Wajah seorang perempuan muda berusia enam belas atau tujuh belas tahun muncul di depan pintu terbuka. Dahinya lebar dan alisnya diwarnai hitam yang terlalu pekat.
"Selamat sore, Kak, mau pesan apa untuk makan malam."
Nada bicaranya sopan dan tulus, bukan sopan yamg kadang terasa dibuat-buat, sopan yang ada maunya. Ia juga tak menyunggingkan senyum. Semua ucap dan geraknya ringkas, seolah ingin semua urusannya cepat selesai tanpa basa-basi yang tak perlu.
"Nasi goreng."
"Minumnya?"
"Es jeruk."
Perempuan muda itu membalikkan tubuh. Kalika memperhatikan caranya berjalan yang persis robot dan memutuskan untuk lebih mempercayainya ketimbang si pemilik penginapan. Bukan karena keduanya sama-sama masih muda, dan si pemilik penginapan sudah tua seperti Babushka. Tetapi karena si perempuan muda itu tak suka basa-basi. Orang yang suka berbasa-basi biasanya menyelipkan banyak kebohongan kecil dalam ucapan mereka. Meski si perempuan muda tak memberi tahu kapan makan malam akan siap, ia tahu, makan malam akan diantarkan ke kamarnya pada pukul sembilan belas.
(***)
"Kau terkena racun ilusi Mira."
Sosok yang berumah di jantungnya, jantung yang telah menjelma taman bunga itu, tertawa mengejek. Batin Kalika tak tenang memikirkan kata-kata Babushka. Racun ilusi? Bagaimana caranya Mira memberinya racun ilusi? Apakah racun ilusi itu? Mengapa dadanya seolah disesaki kemarahan kepada Babushka, seolah kemarahannya adakah lahar gunung berapi yang mesti menemukan jalur keluar dari perut bumi.
"Orang muda seperti kau memang menjadi sasaran empuknya untuk dibikin bingung, gila dan dihisap seluruh energimu. Ia mengacaukanmu dari dalam. Kaum penyihir memang bangsat yang tidak bisa dipercaya. Memainkan hukum alam untuk keuntungannya sendiri. Kau tidurlah. Dan, jangan menuruti bisikan di hatimu, apa pun ucapannya."
Seingat Kalika, ia tak pernah mengalami malam seburuk itu. Tubuhnya serasa disesaki sesuatu yang raksasa, yang mendorongnya untuk melakukan banyak hal secara serampangan. Ia ingin berlari ke tengah hutan, ia ingin memukul Babushka, ia ingin mencekik Bruno. Teriakan Babushka yang ditujukan kepada Mira menjadi teriakan yang seolah-olah ditujukan kepadanya.
Jalang.
Pelacur.
Bangsat.
Ia menjadi umpama Mira. Ia dan Mira adalah satu. Bruno, yang telah mencium gelagat aneh, berlari mondar-mandir dari kamar tidur Babushka ke kamar tidur Kalika.
"Aku akan tidur denganmu malam ini."
Babushka membawa selimut tebal, dan bantal miliknya. Setelahnya, ia memeluk tubuh Kalika yang kepayahan menahan panas. Sejurus kemudian, Babushka meniup ubun-ubunnya. Kalika pun mengembara ke negeri mimpi.
(***)
Negeri mimpi selalu benderang meski tak terasa terik. Ia melihat beratus-ratus orang menikmati keindahan aliran sungai. Disana-sini terlihat pepohonan dengan daun sewarna dedunan pada musim gugur ; jingga, kuning, merah marun. Ia berada di ketinggian, tampaknya seperti puncak bukit sebab di seberangnya ia melihat puncak-puncak bukit lain membentuk lengkung di kaki langit.
Di lembah, bunga-bunga yang berwarna-warni bermekaran.
Kalika memandangi sekelilingnya. Ada ratusan orang yang tidak ia kenal. Beberapa mengobrol, beberapa yang lain membaca buku. Ada yang sekadar menikmati pemandangan sepertinya, ada juga yang berdiri menutup mata untuk berdoa. Ia tak kenal satupun wajah orang-orang di sekitarnya, namun, otaknya dengan cepat memindai sekeliling. Orang-orang itu berasal dari berbagai macam suku bangsa, tampak dari warna kulit dan gaya berpakaian yang berbeda-beda. Juga, mungkin berasal dari periode jaman yang berbeda.
Dilihatnya seorang kakek berusia seratus tahun berpakaian ala lelaki di tahun 1930an, sibuk bercerita kepada sekumpulan remaja tentang repotnya harus mengalami perang dunia ke-2. Dialek macam-macam bahasa berlari-larian, saling mengejar di udara, dan tiba di telinga Kalika umpama dengung lebah dalam nada yang berbeda-beda.
Berada di antara orang-orang yang tak dikenalnya itu, membuat Kalika jengah. Tubuhnya mulai berkeringat, pertanda gelisah. Ia mulai celingukan ke segala arah. Jika saja ada pohon yang cukup rendang untuknya duduk dan bersandar… Terus-terusan berdiri membuat punggungnya terasa penat. Ia merasa telah berdiri sendirian terlalu lama, seolah-olah seluruh hidupnya telah ia habiskan di dunia mimpi tersebut.
Betapa anehnya, pikir Kalika, di dalam mimpi ia mengalami sekaligus mengamati. Ia tokoh yang berperan sekaligus menilai. Dan, betapa ingatannya setia menyimpan setiap gambar, gerak, bunyi dari pengalaman tak nyata yang telah lewat selama bertahun-tahun itu.
Memang, Babushka mengatakan, negeri mimpi justru menyajikan pengalaman yang lebih nyata dibanding negeri dongeng, pun negeri manusia. Di negeri mimpi yang selalu siang benderang meski tak terasa teriknya itu, tak ada sesuatu yang tersembunyi, tidak juga niat hati si pemimpi.
"Kalau begitu, niat hatiku tidak jauh-jauh dari ingin duduk, bersandar dan menutup mata untuk tidur. Atau, makan. Atau, bertemu mama lagi."
Babushka tersenyum mendengar ocehannya. Ia hendak bertanya, mengapa Babushka membiarkan ibunya dimakamkan di dunia manusia, dan mengapa Babushka tidak memajang satu pun foto ibunya di rumah. Bahkan, membicarakan namanya-pun tidak. Begitu pula dengan ayahnya, yang tak pernah Kalika ketahui siapa sosoknya. Kadang-kadang, Babushka bahkan mengata-ngatai ayahnya sebagai lelaki tidak tahu diri yang cuma bisa menanam benih tapi tak bisa merawat makhluk yang tumbuh dari benih tersebut.
Ya, Babushka kadang-kadang menganggapnya tak lebih dari tanaman!
Meski Kalika tahu ayahya lelaki tidak bertangggungjawab, ucapan Babushka tetap saja menyayat hatinya, membuatnya terluka dan berdarah meski ia tak pernah menampakkannya. Babushka yang merawatnya sejak ia berusia tujuh hari, dan Babushka juga yang menahannya tetap tinggal di negeri dongeng meski ibunya memaksa untuk membawanya ke negeri manusia. Kalau saja ia dibawa pergi waktu itu, bisa jadi…bisa jadi ia telah mati dan dikubur di suatu tempat yang tidak akan diketahui siapa pun di negeri dongeng.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan belas lewat tiga puluh menit. Perut Kalika mulai keroncongan. Makanan terakhir yang masuk ke perutnya sepotong roti yang diolesi selai kacang. Ia membagi potongan terakhirnya dengan Bruno. Hatinya remuk redam mengingat Bruno, si anjing setia yang berusia sama dengannya. Konon, menurut Babushka, saat Kalika berusia tujuh hari, seekor bayi anjing diletakkan begitu saja di depan pintu rumah. Usia si anjing sama dengan usia Kalika.
"Aku tak sempat menangisi kepergian ibumu. Rumah ini tiba-tiba jadi rumah yang sibuk. Bau popok dan susu formula bercampur aduk dengan suara tangisan. Usiaku sudah tua! Tapi aku mengurusi dua bayi sekaligus. Kukira, Tuhan mengasihiku. Daripada menangisi kepergian ibumu, aku direpotkan dengan urusanmu dan Bruno!"
Kamar tidurnya serasa sesak dan pengap oleh kenangan-kenangan yang membekapnya dari segala arah. Ia pergi dari rumah untuk membebaskan diri, menjalankan misi menjaga manusianya, mencari informasi tentang ibunya… Namun, belum enam jam ia berhasil melarikan diri, kenangan telah mengejar-ngejarnya seolah ia adalah seorang buronan. Kalika menutup matanya. Kenangan dari negeri mimpi, dan ulah sang penyihir Mira masih bermain-main dalam ingatannya. Sesuatu di dalam dirinya tahu, dua ingatan itulah yang akan tetap membuatnya bertahan menjalankan misi hingga selesai, meski ia dicekik rindu untuk pulang ke rumah.