Plak!
"Hahaha, sekarang Kak Adele yang jaga!"
Fram menepuk punggungku dengan keras sembari lompat ke bawah pohon. Aku yang mulanya melamun kembali sadar berkatnya.
"Hei! Tunggu kau, dasar bocah tengil!"
Aku pun melompat ke bawah pohon dengan cepat. Jelas aku akan mengejarnya kembali dengan sekuat tenaga.
"Hiyat!" Aku menepuk punggung Fram dengan keras sebagai bayaran yang tadi.
"Eek!" Fram terkejut, karena aku dapat mengejarnya dengan mudah. Setelah berhasil mengenainya, ia menghentikan lajunya dan berbalik menatap ke arahku.
"Kamu memang hebat, Kak Adele! Tidak ada satupun anak di desa Ercangaud yang lebih kuat fisiknya dari Kak Adele!" Dengan napas yang terengah-engah, Fram sedikit tersenyum. Ia memujiku, tapi entah mengapa, aku justru merasa sebal.
"Aaack! Sakit, kak, sakit!! Kenapa kakak melakukan itu!?"
"Entahlah. Aku merasa sedikit sebal berkat seseorang." Aku mencubit tangan Fram hingga membuatnya berteriak kesakitan.
"Anak-anak! Sudah waktunya kita pergi!" Tanpa kusadari, ibunya Fram telah datang menjeput Fram. Dia tidak menyadari aku menyubit Fram barusan, kan?
"Ah! Iya bu!"
"Kapan-kapan kita main lagi yuk, Kak Adele!" Fram lalu berlari mengikuti ibunya. Nampaknya ia tak dendam meski sudah kucubit tangannya sampai memerah.
Mungkin sebaiknya aku juga pergi. Aku lelah, setelah berlari-larian barusan. Sekarang saatnya untuk mengikuti upacara persembahan bersama Ayah, Ibu, dan Fleda.
***
"Aku pulang!"
"Selamat datang!"
Ibu langsung datang menyambutku di ruang tamu. Kulihat sekilas di ruang tamu, aku tidak menemukan Ayah dan Fleda. Nampaknya mereka sudah pergi terlebih dahulu.
"Sudah bermainnya bersama Fram?"
Aku kemudian menganggukkan kepalaku kepada Ibu.
"Cuci muka dulu, sayang. Mukamu penuh debu. Ibu pergi duluan ya, setelah kamu cuci muka, jangan lupa ke pohon besar."
"Baik, bu."
Aku pun pergi ke belakang untuk mencuci muka. Begitu selesai, badanku terasa amat menyegarkan. Tidak pakai lama, aku segera bergegas untuk pergi ke pohon besar.
***
"Roh nenek moyang yang bijaksana, semoga persembahan kecil kami ini diterima. Berkatilah kami musim panen yang berlimpah. Turunkanlah hujan yang cukup, tidak kurang hingga membuat kekeringan, tidak lebih hingga membuat kebanjiran."
"Amin."
"""Amin."""
Aku hanya diam mengamati tetua desa memberi persembahan di pohon besar yang diyakini sakral oleh penduduk desa. Meski begitu, yang kulihat hanyalah pohon besar biasa yang sudah sangat berumur. Memang benar jika di pohon tersebut ada sosok penjaganya. Hanya saja, apa benar itu roh nenek moyang kita? Wujudnya terlalu abstrak untuk dapat disebut sebagai nenek moyang kita.
Mungkin aku sudah berpikir terlalu dalam. Setiap 3 bulan sekali, kita diberi kewajiban untuk melakukan persembahan kepada roh nenek moyang kita. Semua orang-orang tua dan anak-anak di desa Ercangaud mengikuti persembahan ini. Dengan harapan bahwa mereka akan diberkati musim panen yang berlimpah.
***
Setelah upacara persembahan selesai, aku langsung kembali ke rumahku. Namun, tidak ada yang menjawab. Tampaknya Ayah, Ibu, dan Fleda masih berada di luar.
Ya sudahlah. Mungkin aku akan membaca buku-buku lama Ayah yang ada di rak kamarnya. Jika bicara jujur, sebenarnya aku sudah membaca hampir semua buku yang ada di rak tersebut. Tapi, toh, mungkin saja ada buku menarik yang belum kubaca.
Kriet ....
Pintu masuk menuju kamar Ayah dan Ibu memang sudah usang. Tapi tetap saja aku tidak suka mendengar suaranya.
Dengan senyap, aku melangkahkan kakiku ke dalam kamar Ayah. Seiring aku berjalan di kamar Ayah, bau kayu tua yang sangat khas tercium. Aku sangat menyukai bau-bau yang seperti ini, karena mengingatkanku kepada Ayah.
Aku melihat ke atas rak buku. Aku belum membaca buku yang berada di rak atas. Buku-buku yang ada di rak bawah sudah kubaca semua. Sayangnya, isinya hanya novel-novel romantis atau buku filsafat. Aku tidak begitu tertarik dengan hal-hal seperti itu.
Karena tinggiku yang masih belum bisa mencapai rak atas, aku mencari kursi untuk digunakan sebagai pijakan.
"Heup ..." Kursinya cukup berat. Untungnya aku masih bisa mengangkatnya. Kuletakkan kursi itu di depan rak buku. Lalu aku pun naik ke atasnya dan melihat-lihat satu-persatu judul-judul buku yang berada di rak atas.
"Teknik Rotasi Tanaman Suku Nix." Tidak.
"Sejarah Kerajaan Wuelstand." Boleh, boleh.
"Kisah Perang Delapan Tahun." Menarik, tapi lain kali saja.
"Dan ... Pengetahuan Dasar Mana dan Law."
"Ah!" Aku segera tertarik dengan buku tersebut ketika aku menemukannya. Lalu aku memutuskan untuk membacanya di kamarku. Sebelum kembali ke kamar, tidak lupa kubereskan lagi kamar Ayah, supaya ia tidak mencurigaiku mengambil buku-bukunya.
Aku pun berjalan dengan santai menuju kamarku dengan membawa buku yang tebal itu. Sebelum membacanya, selalu pastikan kalau pintu kamarku terkunci.
Setelah selesai mengunci pintu kamarku, aku langsung melompat ke kasurku dan mulai melihat-lihat kondisi bukunya.
"Mari kita lihat ..."
Sekilas, buku ini terlihat usang dan berdebu. Mungkin karena sudah ada di rak buku Ayah sejak puluhan tahun lalu. Bau kertas dan tinta yang telah mengering bercampur debu menghasilkan aroma khas yang tercium di hidungku.
"Achoo!" Mungkin karena debu yang menumpuk di bukunya, aku bersin tanpa disadari. Aku pun membuka buku tersebut, mulai dari sampulnya.
Aah, baunya sangat mengingatkanku kepada Ayah. Sederhana, namun menghipnotis. Paragraf demi paragraf, aku membaca buku ini dengan antusias.
"... Mana adalah hasil perputaran kehidupan yang dihasilkan dari alam. Selama masih ada alam dan kehidupan di dunia, jumlah mana tidak akan habis."
"... Berbagai peneliti dan alkemis berkesimpulan bahwa mana pada dasarnya adalah 'hukum alam' yang dapat membuat fenomena-fenomena alam seperti badai, angin puting beliung, gunung meletus, gempa bumi, ombak besar, petir, dan lain-lain."
"... Sebuah mana dapat dikonversikan menjadi sebuah wujud, tetapi tidak dapat dibuat maupun dihancurkan."
Setelah membaca kurang lebih 30 halaman pertama, aku menjadi tertarik dengan konsep mana yang dijelaskan di buku ini. Terhanyutkan oleh buku ini, aku berteori macam-macam dengan hal-hal yang berkaitan dengan mana yang disebut dalam buku. Seperti misalnya, jika aku dapat menggunakan law dengan baik, aku dapat membuat berbagai macam fenomena alam semauku. Mungkin akan tiba saatnya jika aku dapat membuat badai dalam satu jentikan jari. Bercanda, hehe.
"Betapa indahnya jika aku dapat menggunakan law!"
Aduh, sepertinya aku keasikan melamun di tengah-tengah membaca buku.
"... Mana bersifat elemental, atau sesuai elemen, dan searah dengan fenomena alam yang ditimbulkannya. Sebagai contoh, fenomena alam badai disebabkan oleh mana berelemen angin, gempa bumi disebabkan mana berelemen tanah, tsunami disebabkan oleh mana berelemen air, dan lain-lain. Para peneliti dan alkemis mengelompokkan elemen mana dasar ke dalam 7 jenis: api, udara, air, tanah, cahaya, petir, dan ruang."
"... Mana juga dapat dikendalikan oleh makhluk hidup, dan membuat fenomena yang tak biasa. Di Benua Zea, hanya segelintir orang yang diberkahi kemampuan ini."
"... Pengendalian mana di Benua Zea disebut dengan 'law', menggunakan mana dari alam sebagai bahan bakar yang kemudian dipakai oleh penggunanya untuk menciptakan suatu fenomena alam."
"... Penggunaan law pada umumnya menggunakan metode pelafalan script. Script adalah metode pelafalan menggunakan Bahasa Zea kuno yang dialiri mana oleh penggunanya. Mana yang dimasukkan ke dalam script sebagai bahan bakar kemudian mengikuti perintah yang diberikan oleh penggunanya melalui script."
"... Setelah script dikeluarkan, maka fenomena alam yang diperintahkan di script akan terjadi. Skalanya bervariasi tergantung kapasitas mana penggunanya. Tingkat efisiensi masing-masing law ditentukan oleh seberapa spesifik script yang dikeluarkan."
Aku pun berpikir betapa hebatnya dunia ini. Sebelumnya, aku pernah diajari sejenak oleh Ayah mengenai mana dan law. Aku sangat tertarik dengan apa yang diceritakan Ayah. Terutama karena ia bilang aku sudah dapat melihat partikel-partikel mana yang ada di sekitarku.
Jika dipikir dengan logika, hal-hal seperti ini tidak masuk akal sedikit pun, sama seperti buku-buku filosofi milik Ayah. Tapi aku membiarkan diriku hanyut dalam kesenangan. Aku pun tertarik mencoba untuk menggunakan law melalui metode yang tertulis di buku.
Aku tersenyum dengan penuh percaya diri, lalu bangkit dari kasurku, melihat ke arah boneka beruang kesayanganku yang berada tidak jauh di sampingku. Kuangkat tanganku perlahan-lahan dan mengarahkannya ke boneka beruangku.
Aku mengumpulkan mana yang ada di sekitarku dan menaruhnya di satu titik, yakni telapak tanganku, sesuai yang tertera di buku. Lalu, aku menarik napas yang dalam, dan mulai melafalkan salah satu script tingkat dasar.
"Adolebitque!"
....
Tidak terjadi apa-apa. Mungkin aku salah memilih script. Akan kucoba sekali lagi
"Et percutiamus!"
....
Lagi-lagi tidak terjadi apa-apa. Sungguh memalukan. Aku mencoba menutupi wajahku yang memerah untuk menyembunyikan rasa maluku. Semoga saja tidak ada orang yang mendengarnya.
Meski begitu, rasa maluku berhasil dikalahkan oleh rasa penasaranku. Aku sekali lagi mengarahkan tanganku ke arah boneka beruangku. Semoga saja berhasil, aku sudah sangat malu karena dua script tadi tidak berhasil.
"Exibunt Aquae!" Seketika, keluar cahaya terang dari tanganku. "Agh! Silau!" Aku terkejut dengan kehadiran mendadak cahaya itu. Tiba-tiba dari dalam cahaya tersebut, keluar sejumlah air yang bertekanan tinggi.
"Dingin!" Itulah yang kupikirkan sekilas saat itu. Rasanya sangat aneh, seperti tanganku tiba-tiba menjadi sebuah selang. Untungnya, aku dapat menghentikan lawnya sebelum bertambah kuat, entah bagaimana caranya.
Blam!
"Aack!"
Dentuman keras menggetar seisi rumah. Karenanya, aku terpental dan membenturkan kepalaku ke kasur. Boneka beruangku yang sudah menjadi kesayanganku sejak kecil kini hancur berkeping-keping.
"Aduduh ..."
Kelihatannya aku sudah kelewatan. Cipratan airnya mengenai hampir seluruh sudut kamarku, membuatnya basah kuyup.
Brak!
Tiba-tiba, Ayah dan Ibu membuka paksa pintu kamarku dan bergegas masuk ke dalam kamarku.