah, kemampuannya dalam mengalokasikan mana dengan tepat ke dalam script sangatlah baik, sampai-sampai tidak ada seorang pun di Desa Ercangaud yang dapat mengalahkannya.

Berbeda dengan teknik pengendalian manaku yang agak kasar namun masif, teknik milik Fleda adalah kebalikan sempurna dariku. Caranya mengendalikan mana begitu halus dan lembut, seperti seorang ibu yang sedang memberi kasih kepada anak-anaknya. Ia juga dapat mengalkulasi jumlah mana yang dibutuhkan untuk suatu script secara tepat dalam waktu yang sedikit. Kedua hal tersebut membuat pengendalian mana Fleda sangat efisien, sehingga ia tidak cepat lelah. Meskipun Fleda hanya dapat memakai script-script dasar sepertiku, ia mampu menyamakan kekuatan scriptnya denganku, yang sejak awal memiliki jumlah mana yang besar.

Setelah mengetahui bakat terpendam Fleda, aku terkagum-kagum sekaligus takut. Bagaimana semisal ada orang berniat jahat yang memanfaatkan Fleda? Aku harus mencegah hal itu terjadi! Tidak boleh ada satu pun orang jahat yang boleh menyentuh adikku yang imut ini!

"Anak-anak! Waktunya kita makan!"

"Oh, sudah waktunya, ya?"

Ibu segera memanggil kami begitu latihan kami selesai. Aku, Fleda, dan Ayah kemudian mendekati Ibu untuk duduk bersamanya di bawah pohon yang berada di teras.

"Ini, anak-anak, pram kesukaan kalian!" tutur Ibu sambil tersenyum.

""Yay!""

Aku dan Fleda bersorak gembira. Rasa pram yang dibuat Ibu memang sangat khas. Jika aku diberi tantangan untuk menghabiskan 20 piring pram buatan Ibu, jelas itu bukan hal yang mustahil.

Aku dan Fleda memakan pram Ibu dengan lahap. Tiap rahangku mengunyah, tekstur renyah nan gurih datang memanjakan lidahku. Di teras ini, aku dapat melihat ladang keluarga kita dengan sangat jelas. Ketika tiba musim panen, gandum-gandum itu akan memenuhi lumbung desa kami. Tumbuhlah yang besar, gandum-gandumku. Nantinya, kalian akan menjadi bahan baku roti manis buatan Ibu yang sangat lezat.

"Kalau sudah selesai makannya, minumlah teh ini, supaya kalian cepat kuat seperti Ayah!" Ibu kemudian memberi kami segelas teh herbal hangat masing-masing.

""Iya, bu!""

Hamparan gandum berwarna kuning melambai-lambai, sedikit demi sedikit menutupi sang mentari yang tenggelam. Angin-angin lembut meraba kulitku dengan ramah. Perlahan-lahan kuminum teh herbal buatan Ibu. Rasanya ringan, sedikit manis dan juga hangat, membuat tubuhku bersemangat kembali. Ini merupakan suasana yang sangat kuidamkan. Aku berharap jika aku dapat terus bersama keluargaku yang kucintai seperti ini selamanya.

***

Keesokan harinya, aku dan Fleda pergi bermain ke ladang bunga yang berada di sebelah ladang gandum keluarga kami. Hanya butuh waktu sepuluh menit berjalan dari rumah untuk mencapainya.

Pemandangan di tempat ini sangat menakjubkan. Hanya ada hamparan bunga krisan berwarna kuning, merah muda, dan putih sejauh mata memandang. Akhir-akhir ini, tempat ini menjadi tempat favoritku dan Fleda untuk bermain bersama. Bermain kejar-kejaran, petak umpet, merangkai bunga, dan masih banyak lagi. Tiada hari yang terasa penat setelah kami berdua bermain dengan penuh riang di sini. Terkadang juga, jika Ibu sedang marah ke salah satu dari kami berdua, ladang bunga ini selalu menjadi tempat pelarian kami. Dan kebetulan sekali, sekarang sedang terjadi kejadian yang diomongi barusan itu.

"... Ibu jahat! Hanya karena aku tidak sengaja memecahkan mangkuk, kenapa Ibu jadi marah seperti itu!" Fleda menggerutu selagi matanya menumpahkan air mata.

"Sudah, sudah. Jangan menangis Fleda. Coba lihat sekelilingmu. Tidak ada Ibu yang sedang marah. Hanya ada sekumpulan bunga-bunga cantik yang melambai-lambai kepadamu, Fleda. Oh iya, mengapa kita tidak mencoba merangkai bunga bersama-sama saja?"

"... Merangkai bunga ...?"

"Iya. Nih, kakak buat dulu sebagai contoh. Begini, begini, dan begini. Selesai, deh! Spesial untuk Fleda yang sangat cantik!"

Dengan sedikit keterampilanku yang kudapat saat mengunjungi tempat ini sendirian, aku membuat sebuah mahkota bunga krisan untuk dipakaikan ke Fleda. Warna kuning dari mahkota bunga tersebut sangatlah cocok berada di atas kepala Fleda yang berambut emas. Melihatnya sekali lagi, ia nampak seperti seorang Dewi yang baru saja turun dari kayangan.

"Wah, terima kasih, kakak! Apa aku terlihat cantik dengan mahkota bunga ini?" Fleda tersenyum lebar.

"Tentu saja Fleda! Di mataku, kamu adalah adik perempuan yang paling cantik sedunia sampai kapanpun!"

***

"Hahaha, sekarang yang jaga Fram!"

"Tunggu kau!!"

Terkadang, jika aku bosan di rumah, aku pergi keluar bersama Fleda dan bermain dengan teman-teman seumuranku. Fram, Alphonse, Albert, Hilda, dan Rosalint. Mereka adalah teman-temanku dan Fleda yang kurang lebih sepantaran di desa. Karena elf dikenal sebagai makhluk berumur panjang, mayoritas penduduk di Desa Ercangaud diisi oleh para orang tua yang sudah berumur ratusan tahun.

"Eits, gak kena!" ucap Alphonse setelah berhasil menghindar dari kepakan tangan Fram.

"@*#%S!!"

Alphonse adalah teman dekat Fram. Ia memiliki sifat yang hiperaktif dan jujur. Di antara teman-temannya, Alphonse adalah yang terkuat dalam hal fisik setelah aku. Alphonse adalah anak yang tidak terbiasa berbohong. Karena sifatnya yang cerah, ia dapat menjadi teman dekat Fram.

Sedangkan Fram adalah teman laki-laki yang sangat kupercaya. Jika aku sedang kesulitan, Fram lah yang pertama kali mengulurkan tangannya. Sifatnya mirip dengan Alphonse, hiperaktif, namun sedikit usil. Fram memiliki kepribadian yang unik, sekilas ia nampak seperti bocah polos karena sifatnya yang hiperaktif dan jarang memikirkan sesuatu. Namun, sebenarnya Fram adalah anak yang pintar, ia sangat gemar membaca buku di rumahnya. Hanya saja, ia lebih suka terlihat konyol jika sedang berada di depan teman-temannya.

"...."

Anak yang sedang duduk menyendiri itu adalah Albert. Tidak banyak yang kuketahui tentangnya. Dalam pandanganku, Albert adalah anak yang sangat pendiam. Setiap kali kuajak bicara, Albert hanya menjawab "iya," "tidak," atau hanya menganggukkan atau menggelengkan kepalanya. Kelebihannya diantara teman-temannya adalah fakta bahwa dia merupakan yang terpintar diantara kita semua. Bahkan aku saja berkali-kali tunduk di hadapan kepintarannya. Terkadang, topik-topik rumit yang tidak kumengerti dengan mudahnya dijawab olehnya. Sayangnya, Albert memiliki tubuh yang rapuh. Ia jarang pergi bermain keluar rumah kecuali jika tubuhnya sedang dalam kondisi prima.

"Fleda, sekarang giliranmu!"

Dan yang terakhir, adalah Hilda dan Rosalint. Mereka berdua adalah teman dekat Fleda. Hilda dan Rosalint selalu terlihat berdua jika sedang bermain keluar. Sifat mereka seperti dua kutub pada magnet, saling berlawanan. Hilda memiliki sifat yang tomboi dan tidak segan-segan untuk mengatakan keinginannya. Sedangkan Rosalint memiliki sifat yang pemalu dan agak pendiam. Mereka adalah duo aneh yang selalu bersama kemanapun mereka pergi.

Sementara Fram dan Alphonse bermain kejar-kejaran, aku dan Fleda bermain mills bersama Hilda dan Rosalint di dalam dangau yang menjadi langganan kami untuk bermain. Sedangkan itu, Albert duduk menyendiri di pojokan gubuk mengamati Fram dan Alphonse.

Di antara mereka semua, akulah yang paling tua. Karena itulah, aku memandang mereka semua seperti adikku sendiri. Ada kalanya mereka butuh bantuan dariku yang lebih tua, dan aku pun senang membantu mereka. Kami berenam memiliki cita-cita yang sama. Kelak, jika kami sudah besar, kami bercita-cita untuk pergi merantau ke kota besar untuk memberikan kehidupan yang lebih baik ke keluarga kami. Karena sama-sama berasal dari keluarga yang miskin, wajar saja semisal kami memiliki cita-cita yang sama. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku berharap bahwa kami berenam dapat mewujudkan cita-cita kami meskipun jalan yang akan kami tempuh berbeda-beda.

***