Di negeri mimpi, ketika ia celingukkan mencari pohon tempatnya bersandar, terlihat sebuah pohon berdaun merah muda, persis warna bunga sakura ketika sedang mekar. Seorang perempuan berusia kira-kira dua puluh lima tahun sedang duduk dan membaca sebuah buku. Sesekali, perempuan itu mengangkat wajahnya. Hidungnya yang mancung-lancip membuat ia mirip patung Artemis, si dewi Yunani. Kalika mengamati rambutnya yang keriting sepinggang, dibiarkan tergerai. Rambut itu berwarna hitam burung gagak. Angin mengibarkan helaian rambutnya sehingga ia terkesan seperti seseorang yang tengah menunggu sesuatu. Barangkali kekasih yang tak kunjung datang.
Saat itu, usia Kalika baru enam belas, dan pikirannya tak jauh-jauh dari lelaki, perempuan dan apa saja yang mungkin mereka lakukan jika sedang jatuh cinta, termasuk rela menunggu untuk berjumpa meski tak punya kepastian apakah sang kekasih akan datang atau tidak. Ia ingin duduk di dekat perempuan itu, bersandar pada batang pohon di sisi sebaliknya. Namun, ia putuskan untuk menunggu lebih lama lagi. Jika perempuan itu benar-benar tak dihampiri siapa pun, baru ia akan mendekat. Rasanya tak elok jika ia harus jadi orang ketiga di antara sepasang kekasih yang melepas rindu. Meski cuma tebakannya saja, Kalika begitu yakin. Ia kembali mengamati sekeliling.
Selain kakek yang bercerita tentang perang dunia ke-dua, ada juga seorang perempuan yang tak kalah tuanya, bercerita tentang bagaimana ia menyelamatkan bayi kembarnya dan dirinya sendiri dari kekejaman NAZI.
"Bayi-bayi kembar akan dikurung di dalam laboratorium manusia untuk menguji tingkat telepati mereka, dan juga untuk mengikuti sederet tes yang tidak kuketahui tujuannya. Yang jelas, aku merasa terancam. Lalu, aku menjual tubuhku kepada seorang sipir, yang kemudian bukan hanya membebaskanku, tapi juga menyelundupkan aku ke kapal yang berangkat ke Amerika Serikat."
Perempuan-perempuan muda yang mendengarkan ceritanya terperangah. Dua orang di antara para pendengat, si pirang dan si rambut merah, merasa tak nyaman mendengar kisah si perempuan tua yang menjadi 'pelacur' itu kemudian memisahkan diri dati kerumunan sambil berbisik-bisik. Kalika hendak menjadi pendengar. Ia merasa, cerita itu sungguh heroik. Bayangkan! Seorang perempuan rela jadi pelacur untuk menyelamatkan diri dan dua bayi kembarnya dari kekejaman yang terjadi. Tapi, seseorang memanggil namanya dari kejauhan.
Suara itu terdengar familiar. Lebih mirip lagu pengantar tidur dibanding panggilan. Ada nada yang membuatnya mengingat sebuah masa yang lampau, masa yang telah ia lupakan, masa dimana ia merasa benar-benar aman karena tak ada yang bisa mengganggunya, atau merampas sesuatu darinya. Masa dimana ia menyatu bersama semesta yang berdenyut dan menghidu darinya. Ia nyaris hanyut dalam rasa, aman yang nyaman itu, hingga beberapa orang mulai ikut memanggil-manggil namanya, mencari-cari dirinya. Bergegas ke kenyataan, Kalika
mencari arah suara si pemanggil. Bukan hanya telinganya yang waspada, tapi seluruh tubuhnya seolah berusaha menangkap gelombang bunyi yang menenangkan sekaligus memabukkan itu.
Perempuan yang duduk di bawah pohon berdaun sewarna sakura yang sedang mekar itu telah berdiri dan melambaikan tangannya. Waktu seolah dibekukan. Semua gerak melambat. Di dunia mimpi, kini, hanya ia dan perempuan itu yang terhubung. Orang-orang yang dilihatnya, dan kisah-kisah yang tak sengaja didengarnya telah jadi senyap, tanpa alir, alur dan gerak. Kalika bergerak menuju perempuan itu. Siapa kau? Bagaimana kau tahu namaku? Mengapa kau terasa karib? Ketika ia berhadapan dengan perempuan itu, ketika tatapan keduanya bertemu Kalika adalah bayi yang terlelap dalam rahim.
Perempuan itu ibunya : Yasmin Biru.
(***)
Apa yang kau lakukan di dalam rahim ibumu? Apa kau tidur, makan, dan mendengarkan detak jantungnya yang adalah musik paling menenangkan di dunia? Apakah kau terlibat dalam percakapan-percakapan rahasia dimana ibumu mengijinkanmu merasa pikiran-pikiran rahasianya, dan memahami suasana batinnya meski tanpa kata-kata?
Saat ia berhadapan dengan ibunya, perempuan yang dari tubuhnya Kalika memperoleh wujud, ia memahami cinta yang bukan kata-kata, melainkan rasa yang dibagikan, keinginan agar sosok yang dicintai bertumbuh, mendapat perlindungan dan dicintai. Ibunya bukan perempuan yang sedang menunggui kekasih, melainkan perempuan yang sedang menanti buah rahimnya.
"Ma…"
Kalika mengingat dengan jelas kata pertama yang ia ucapkan waktu itu. Kata itu tidak dikeluarkan dari mulutnya, namun nyaring yang menggema di batinnya.
"Kau satu-satunya harapan Mama. Mama menyayangimu, tidak peduli apa pun kata Babushka, mama tidak pernah mau meninggalkanmu. Panggilan jiwa memang tak bisa ditolak. Maaf…"
Kalika tak lagi mendengar dengan telinganya. Suara ibunya bergema di ruang batinnya. Ia masih bayi di dalam rahim yang bisa mendengar segala. Hiduplah dengan baik, bergembiralah, dengarkanlah panggilan dalam jiwamu, nama manusia yang harus kau dampingi… Kau akan menemukannya di dakam buku harian berwarna merah marun yang sudah ditulisi inisial namamu. Buku itu disembunyikan Babushka di dalam peti kayu di gudang. Ambillah, ia tak akan tahu! Baca, dan ikutlah kemana jiwamu ingin pergi. Maaf, mama tidak bisa tinggal lebih lama. Ah, seandainya kematian bukan takdir, mama bisa melihatmu menikah.
Ia memeluk perempuan itu, ibunya, dan daun-daun berwarna merah berguguran seperti hujan tercurah dari langit. Waktu kembali mencair. Suara orang-orang disekitarnya kembali riuh, dan geraknya kembali seperti semula. Tapi, ibunya tak lagi disana. Ia hanya meninggalkan jubah berwarna merah, yang pada dada kirinya terukir inisial K.A, Kalika Annaya. Tak kuasa menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul di dadanya karena ibu yang telah lama dirindukannya itu tiba-tiba pergi lagi, menyisakan ingatan yang samar tentang suara dan wajahnya, Kalika menangis tersedu-sedu.
Tangisannya di negeri mimpi mewujud demam tinggi di negeri dongeng. Semalam-malaman, Babushka tidak tidur. Ia sibuk mengompres Kalika, dan sesekali membacakan rapalan mantra agar pengaruh ilusi penyihir itu tak membikin Kalika kehilangan seluruh kewarasannya. Bruno tidur di sisi Kalika, sesekali menjilati wajahnya.
Kalika terbangun tepat saat matahari terbit. Babushka, setelah memaki dan merapal makna kutukan untuk Mira Sang Penyihir, mengecek demamnya.
"Semalam aku tak bisa tidur. Begitu aku memejamkan mata, si penyihir bangsat itu masuk dalam mimpiku. Ia meminta mawar merah, dan sialnya, aku memberikannya begitu saja. Nanti, kita pergi ke rumah Nix, ia penyihir baik hati yang bisa menolongmu. Mira memang si pembawa petaka!"
Kalika merasa ada yang berbeda pada dirinya, seolah dalam semalam, ketika ia berkelana di negeri mimpi, ia menjadi sosok yang utuh, dan percaya akan sebuah kekuatan besar yang akan menuntunnya menemukan panggilan jiwa, manusia yang harus dilindunginya, dan anehnya ia merasa Yasmin Biru, ibumya, hidup di dalam dirinya. Suaranya bersarang di jantung Kalika, membuatnya larut dalam euforia rasa aman dan tenteram sudah lama tak dirasakan. Benaknya mulai menyusun rencana. Pertama, ia perlu menemukan buku harian. Kedua, ia perlu mencari tahu cara keluar menuju negeri manusia. Ketiga, ia perlu tahu cara kembali dari negeri manusia ke negeri dongeng. Entah mengapa, meski Babushka menganggap Mira iblis dari neraka, Kalika yakin, Mira akan membantu memberikan informasi berharga tentang dunia manusia.