Sebuah tangan kekar mendorong tubuh Derry hingga membentur tembok bangunan kontrakan. Frans tiba-tiba muncul tepat sebelum Derry melakukan hal senonoh pada Alite. Hampir saja, mungkin jika telat 1 detik saja tidak tau apa yang akan terjadi nantinya.
"Nona, masuklah! Kunci pintu dari dalam, jangan buka sebelum saya memanggil Nona," ujar Frans dengan datar, melepas jas miliknya untuk menutupi tubuh Alite yang hampir saja terbuka.
"T-terimakasih Tuan, Frans!"
Alite pun masuk ke dalam kamarnya dan segera mengunci dari dalam. Ia memilih untuk duduk di balik pintu dengan tubuh yang masih gemetar. Tak menyangka Derry akan melakukan hal sekeji itu terhadapnya, apalagi menyebutnya sebagai wanita hina yang dengan sukarela melayani pria di luar sana.
Sungguh, hatinya terasa sakit seperti sayatan silet yang secara perlahan menguliti tubuhnya. Gadis berusia 27 tahun tersebut hanya bisa menangis, meatapi dirinya yang tak pernah tenang meski hanya sejenak.
Entah apa lagi yang akan orang lain katakan terhadap dirinya. Apalagi, ia keluar dari tempat kerjanya pun bukan lain adalah ulah tangan rekan kerja yang tak bertanggungjawab. Memfitnah dirinya seolah telah menggoda sang atasan yang jelas-jelas audah menikah.
Padahal Alite tidak tau apa-apa, dia bekerja secara profesional sebagai orang kepercayaan yang dimandatkan untuk selalu turut dalam setiap acara atau pekerjaan di luar kantornya. Namun sayang, karena cemburu atas posisi yang didapatkannya membuat salah satu rekan kerja buta hati hingga melakukan berbagai macam cara untuk menyingkirkannya.
Tok ... Tok ... Tok!
"S-siapa?" tanyanya ketakutan.
"Ini saya, Nona! Laki-laki itu sudah pergi, Nona sudah aman sekarang ... " sahutnya dari balik pintu.
Cklek!
Dengan perlahan Alite muncul hanya bagian kepalanya dan menggunakan kedua matanya ubtuk menyapu teras kontrakan memastikan benar tidak ada Derry di sana. Ya, memang benar hanya ada Frans yang saat ini berdiri di hadapannya dengan wajah lebam bekas pukulan.
Tanpa berpikir panjang, Alite pun memintanya untu duduk di kursi yang ada di teras. Sementara itu, ia kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil kotak P3K yang selalu ia simpan di dalam laci kecil miliknya.
Saat Alite kembali untuk mengobati luka Frans, ia tak melihat sosok Frans ada di kursi yang sudah ia tunjukkan beberapa waktu lalu sebelum meninggalkannya untuk mengambil kotak P3K tersebut.
'Dimana dia?" batinnya kebingungan.
"Maaf, Nona! Barusan ada telepon dari Perusahaan," ujarnya membuat Alite tersentak ketika tiba-tiba muncul sosok Frans dari sisi kiri bangunan yang memang ada gang kecil untuk pejalan kaki. Untung saja kotak putih dalam genggamannya tidak jatuh berhamburan.
Alite hanya mengangguk dan melangkah maju mendekat ke arah Frans yang sudah duduk di kursi besi teras kontrakannya. Perlahan ia mulai mengobatinya dengan membersihkan luka dengan cairan alkohol.
Ternyata ada beberapa bagian yang berdarah, namun sudah mengering karena luka sangat kecil. Ngilu rasanya, membayangkan jika itu terjadi pada dirinya. Namun Alite tak berani menanyakan lebih pada Frans, khawatir akan kembali membuat emosinya terpancing.
"Maaf, Tuan Frans! Karena aku membuat Tuan harus terluka seperti ini. Terimakasih," ucapnya dengan lirih.
"Untuk sementara, sebaiknya Nona harus meninggalkan tempat ini ... "
"Kemana? Aku sudah tinggal di sini selama hampir 10 tahun, susah senang inilah tempat untukku berlindung dari teriknya matahari dan dinginnya hujan,"
"Hanya sementara, saya yakin laki-laki itu pasti akan kembali,"
"Mau bagaimana lagi? Siap tidak siap aku harus menghadapinya. Saya ... di sini saja," jawabnya setelah terdiam beberapa saat.
"Nona,"
"Saya bisa sendiri, Tuan Frans. Pergilah! Bukankah anda bekerja untuk Tuan Sean? Sekali lagi, terimakasih!"
Tanpa memberinya kesempatan, Alite bergegas masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Tubuhnya masih bergetar mengingat perlakuan Derry terhadapnya yang seperti seekor singa hendak memangsa-nya.
Namun tidak ada pilihan lain untuknya saat ini, ia tak ingin terus bergantung pada orang lain. Apalagi menjadi beban untuk orang yang baru pertama kali dikenalnya.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki berderap menjauh dari pintu kontrakan. Perlahan gadis berusia 27 tahun itupun mengintip dari tirai jendela di dekatnya. Frans melangkah pergi, meski ada keraguan yang terlihat dari gestur tubuhnya.
Setelah Frans menghilang, Alite langsung mengganti pakaiannya yang robek akibat ulah Derry. Untung saja jas hitam milik pria berusia hampir 40 tahun itu berhasil menutup bagian tubuhnya yang terbuka.
"Aku harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya aku harus pergi ... " gumamnya tanpa disadari.
Dengan cekatan kedua tangannya bekerja mengeluarkan pakaian dari dalam lemari dan memasukkannya ke dalam tas hitam yang sudah usang. Tas yang sudah menemani perjalanan hidupnya yang sampai saat ini masih belum menemukan titik terang untuk menjadi orang sukses.
Sebuah foto berfigura kecil tak luput dari gapainnya, di mana terlihat seorang pria berkumis tipis sedang mamangku seorang gadis yang saat itu berusia sekitar 5 tahun.
Senyuman yang hangat, pelukan lembut kala itu bahkan dapat Alite rasakan meski sudah berpuluh tahun lamanya. Masa di mana ia tidak mengerti arti perjalanan hidup yang berliku. Masa di mana semua waktu akan baik-baik saja selama ada Ayah yang terus bersamanya.
***
Warna jingga nampak menghiasi langit-langit di atas sana, berhias kawanan burung yang hendak pulang ke peraduannya. Angin sore berdesir menyibakkan rambutnya yang terurai panjang.
Sudah dua jam lamanya ia duduk di sana, menghela nafas beberapa kali untuk menenangkan hatinya yang masih bercampur aduk. Entah kemana ia akan melangkah, tidak ada sanak saudara atau teman yang ia miliki di Ibukota.
Namun keadaan memaksanya untuk segera meninggalkan kamar sepetak yang sudah menjadi tempat berlindungn dari hujan selama 10 tahun belakangan.
Drrrtt!!
"Huhh!!! Syukurlah, setidaknya masih ada tempat untukku berteduh ... "
Dengan cepat diraihnya tas hitam yang sudah usang itu, melangkah ke arah barat dengan pasti melewati kerumunan orang yang tengah menikmati suasana sore di taman kota yang terhampar luas.
Canda dan suara tawa yang riuh menggetarkan hatinya untuk merindukan kenangan di masa kecilnya dulu. Tapi semua sudah berlalu, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk bisa memutar waktu yang akan membawanya ke masa itu.
Setelah berjalan kaki sekitar 2 km, Alite memasuki gang sempit berdinding tinggi. Hanya bisa dilalui oleh satu orang, sepi dan mungkin akan menyeramkan jika waktu sudah cukup larut malam. Untunglah tidak jauh dari sana, bangunan rumah berlantai 2 sudah terlihat di depan matanya.
Sesuai dengan gambar yang dilihatnya dari sebuah foto yang diterima beberapa waktu lalu. Bangunan kost yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggalnya yang baru. Di mana ia juga akan membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Setelah menemui sang pemilik kost dan menyepakati pembayaran serta fasilitas yang ada, Alite pun diperbolehkan untuk segera menempati sebuah kamar yang berada di lantai atas. Untunglah masih ada satu kamar di atas, setidaknya ia akan bisa menikmati langit malam dari teras kamarnya yang tak seberapa.
"Syukurlah, masih ada kamar untukku ... baiklah, Alite! Sekarang kita mulai semuanya dari awal. Lupakan pria itu, kamu sudah terbiasa sendiri bahkan saat usiamu 15 tahun. Menyedihkan, bukan?" gumamnya lirih, menatapi dirinya di depan cermin besar yang ada di kamarnya.
Tak ingin membuang banyak waktunya, Alite segera merapikan kamar dan memasukkan pakaiannya ke dalam lemari kecil yang ada di bawah meja di sudut kamarnya.
Sebuah kipas besi bertengger di tembok kamar memghembuskan angin yang lumayan kencang, setidaknya mampu mengurangi rasa panas di dalam tubuhnya yang sudah berkeringat. Selama hampir 2 jam lamanya ia berkecamuk dengan kesibukkannya membenahi rumah kecil.
"Huhhh!!! Akhirnya ... Lumayan rapih, setidaknya aku bisa tidur nyenyak malam ini," decaknya seraya bertolak pinggang menyusuri setiap sudut ruangan yang sudah tertata rapih.
Tok ... Tok ... Tok!
"Siapa?"
Tok ... Tok ... Tok!