Chereads / Sebait Rindu / Chapter 2 - MENGINAPLAH SEMALAM!

Chapter 2 - MENGINAPLAH SEMALAM!

***

"Bagaimana?" tanyanya.

"Demamnya masih tinggi, saat ini beberapa staff-mu sedang menggantikan pakaiannya ... " jawabnya dengan tenang, pria berusia 37 tahun itu segera menyerahkan segelas minuman berwarna gelap padanya.

"Dia kah yang kau pilih untuk menggantikan Elora saat ini?"

Seketika suasana kembali menjadi hening, tidak ada jawaban atas pertanyaan yang terlontar dari rekannya saat itu. Hembusan nafas yang lumayan berat setidaknya bisa menggambarkan bagaimana keadaan hatinya tanpa harus mengeluarkan statement dari mulutnya.

"Mungkin aku baru saja bisa melupakan nama itu dalam pikiranku Joe. Tapi ... ya, kau mengingatkannya kembali,"

"Jadi aku yang bersalah kali ini? Baiklah, aku minta maaf padamu, Sean! Sungguh aku tidak ada niatan untuk membuatmu mengingatnya ... "

"Pergilah, sebelum aku menghabisimu saat ini juga Dokter sialan!" makinya tanpa ekspresi di wajahnya yang dingin.

"Terimakasih untuk minumannya. Oh ya, gadis itu seprtinya lumayan untuk menggeser Elora," bisiknya dengan lirih, sebelum akhirnya Joe meraih jas putihnya dan melenggang pergi keluar dari ruangan itu.

Pria berusia 37 tahun itu masih tetap diam dengan segelas wine yang belum diteguknya sejak tadi. Seketika ingatannya kembali berputar pada sosok wanita yang sudah mencuri perhatiannya sejak 4 tahun lamanya mereka bersama.

Elora, gadis berperawakan tinggi semampai dengan rambut pirangnya yang panjang. Membuat mata pria manapun tidak akan sanggup berpaling darinya, termasuk Sean yang selama 4 tahun selalu bersamanya.

Tingkahnya yang manja menjadi pusat perhatiannya tersendiri untuk Sean, kriteria wanita pilihannya ada semua pada diri Elora tanpa terkecuali sedikitpun. Kedekatannya membuat keluarga dari kedua belah pihak menaruh harapan tinggi untuk mereka segera meresmikan hubungan ke jenjang yang lebih serius.

Dan itu sudah tercetus dalam rencana Sean sebagai pria yang menaruh rasa lebih pada wanita yang sudah menaruh banyak sekali kebahagiaan dalam hidupnya. Namun takdir berkata lain, ketika kenyataan pahit yang harus ia ketahui dari mulut ke mulut.

"Glek! Prangg!"

Seketika gelas kaca dalam genggamannya sudah melayang menghantam tembok di samping kirinya yang hanya berjarak 20 meter dsri tempat duduknya saat ini. Kedua matanya melotot dengan sempurna, diikuti dengan kepalan kedua tangannya yang memperlihatkan otot-otot besarnya.

Tok ... Tok ... Tok!

"P-permisi Tuan! N-nona sudah bangun," ucapnya dengan gugup.

"Aku akan ke sana dalam waktu lima menit!" jawabnya tanpa menoleh.

"B-baik Tuan,"

Dengan cepat seorang staff tersebut pun segera menutup pintu ruangan dan melenggang pergi dengan jurus langkah seribu. Sementara Sean masih menyandarkan kepalanya dan sedikit mengatur nafas yang sempat tak beraturan karena amarah akan keadaan yang menimpanya.

Benar saja, dalam waktu lima menit yang dijanjikan pria berpostur tinggi tersebut sudah berdiri di depan pintu kayu yang penuh dengan ukiran indah di sana. Seorang staff yang berjaga di depannya pun segera membuka pintu tersebut untuk mempersilakan majikannya masuk menemui gadis yang sore itu dibawa pulang dalam keadaan tak sadarkan diri.

Tanpa diminta, dua staff lainnya yang sejak tadi menjaga Alite segera membungkukkan sedikit tubuhnya sebelum akhirnya mereka perlahan mundur dan meninggalkan keduanya di sana.

"Tidak perlu bangun! Kau masih lemah," ucapnya segera menahan tubuh mungil Alite yang sedang berusaha untuk segera mengatur posisinya di atas ranjang besar itu.

"K-kenapa kau membawaku ke sini?"

"Aku tidak tau rumahmu," jawabnya singkat.

Sejenak Alite hanya terdiam, memandangi ke sekeliling ruangan yang bernuansa gold and white dengan perabotan mewah seperti di televisi yang sering ia lihat ketika ada orang kaya yang sedang memamerkan rumah barunya.

Kamar yang ia tempati saat ini adalah 10x lipat dari kontrakan yang ia sewa selama beberapa tahun kebelakang.

'Astaga! Aku pikir kamar semewah ini hanya ada di televisi. Ternyata memang benar adanya, ya Tuhan ... bahkan aku sedang berada di atas tempat tidur mewah ini ... ' batinnya tak percaya. Untuk beberapa kali Alite mencoba menyadarkan dirinya yang masih antara percaya dan tidak atas keberadaannya saat ini.

Tiba-tiba saja sebuah telapak tangan telah menempel di dahinya yang masih sedikit pusing akibat kehujanan selama 3 jam lebih lamanya. Tidak hanya itu, kini jantungnya pun kembali berdetak dengan kencangnya ketika kedua mata mereka tak sengaja saling bertemu sama lain.

"Kau masih demam, istirahatlah!"

"Tapi aku mau pulang," ujarnya kemudian.

"Tidak sekarang! Menginaplah semalam,"

"Tapi,"

Belum sempat Alite meneruskan kata-katanya, Sean telah lebih dulu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Tentu saja Alite kesal, namun apa yang Sean katakan ada benarnya. Tubuhnya masih terasa lemah, tidak ada daya untuknya menggeser kedua kakinya supaya turun dari atas ranjang.

Tidak ada pilihan lain untuk Alite saat ini, ia hanya duduk bersandar pada kepala ranjang yang terukir rapih dengan bentuk bunga bermekaran. Sangat cantik, ditambah dengan suasana lampu duduk di sisi kanan dan kirinya.

Ia hanya menghela nafas panjang, memejamkan kedua matanya untuk sedikit membebaskan diri dari masalah-masalah yang kini dihadapinya. Ya, semua permasalahan dalam hidupnya seketika datang beramai-ramai untuk mematahkan mentalnya yang sedang terpuruk.

Gadis berusia 27 tahun itu hanya terisak pilu, merasakan sakit dalam hatinya.

"Aku tidak tau, apa pria itu benar tulus membantuku. Aku rasa di dunia ini sudah tidak berpihak padaku, semua membenciku, menjauhiku ... Seperti segan untuk menyentuhku,"

"Ayah, jemputlah aku! Aku lelah," isaknya hingga tak bersuara.

Teringat jelas di dalam kepalanya, bagaimana dulu ketika mendiang Ayahnya masih ada. Alite kecil selalu diperlakukan selayaknya tuan puteri yang negitu disayangi. Meski hidup pas-pasan, bahagia dalam dirinya terasa begitu jelas.

"Kenapa Nak? Sini cerita dengan Ayah," panggilnya dengan lembut seraya menatik tubuhnya ke dalam peluknya yang hangat.

Dan seketika kegundahan dalam hatinya hilang begitu saja, digantikan dengan ketenangan juga kehangatan yang tak terkira. Saat itu, Alite memang sedang bersedih. Semua teman sekolahnya secara terang-terangan menjauhinya, bahkan memanggilnya sebagai anak dari wanita yang tidak terhormat.

Anak pembawa sial, kata-kata itulah yang seolah sudah tidak asing didengarkan oleh kedua telinganya. Caci maki yang bertubi-tubi membuat Alite kecil perlahan menarik diri dari lingkungan disekitarnya.

Namun Ayah, seperti tak ada lelahnya untuk terus meyakinkan kepada putrinya. Bahwa dunia akan baik-baik saja selama mereka selalu bersama. Senyum manis di bibirnya yang tebal seperti sinat mentari yang berhasil menghangatkan tubuhnya dati dinginnya hati yang diselimuti rasa sedih.

"Putri Ayah yang cantik, Ayah membesarkanmu penuh dengan kasih sayang. Apapun akan Ayah lakukan demi kamu, Nak! Karena kamu begitu berharga untuk Ayah, jangan dengarkan kata mereka di luar sana. Karena hidup kita bukan mereka yang menjalani, semua akan baik-baik saja selama kita terus bersama. Dan Ayah, Ayah janji ... akan selalu ada untukmu, sampai kapanpun!"

"Ayah ... Maafkan aku yang selalu membuatmu lemah. Aku tidak sekuat Ayah, tapi aku akan berusaha untuk menjadi gadis kuat seperti yang Ayah katakan. Jangan tinggalkan aku, Yah!" ucapnya terisak, dipeluknya tubuh Ayah dengan erat bersama suara hujan yang semakin turun dengan derasnya mengguyur rumah kayu kecil yang sudah menjadi tempat berteduhnya sejak dulu.

Sejak saat itu, Alite berusaha untuk membuang egonya. Ia selalu memasang badan dan memberikan ruang untuk membatasi dirinya dengan orang lain. Tak perduli caci makian yang dilontarkan untuknya, Alite yang selalu ceria berubah menjadi gadis dingin yang selalu menutup dirinya.

"Brakkk!"