Chereads / Petualangan Sang Red Riding Hood / Chapter 5 - Kupu-kupu, Mimpi dan Ramalan Masa Depan (04)

Chapter 5 - Kupu-kupu, Mimpi dan Ramalan Masa Depan (04)

Pukul 18.55. Kalika merenggangkan tubuhnya di atas kasur. Sudah cukup lama ia berada dalam ruang ingatan, mengais-ngais alasan mengapa ia berada di dunia manusia, meski Babushka terang-terangan meneriakinya umpama ia anak jalang yang kabur dari rumah bersama pacarnya untuk bersenang-senang. Padahal, ia sedang melaksanakan misinya. Sama seperti Babushka sendiri berhasil menjalankan misi melindungi seorang penulis perempuan bernama Virginia untuk tidak menggantung diri karena dicerai suaminya yang pemabuk. Babushka berkali-kali menceritakan pengalamannya dengan bangga. Mengapa ia tak boleh? Apa karena ibunya gagal? Bukankah kegagalan juga bagian dari takdir? Hangatnya kata-kata ibunya mengalirkan semangat dalam tubuh Kalika. Suasana hatinya yang galau, seketika menjadi ceria. Mungkin benar kata orang, mereka yang pergi tak pernah benar-benar pergi. Mereka mengirimkan cinta yang tak henti-hentinya menguatkan orang-orang yang ditinggalkan. Pengalamannya di negeri mimpi membuktikan hal itu.

Pekerja penginapan akan mengantarkan makanan lima menit lagi. Tiba-tiba saja, Kalika memutuskan untuk makan malam sambil menonton televisi di lobi. Ia butuh udara segar dan teman mengobrol. Si pekerja penginapan nampaknya akan jadi teman mengobrol tanpa basa-basi yang bisa memberinya banyak keterangan tentang kota Nipa. Ia juga butuh ponsel baru. Dina pasti bisa dimintai tolong.

***

Lobi masih sepi. Tayangan di televisi telah berganti menjadi sinetron dimana para pemerannya sedang saling memelototi pupil masing-masing, diiringi tabuhan drum yang membuat suasana tegang. Tubuh kurus Sofia Li, si pemilik penginapan, terduduk kaku di sofa, berhadapan dengan televisi. Posturnya terlihat tegang. Kalika yakin, satu tepukan di bahu akan membuat perempuan tua itu meloncat dari sofa karena terkejut.

Dina sedang menulis sesuatu sambil duduk di tempat resepsionis. Ketika melihat Kalika menuju ke arahnya, ia tersenyum.

"Kak, makanannya baru akan kita antar sebentar lagi. Maaf, sudah lapar ya?"

Matanya menyiratkan kekhawatiran yang jujur, dan entah mengapa, kejujuran dari sorot mata Dina membuat Kalika terkenang pada anjingnya Bruno.

"Oh, tidak apa-apa. Saya mau makan sambil menonton tivi saja."

"Boleh kak. Kebetulan, sudah beberapa hari ini tidak ada tamu yang masuk. Jadi, kakak bebas saja. Tidak ada yang mengganggu. Kalau ada tamu lain, dan tamu-tamu itu melihat ada perempuan secantik kakak di sini, pasti digoda. Dikira pelacur."

Kalika terkejut. Dina, yang dikiranya polos, berbicara tentang pelacur sambil menahan tawa seolah pelacur adalah semacam rahasia yang telanjang, yang seharusnya tak perlu ditutup-tutupi praktiknya, tapi demi sopan santun, tidak boleh dibicarakan secara terbuka.

"Memangnya, tampangku ini seperti pelacur ya?"

Giliran Dina yang terkejut. Ia menyipitkan matanya, lalu memperhatikan Kalika dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Kalau dari penampilan sih lebih mirip para indigo yang suka yoga dan bisa melihat hantu kak. Seperti cenayang. Celananya longgar dan bermotif warna-warni. Kaos putih dengan tulisan 'live by the sun, love by the moon', sendal bertali ala prajurit Romawi. Tidak salah lagi…"

Dina sering menonton

acara tentang kaum indigo di televisi. Mereka memiliki penampilan yang mirip dengan tamu di hadapannya. Meski ia dididik untuk tidak menilai orang dari penampilan luarnya, instingnya tahu, tamu di hadapannya bukan orang yang biasa-biasa saja meski juga bukan dewi rejeki seperti dugaan Mama Sofia. Masa ada dewi rejeki menjadi manusia, Ma? Dina terkekeh geli ketika mendengar teori konspirasi karangan Sofia. Meski ibu angkatnya itu berusaha meyakinkan kemunculan si tamu, yang muncul begitu saja dari udara kosong, sebagai peristiwa ajaib, ia tak percaya begitu saja. Bagaimanapun, Sofia sudah sangat tua, dan ia bisa saja mulai mengalami penyakit orang lanjut usia : melihat hal aneh yang tidak pernah terjadi, lalu mengarang cerita tentangnya.

"Para indigo itu apa?"

Tawa Dina meledak. Sungguh, tamu yang berdiri kaku di hadapannya, yang dahinya berkerut oleh rasa ingin tahu memang sosok yang tidak biasa. Bukan karena tampangnya yang blasteran, dan dialek bicaranya yang kaku, tapi karena ia bahkan tak tahu apa itu indigo, kelompok yang populer di negeri ini. Seperti orang yang baru datang dari planet di luar angkasa atau dari peradaban kuno saja, batin Dina.

***

Nasi goreng yang ia santap terasa terlalu pedas. Ia berusaha menelan, meski terpaksa juga cepat-cepat meminum es jeruk. Makan malamnya serasa jadi ajang adu ketahanan lidah terhadap rasa pedas meski ia tak punya rekan untuk berkompetisi. Dina menjelaskan tentang keberadaan kaum Indigo. Kalika mendengarkan sambil mencocok-cocokkan penghuni negeri dongeng yang bisa masuk kategori indigo jiks berada di dunia manusia. Para indigo bisa melihat hantu, rasanya para penyihir bisa melihat hantu. Banyak peramal bahkan bisa berkomunikasi dengan arwah orang yang sudah meninggal. Para indigo bisa meramal, para peramal di negeri dongeng pun bisa menyingkap kejadian yang akan terjadi di masa depan. Para indigo bisa merasakan bencana alam atau periatiwa buruk, para cenayang di negeri dongeng pun bisa merasakan keanehan. Bahkan, pergeseran yang terkecil sedikitpun bisa membuat banyak penghuni negeri dongeng heboh sendiri mengomeli ketidakteraturan yang tiba-tiba saja terjadi.

Tidak ada yang istimewa dari para indigo jika mereka dibandingkan dengan penyihir dan peramal dari negeri dongeng.

"Kak, kakak kan tampangnya blasteran. Campuran mana?"

Pertanyaan tentang asal-usul ini, meski Kalika rasakan sebagai pertanyaan usil dari seseorang yang penasaran saja, sudah ia latih jawabannya di depan cermin ajaib di dalam kamar tidurnya.

Mama dari Indonesia.

Bapak dari Krimea.

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul adalah, Indonesia mana? Balkan itu di mana? Jawabannya sudah pula ia persiapkan.

Mama asli suku Melayu, dari sebuah kampung kecil yang sudah tidak bisa lagi saya ingat namanya karena kami tidak pernah berlibur di sana.

Bapak asli Krimea, negeri di wilayah Balkan. Cukup jauh dari sini, dan rasanya tidak perlu dibahas, karena ia sudah menceraikan ibu saya.

Di luar dugaannya, Dina mengatakan sesuatu yang membuat Kalika terpingkal-pingkal dan melupakan pedasnya nasi goreng yang ia santap.

"Mama Sofia, yang punya penginapan ini bilang, kakak adalah penjelmaan dewi rejeki. Padahal kaka berwajah setengah bule, sedangkan dewi rejeki harusnya berwajah cina, atau, minimal keturunan cina. Aduh, dasar orangtua.

Kakak harusnya perhatikan, sikapnya aneh kan? Dia seperti berusaha menunduk-nunduk hormat macam para penjilat. Ia takut tidak mendapat rejeki, bukan karena ia seseorang yang hormat kepada orang lain…"

Tawa Kalika baru lenyap ketika Dina menambahkan informasi penting.

"Saking percayanya dia kepada karangannya sendiri bahwa kakak adalah sosok dewi pembawa rejeki, dia bilang melihat kakak muncul dari udara kosong. Parah ya?"

Kalika mengangguk. Entah mengapa, ia tiba-tiba tak berkeberatan dianggap sebagai dewi pembawa rejeki ketimbang identitasnya sebagai warga negeri dongeng, maupun keberadaan negerinya diketahui manusia. Seluruh penduduk negeri dongeng tahu sifat kemaruk manusia yang gemar memanfaatkan sesuatu untuk keuntungan dirinya. Bagaimana jika negeri dongeng dikudeta? Ah, ia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Dina, kau mau menolongku?"