Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Petualangan Sang Red Riding Hood

Devi_Devita98
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.7k
Views
Synopsis
Kalika Annaya, generasi ke-sembilan Red Riding Hood, kabur dari negeri dongeng untuk menunaikan tugas melindungi manusia-nya, Reinya Mariyam, seorang penulis yang ditakdirkan menuliskan kisah sejarah kota Nipa, tempatnya tinggal. Dibayangi kegagalan ibunya, ramalan seorang penyihir, dan kemarahan Babushka sang Nenek, apakah Kalika akan berhasil menjalankan tugasnya?
VIEW MORE

Chapter 1 - PLOP!

"Betania."

Kalika Annaya membaca papan nama penginapan tua di hadapannya sambil memegang koper kulit cokelat miliknya yang terasa berat karena, ia yakin, berisi juga teriakan dan sumpah serapah Babushka, nenek perempuannya. Anak jalang, cucu kurang ajar, perempuan iblis, anak tak tahu diuntung dan sederetan kata-kata makian lainnya mengejarnya. Tapi, ia telah mengunci pintu ke negeri dongeng, menutup halamannya, dan meletakkan buku dongeng tua itu di dasar kopernya.

Tak ada yang mungkin mengganggunya. Tidak juga teriakan Babushka yang nyaring-lengking kucing marah. Segalanya ia tinggalkan di belakang. Tak ada yang boleh mengikutinya, tidak juga bayang-bayang hari kemarin.

Nama penginapan ditulis dalam bentuk kaligrafi, dengan tinta perak, di atas plakat kayu yang berlapis debu. Ada sarang laba-laba pada pojok kiri atas, dekat huruf A. Barangkali karena tak seorangpun memperhatikannnya, si laba-laba masih saja asyik menenun disana, merangkai rumah sekaligus perangkap bagi mangsanya.

Gerbang penginapan terbuat dari besi yang telah berkarat dimana-mana, memudarkan warna cat hijau tosca menjadi hijau kelabu kecokelatan yang menyedihkan. Ada rantai dan gembok tanpa kunci teronggok di dekat pagar, membuat segala sesuatu tentang penginapan yang ditujunya terlihat semakin menyedihkan. Tampak juga pekarangan yang tak terurus, atap yang mengelupas, dan tembok kayu yang mulai lapuk disana-sini.

Tapi, suasana inilah yang ia cari : usang, tidak menarik mata dan perhatian, sepantasnya diabaikan. Lagipula, penginapan seperti ini pasti memasang tarif murah, dan barangkali pemiliknya akan bersyukur mendapatkan tamu bertampang asing dengan penampilan tak kalah kuno : rok panjang berwarna biru langit, kemeja putih berenda dan boot cokelat yang telah terkelupas.

Ia memakai juga scarf penutup kepala berwarna merah marun karena membaca petunjuk tentang kota Nipa yang selalu terik. Scarf itu malah membuat kulit kepalanya berkeringat, ia merasa gerah, dan ingin menggaruk kepalanya.

Pintu penginapan terasa berat. Ketika digeser, terdengar bunyi berderit. Di ruang resepsionis merangkap ruang tunggu, terdapat sebuah televisi raksasa, 48 inch, yang sedang menayangkan siaran berita sore. Suara pembaca berita mengisi ruang kosong, menimbulkan kesan seolah-olah ruang itu diisi banyak tamu yang sedang leyeh-leyeh menikmati berita. Kalika mencari-cari, dimana si resepsionis. Bangunan penginapan memang payah, tapi, ia tak menduga jika saking payahnya, sang resepsionis pun tak ada di tempat!

"Halo!"

Terdengar suaranya sendiri menggema, bersahut-sahutan dengan pembaca berita yang tengah mengomentari para penggemar konspirasi kiamat.

"Hari ini rupanya tak terjadi kiamat, saudara, tentunya hal ini sedikit mengecewakan bagi kelompok-kelompok tertentu yang telah dangat menanti berakhirnya dunia, tepat pada tanggal dua belas, bulan dua belas, tahun dua ribu dua belas."

Seorang perempuan tua peranakan cina yang kelihatan setua Babushka melangkah tergopoh-gopoh menuju meja resepsionis. Kulitnya putih-keriput, rambutnya seluruhnya abu-abu kelabu, dan bibirnya tipis pucat. Meski geraknya gesit, punggungnya yang bungkuk membuat ia terlihat benar-benar renta.

"Aih. Penginapan reyot ini seharusnya sudah tutup saja. Tapi nanti mau makan apa? Begini repotnya kalau membayar pekerja anak muda. Sore hari, dia pacaran dengan tukang ojeg! Dina…Dina… Sudah lama menunggu?"

Pupil matanya masih hitam cemerlang, dan entah mengapa, Kalika merasakan ada sesuatu yang tak biasa pada caranya berbicara. Ada semangat hidup yang meletup-letup, meski segala sesuatu di sekitarnya -kecuali televisi itu- redup dan murung.

"Baru saja, Bu. Belum lama. Saya juga baru satu kali memanggil, ibu sudah buru-buru datang."

Si nenek, Sofia Li, sesungguhnya sudah melihat kedatangan Kalika dari jendela kamar tidurnya, tetapi ia bertingkah seolah-olah ia tidak tahu apa-apa. Di usianya yang sudah renta, nyaris sembilan puluh, ia telah melihat banyak hal aneh. Namun, tak ada yang seaneh apa yang baru saja dilihatnya sepuluh menit lalu.

Seorang perempuan tiba-tiba saja muncul di depan gerbang penginapannya dari udara kosong. Ia menggosok-gosok matanya saking tak percaya. Tapi, ia yakin apa yang dilihatnya memang benar. Perempuan yang berdiri di hadapannya muncul dari udara kosong.

Plop!

Muncul begitu saja. Tak diantar kendaraan, tidak juga berjalan kaki. Barangkali ia adalah hantu, pikirnya. Tapi, hantu tak menjejak tanah.

Ia menimbang-nimbang beberapa kemungkinan lain seperti iblis perempuan, penyihir, malaikat, siluman, dewi, dan yang paling mendekati kemungkinan, menurut Sofia, adalah dewi. Dewi pembawa rejeki kadang-kadang menghampiri, membawa berkah, meski biasanya didahului cobaan untuk menguji ketulusan hati sang penerima.

"Ah, itu namanya kontak batin antara yang punya rumah dengan tamunya kan? Nama? Berapa lama mau menginap?"

Kalika hendak mengatakan seminggu, tapi ia urungkan niatnya. Ia harus patuh pada rencana mula-mula yang dibikinnya sendiri. Tinggal tiga hari di penginapan, lantas mencari rumah kontrakan untuk ditempati.

"Tiga hari saja, Bu. Nama… Apa ibu butuh kartu identitas saya?"

Betapa girangnya hati Sofia, tak salah lagi, perempuan muda di hadapannya yang punya tampang layu dan senyum tipis pongah mestilah sang dewi rejeki. Para dewata memang tak menyebutkan nama mereka! Kalika menyodorkan paspor. Tertulis jelas nama dan kewarganegaraannya : Kalika Annaya, Indonesia.

"Paspor bisa kan?"

Kalika mengatur suaranya agar terdengar yakin dan tegas, meski ia sesungguhnya tak punya dokumen resmi kependudukan negara manapun. Paspor yang diserahkannya adalah paspor tiruan yang ia beli di toko peralatan penyamaran negeri dongeng. Jika teliti, perempuan tua di hadapannya bisa menemukan banyak keganjilan. Dari alamat yang tak jelas betul, sampai nomor paspor yang palsu. Beruntung, perempuan itu bukan tipe orangtua cerewet yang sibuk memeriksa segalanya.

"Ada dua tipe kamar, single dan deluxe. Kamar single cuma punya satu tempat tidur, dilengkapi kipas angin. Kamar deluxe tempat tidurnya seukuran untuk keluarga, dilengkapi AC, TV dan minibar."

Kalika melirik daftar harga pada brosur, dengan cepat menghitung jumlah uang tunai di dalam kopernya dan memutuskan untuk memilih kamar deluxe yang bertarif tiga ratus ribu saja. Ia bahkan bisa menginap di kamar deluxe itu hingga ia mati. Si perempuan tua di hadapannya menyodorkan paspor, menutup buku tebal catatan daftar tamu, dan memandangnya dengan tatap gembira yang berlebihan.

"Saya sendiri yang akan mengantar nona Kalika ke kamar. Si Dina itu…ya sudahlah, memang kerjanya sibuk pacaran walaupun dia anak baik. Ia yatim piatu yang saya anggap seperti anak sendiri. Kelakuannya sering kurang ajar sih. Ya, memberikan kasih sayang memang tidak hanya kepada orang yang baik saja kan…"

Sofia Li benar-benar yakin, perempuan bertubuh tinggi dengan wajah peranakan kaukasia yang mengekor di belakangnya seperti anak ayam mengikuti induknya itu benar-benar dewi pembawa rejeki. Bagaimana tidak, ia memilih kamar terbaik meski penampilannya terkesan sembrono, seperti turis melarat. Dewa-dewi menyukai segala sesuatu yang terbaik ; persembahan terbaik, doa terbaik, kidung terbaik… Dan, kini, kamar tidur terbaik. Tampilannya mungkin memang disamarkan seperti itu agar tidak tampak mencurigakan.

"Penginapan ini sudah sepi sejak sepuluh tahun lalu…"

Sofia Li tak ingin membuang-buang waktu. Sang dewi rejeki bisa saja menghilang besok pagi setelah membayar segepok uang. Yang ia inginkan bukan uang, melainkan kembalinya kejayaan penginapan Betania.