Kalika merebahkan tubuhnya di kasur. Langit-langit kamar di-cat putih bersih, tak terlihat noda, noktah pun sarang laba-laba. Dinding-dindingnya pun terlihat seperti baru di-cat. Kasur dan seprai terasa lembut. Bantal begitu empuk menyangga kepalanya. Dan, tercium aroma mawar dari pewangi pakaian yang digunakan pada selimut tebal berwarna putih, seprai dan sarung bantal.
Aroma mawar tidak bisa tidak membawa ingatannya pulang kepada Babushka yang barangkali masih mengutuki kepergiannya. Di halaman rumah Babushka, ada pekarangan yang ia tanami mawar bermacam warna. Merah, merah muda, kuning, biru. Ketika mekar, semerbak aroma mawar tak hanya merasuki udara di rumah, namun, dibawa angin ke seluruh penjuru.
Suatu hari, penyihir bernama Mira yang ingin meramu minuman penggaet lelaki muda mengincar mawar-mawar itu. Mawar merah digunakan sebagai bahan campuran ramuan awet muda. Mawar merah muda digunakan sebagai baham ramuan agar pasangan terus-terusan memiliki hasrat seksual, dan mawar kuning dicampurkan dalam ramuan kesetiaan. Kalika tak dapat melupakan kenangan saat si penyihir menawar mawar milik Babushka. Hari itu, senja turun begitu cepat. Di ufuk barat, langit kemerah-merahan. Babushka yang mengintip dari jendela mengernyitkan dahi ketika menengok ke arah langit, yang kemerah-merahan itu. Lantas ia menutup jendela dan menyalakan lentera.
"Masuk ke kamar tidurmu dan jangan pernah keluar sampai kupanggil."
Keriput diantara alis Babushka terlihat makin tajam tersambar cahaya dari lentera yang dipegangnya. Usianya memang sudah nyaris seratus tahun. Selain keriput di antara alisnya, dahinya juga dipenuhi kerutan. Garis tawanya pun tergurat jelas. Yang membuatnya terlihat dua puluh tahun lebih muda dari usianya adalah tubuh tambunnya. Namun, walau langkahnya tertatih karena tulang lututnya yang tak lagi kuat menahan bobot tubuh, suaranya masih tegas dan jelas. Gigi-giginya pun masih utuh. Sesekali, ia bahkan makan jagung bakar!
"Kenapa?"
"Tidak usah banyak bertanya dulu. Bawa juga Bruno ke dalam kamarmu. Urusan Babushka tidak akan lama."
Golden retriever jantan, Bruno, yang namanya disebut Babushka masuk ke dalam kamar.
"Bahkan anjing pun lebih patuh darimu!"
Kata-kata Babushka yang terdengar menyakitkan di telinganya itu membuat ia ingin menghapus seluruh kenangan, jika saja ia bisa, dan menyisakan hanya kenangannya bersama Bruno. Juga, ibunya.
Sayangnya, tak ada cara untuk menghapus ingatan yang ia ketahui. Para penyihir yang menyepi di tengah hutan bisa melakukannya, menggunakan mantra atau ramuan. Kadang-kadang, ada yang melakukannya dengan cara menghisap energi kehidupan seseorang, seperti vampir menghisap darah para korbannya. Dan, para penyihir tak akan bersedia melakukannya tanpa upah tinggi. Konon, berdasarkan desas-desus di negeri dongeng, upahnya adalah kewarasan tokoh dongeng itu sendiri. Si penyihir kian bertambah kekuatannya, sementara yang dihapus ingatannya kian linglung dari hari ke hari.
Ingatan adalah bagian dari diri, ingatan menjelma tubuh, mengalir sebagai darah dalam pembuluh nasib yang sempit dalam keteraturannya sendiri. Jika dihilangkan, sebagian diri ikut pergi. Karena itu, aku tak suka penyihir. Mereka memanfaatkan orang, umpamanya orang adalah barang. Dan mereka mencintai barang, umpamanya barang-barang itu adalah orang.
Mengerikan.
Si penyihir datang menumpang kereta kaca beroda kayu yang di-cat berwarna perak cahaya bulan. Dua ekor keledai jantan -mereka adalah suami-suaminya yang bisa ia ubah wujudnya jadi apa saja jika dibutuhkan- menarik kereta itu. Seekor burung kakatua bertengger di bahu kirinya. Burung itu benar-benar seekor burung. Si penyihir, Mira, mencurinya dari sarang sang induk, dan membesarkannya untuk jadi pesuruh. Tugas si burung kakatua adalah mengucapkan 'halo', 'terimakasih', dan 'maaf'. Kadang-kadang, 'sampai jumpa lagi' kalau urusan si penyihir masih akan berlanjut. Beberapa penyihir tak akan mengucapkan kata-kata itu. Yang mereka inginkan adalah menyelesaikan urusannya secepat mungkin tanpa basa-basi dan mendapatkan keuntungan untuk dinikmati selekas mungkin.
Setelah lima menit mengunci dirinya di dalam kamar, Kalika mendengar 'halo' yang nyaring dan menjengkelkan dari depan pintu rumah. Bruno mendengus, lantas berputar-putar mengejar ekornya sendiri untuk mengalihkan perhatian dari suasana yang seketika berubah menjadi menjengkelkan. Kalika segera menutup jendela meski ia kesal kepada dirinya sendiri. Seharusnya setelah mengunci pintu kamar, ia segera menutup jendela. Namun, ia lalai.
Siluet sang penyihir, Mira, tertangkap matanya. Ia menoleh, dan terpukau. Matahari belum seluruhnya tenggelam, sang penyihir yang telah mengenakan gaun keperakan memancarkan sinar rembulan dari tubuhnya.
Cahaya benderang memancar, sekaligus menyelimuti sang penyihir. Bahkan, burung kakatua di bahunya, tampak seolah sesosok malaikat. Kalika terpukau. Rambut sang penyihir yang pirang terang, kulitnya yang porselain, payudaranya yang tegak mencuat di balik gaunnya membuat ia tampak seperti Artemis, sang dewi, ketika menunjukkan keagungannya. Dibandingkan dengan Kalika, yang berambut hitam gagak, dan berkulit pucat, serta tak punya payudara memikat, sang penyihir adalah primadona dan sedang ia serupa kuli. Sang penyihir bintang sekaliber Marilyn Monroe, dan ia gadis butek yang ingin jadi Marilyn Monroe.
Sang penyihir menoleh ke arahnya, dan mengangguk anggun, seolah memberi tanda kepada Kalika, ia tahu, ia sedang diperhatikan. Kalika terpikat pada mata birunya yang samudera, dan napasnya tercekat. Ia kagum, panik dan cemas sekaligus. Belakangan, Babushka mengatakan, apa yang dilihat Kalika adalah ilusi yang ditampilkan Mira, si penyihir. Ia menghisap rasa kagum, panik, dan cemas dari raga Kalika sehingga Kalika merasa dirinya butek, gelap dan kusam. Hanya orang-orang yang telah terlatih mengenali ilusi penyihir, dan memiliki rasa mawas diri yang tinggi, yang bisa mengetahui muslihat sekaligus tampilan penyihir yang sebenarnya.
"Mira, ia selalu si tinggi ceking berkulit putih kekuningan seperti orang Kamboja. Usianya sudah lima puluh, dan wajahnya sudah dipenuhi keriput. Payudaranya kisut, dan pantatnya tepos. Yang kau lihat pada dirinya adalah apa yang ia ingin tampak di matamu. Bodoh. Dia terus saja merengek minta diijinkan memetik bunga-bunga mawar kita. Begitulah penyihir sialan, selalu saja cengeng dan manipulatif. Bahkan, tidak segan mengancam untuk menghancurkan sesuatu. " Ujar Babushka setelah ia sembuh dari fase terpesona kepada ilusi penyihir. Kini ia telah sadar, dan bisa menertawakan kekonyolan. Tapi, saat itu, ia benar-benar terpikat. Ia buru-buru menutup jendela. Jantungnya seolah cermin yang pecah jadi seribu retakan. Retakan-retakan itu luruh, menjelma cair. Dan, dirasakannya sesuatu yang lebih utuh tumbuh di ruang kosong yang tertinggal. Ia ingin menjadi sosok seperti yang baru saja dilihatnya ; anggun, seksi, berkharisma. Tiba-tiba saja ia rasakan, yang tumbuh di dadanya adalah ratusan kuntum bunga : daisies, bunga matahari, anggrek. Dirinya adalah taman bunga. Ia baru kembali ke kenyataan ketika didengarnya makian babushka ; perempuan jalang, pelacur, berani-beraninya.
Sesuatu di dalam dirinya, saat itu, ingin meloncat ke arah Babushka untuk menampar neneknya sendiri. Berani-beraninya Babushka mengucapkan hal-hal yang tak pantas kepada sosok yang begitu anggun. Seekor cicak jatuh menimpa telapak tangannya. Bruno menggonggong ke arahnya. Saat itulah, ia sadar sepenuhnya, ada sesuatu yang mempengaruhi dirinya, dan sesuatu itu bertumbuh di dalam batinnya.
Celakanya, Kalika tak tahu cara menghentikan yang bertumbuh itu, dan karena ketidaktahuannya, ia bisa merasakan sesuatu mengolok-oloknya dari jauh.
Ia mendengar tawa melengking seorang perempuan di dalam dirinya. Taman jiwa yang dirasakannya bertumbuh itu ternyata memiliki penghuni lain yang culas, parasit yang siap jadi penghancur.
"Halo…" Terdengar ketukan di pintu kamar hotelnya. Kalika kembali pulang ke kenyataan, di penginapan tak terurus. Gelap mulai merayapi langit, dan kamar tidurnya telah butuh penerang. Ia bangun, dan melangkah dengan gontai menuju saklar lampu. Ketukan di pintu kamar tidurnya kian keras, dan tak beraturan. Barangkali karena yang mengetuk sudah tak sabar lagi. Ia menduga, sosok yang mengetuk bukan lagi Sofia, tapi pegawai hotel yang menurut Sofia tidak tahu diuntung itu.