Kilat putih saling menyambar satu sama lain, diikuti suara gemuruh yang menggelegar. Menemani Alite yang masih berdiam diri di ayunan favoritnya sore itu. Entah sudah berapa lama ia duduk di sana, suara dering ponselnya pun tak terdengar meski sudah beberapa kali berbunyi.
Ya, hatinya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Satu jam yang lalu, tak sengaja gadis berusia 27 tahun tersebut mendapati calon suaminya tengah bergandengan mesra dengan wanita lain di sebuah Kafe. Tak hanya itu, Alite kenal dekat dengan sosok wanita yang ternyata adalah kekasih gelap calon suaminya sejak 2 bulan yang lalu.
Hancur rasanya, dunia seperti sudah tak berpihak padanya lagi. Ingin ia mengakhiri hidup yang tak akan berarti lagi untuk kedepannya. Namun, apalah daya? Alite lebih takut membayangkan bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan semuanya pada Sang Pencipta nanti.
Untuk kesekian kalinya ia hanya bisa menghela nafas panjang, melepaskan rasa sesak di dadanya yang sejak tadi berkecamuk dengan emosi dalam dirinya. Perlahan, kepala mendongak ke atas berharap akan ada angin yang mampu meniup kegundahan hatinya jauh-jauh.
"Aaaarrrgghhh!" teriaknya dengan lantang.
Tik ... Tik!
Tetesan air dari langit tiba-tiba turun mengenai wajahnya yang tak ber-make up. Bukan segera lari mencari tempat untuk berteduh, Alite justru sengaja untuk lebih lama duduk di atas ayunan. Membiarkan tubuhnya terguyur oleh derasanya air langit yang semakin banyak turun ke bumi.
"Apa salahku? Kenapa? Kenapa harus dia yang kamu jadikan wanita penggantiku? Aku mencintaimu Der! Bagaimana aku akan bisa melupakanmu? Hiks!" teriaknya dengan amarah, bahkan air mata pun tak telah bersatu dengan ribuan air langit yang sudah membasahi wajahnya.
Lima tahun lamanya Alite mengenal dan menjalin hubungan dengan Derry, selama itu pula ia masih sabar untuk menunggu kepastian dari pria yang sudah berhasil mencuri seisi hatinya.
Hingga akhirnya, enam bulan yang lalu disaat Alite tengah menghadiri acara ulangtahun temannya. Tiba-tiba saja Derry datang membawakan sebuah cincin berlian, tak hanya itu ... Derry mengajaknya untuk segera menikah dalam waktu dekat.
Cincin yang kini masih terpasang di jari manisnya adalah sebuah pengikat yang Derry berikan untuknya, sebagai penanda jika dirinya sudah ada yang memiliki.
"Cih, pantas saja Derry meninggalkanmu. Lihat dirimu, jelek ... tidak modis. Apa yang bisa kamu banggakan dari dirimu sendiri Lit? Huhhh! Bodoh!" gerutunya ketika melihat pantulan dirinya pada genangan air di tanah.
Duarrr!!
Suara petir terdengar begitu keras hingga membuat gadis berusia 27 tahun itu tersentak, Alite takut dengan suara petir namun tidak untuk kali ini. Ia memaksa dirinya untuk tetap berada di atas ayunan, bodoh memang.
Namun tidak ada yang bisa menyalahkannya saat itu, dirinya benar-benar sedang hancur dan tidak ada yang bisa mengendalikannya. Apalagi ia hanya hidup seorang diri, Ayahnya meninggal saat usianya masih 15 tahun.
Sedangkan Ibunya, ia tak tau dimana keberadaannya. Jangankan kenal, melihat fotonya saja ia belum pernah. Mendiang Ayah pernah bilang, jika mereka tidak perlu mencari sosok wanita tersebut jika tidak mau membuka luka lama yang sampai detik-detik terakhirnya masih sangat melukai hati Ayah.
Entah apa yang sudah Ibunya lakukan terhadap mereka, yang jelas Alite tidak ada petunjuk untuk bisa menemukan sosok wanita yang sudah mengandung dan melahirkannya.
"Aku pikir kamu akan menjadi tempat bersandarku Der, aih ... Aku terlalu berharap denganmu. Aku mencintaimu, tapi aku tidak ada upaya untuk membuatmu kembali dalam pelukku Der. Setidaknya terimakasih karena sudah membuatku merasa nyaman dalam waktu 5 tahun ini, berat untuk aku mengatakan ikhlas. Tapi akan aku coba," gumamnya dengan lirih.
Hatinya terlalu sakit, namun Alite memaksakan bibir mungilnya untuk tersenyum meski terlihat kecut. Setelah terdiam beberapa menit, dengan bersusah payah ia pun mencoba untuk berdiri. Melangkahkan kedua kakinya meski tanpa tujuan yang pasti.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk bergegas pergi dari sana, sementara langit sore itu sudah semakin gelap bersama rintik sisa hujan yang membasahi tubuhnya untuk beberapa waktu lamanya.
Tak ada sedikitpun angan untuknya menuntun ke mana ia akan melangkah, jarak kontrakan miliknya pun masih jauh dari tempat ia berpijak saat itu. Mungkin orang lain akan berpikir aneh saat melihatnya, namun ia tak perduli dengan penilaian orang lain.
Baginya, sudah tidak ada lagi yang bisa ia sembunyikan dari siapapun. Dirinya sudah hancur dan tak ternilai lagi, kalimat pujian pun terasa sudah tidak pantas untuknya dapatkan.
Dengan tubuh yang sudah menggigil kedinginan, kedua kakinya terus melangkah ditengah jalanan kecil yang telah sepi tanpa lalu lalang satu pun kendaraan yang melintas.
"Kenapa? Kenapa Tuhan seperti tak pernah mau membiarkan aku untuk bahagia sebentar saja? Kenapa ini semua terjadi padaku? Bagaimana aku akan bisa melanjutkan sisa perjalananku di dunia ini? Sementara aku hanya wanita pembawa sial untuknya, apa aku juga akan menjadi wanita pembawa sial untuk yang lain? Arrrgghh! Aku benci diriku," serunya di sepanjang jalannya.
Cacian yang terlontar dari mulut Derry seakan kembali terlintas dalam benaknya dan terus menghantuinya untuk semakin membuatnya terpukur dalam keadaan dan menyalahkan dirinya yang membenarkan jika ia tidak lebih dari wanita pembawa sial.
Apalagi sejak kecil yang tidak pernah melihat wajah ibunya, Alite menganggap Ibunya pergi meninggalkan ia dan mendiang Ayah karena keberadannya yang sudah menyusahkan Ibunya. Kemudian di usianya yang baru menginjak 15 tahun harus kehilangan sosok panutan yang selama ini menjaganya.
Tidak jauh karena pengaruh atas keberadaannya yang selalu membawa sial untuk orang-orang disekitarnya. Dan siang ini, ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri pria yang hampir menajdi suaminya bercumbu mesra dengan wanita lain.
Apa yang Derry katakan terhadap dirinya memang benar, ia tak bisa membahagiakan orang-orang di sekelilingnya. Bahkan saat Derry tengah berusaha untuk mencumbunya, Alite secara terang-terangan menolaknya sampai akhirnya ia harus ditinggalkan begitu saja meninggalkan luka yang bertubi-tubi.
"Andai saja, malam itu aku menyerahkan semuanya. Mungkin kamu masih denganku saat ini, Der! Aku bodoh, argh!" serunya seraya menendang kerikil hingga terlempar jauh ke arah depan sana.
Tak lama kemudian terdengar suara hantaman yang lumayan keras dari jaraknya berdiri saat ini, mungkin hanya 20 meter di depan sana. Penglihatan terhalang oleh kabut putih setelah hujan sejak siang hari.
"Jadi kau yang membuat batu kecil itu melayang hingga menghantam kaca mobilku?" tanya seorang pria yang sudah berdiri di depan matanya dengan sebuah payung hitam yang dibawanya.
"Maksudmu?" tanyanya tak mengerti, namun seketika Alite teringat dengan ulah kakinya yang menendang batu tadi. "O-oh itu, itu ... Aku bisa jelaskan, aku minta maaf," imbuhnya dengan sedikit gugup.
"Bagus jika kau mengerti, sekarang aku ingin kau ... Eum, huh! Sepertinya kau sedang mengerjaiku dengan seperti ini? Kau pikir aku bisa percaya denganmu? Cih, maaf anak kecil ... kau boleh saja menipu banyak pria di luaran sana. Tapi tidak denganku, kau mengerti?"
" ... "
"Dalam hitungan ke 3 kau tidak membuka mata, maka aku akan melepasmu. Satu ... dua ... "
Brakk!!!