Shila keluar dari ruang ujiannya dengan wajah tertekuk. Ujiannya hari ini pasti nilainya jelek karena semalam dia tidak sempat membuka buku. Huft, salahkan kedua orang tuanya yang menetapkan tanggal pernikahan tanpa berdiskusi dulu dengannya. Dengan langkah gontai dia keluar gedung dan berencana pergi ke caffe terdekat untuk menyegarkan pikirannya.
Masih ada satu ujian. Setelah itu benar-benar selesai. Shila masuk ke dalam caffe dekat kampus. Memesan cake dan segelas es krim. Dia menikmati makanannya sembari membuka ponselnya. Semua materi bisa ia baca lewat ponsel. Selama kuliah dia tidak pernah menulis sedikitpun di kertas, lebih suka menulis di macbook. Sayangnya dia terlanjur gugup pagi ini sampai tidak menemukan macbooknya.
"Di kamar Danial," gumam Shila baru sadar akan hal itu. Barang-barangnya masih banyak yang tertinggal di kamar tersebut. Sialan sekali.
Seusai menghabiskan pesanannya, Shila segera kembali ke kampus. Menyapa beberapa orang dengan ramah. Rambut kecoklatannya yang tergerai bergerak seirama dengan langkah kakinya. Sampai dia masuk ke gedung A. Tempat ujian kedua dilakukan. Kali ini dia lebih siap dibanding ujiannya pagi ini.
Dia duduk di bangku paling ujung dan memilih di sisi kiri. Ini tempat terbaik untuk berpikir. Ujian dimulai sepuluh menit setelah ia duduk di kursinya. Itu karena sang dosen ada tamu di ruangannya, jadi terlambat masuk ke kelas.
Shila mengerjakan semua soal dengan percaya diri. Dia memang tidak cukup cerdas tapi, karena dia belajar tadi dia bisa mengerti beberapa hal. Apalagi mata kuliah bahasa Prancis ini adalah kesukaannya. Dia cukup mahir menggunakan bahasa tersebut atau bahasa lain seperti Korea dan terakhir dia tengah belajar bahasa Indonesia. Alasannya karena dia ingin pergi ke Bali dan menurut beberapa temannya yang pernah datang ke tempat itu, di sana akan mendapat harga murah kalau menggunakan bahasa Indonesia. Dia jadi semakin bersemangat belajar. Berharap sebelum usianya 20 tahun dia bisa ke tempat indah itu.
Tapi, sekarang dia tidak yakin. Setelah memiliki seorang suami dan statusnya berubah menjadi istri calon CEO. Dia tidak bisa lagi membayangkan berjalan-jalan sendirian berkeliling tempat yang ia impikan. Apalagi Danial tampak seperti orang yang tidak menyukainya. Istri yang baik akan meminta izin pada suaminya, tapi suaminya sejahat itu memperlakukannya. Jadi, bagaimana dia bisa pergi?
"Selamat liburan," ujar profesor dengan senyum cerahnya kepada Shila yang baru mengumpulkan kertas ujiannya. Shila tersenyum ramah menerima ucapan tersebut dan melangkah keluar ruangan meninggalkan beberapa temannya yang bertahan dengan otak mulai jenuh.
"Oh, Danial!" panggil Shila saat melihat lelakinya melangkah keluar gedung F. Shila berlari mengejarnya berharap bisa numpang di mobil Danial sampai rumah. Sampai di sebelah lelaki itu Shila melangkah mengatur napasnya yang tersenggal.
"Kamu akan kembali ke rumah?" tanya Shila memastikan. Oh, sial sekali. Danial melangkah dengan langkah lebarnya membuat Shila harus kembali mengejar.
"Pulang sendiri, mobilku akan rusak kalau kamu tumpangi," ujar Danial. Shila berdecak kesal dan menghentikan langkahnya. Tatapannya dibuat seolah hendak melubangi punggung pemuda di depannya itu. Pemuda yang terus berjalan tanpa peduliĀ akan kehadirannya.
Shila benar-benar menggunakan bus dan sampai di rumah 30 menit setelah Danial tiba di mension. Bahkan setelah Shila tiba di rumah itu, Danial di ruang makan hanya mengabaikannya. Tidak menegur saat gadis itu menuju ke kulkas dengan napas tersenggalnya dan meneguk air minum tanpa ingat untuk duduk atau sekedar menuangnya dalam gelas.
"Jorok," gumam Danial tanpa mengalihkan tatapannya pada macbook ditangannya. Shila yang baru saja meneguk separuh isi air minum mengernyit mendengar komentar tajam Danial.
"Jorok? Sayangnya kamu pernah mencium gadis jorok ini," telak Shila dan pergi ke kamarnya menenteng tas selempang dan botol minum di tangannya. Danial menatap tidak suka atas ucapan telak Shila. Dia juga tidak akan sudi mencium orang asing yang sayangnya dijodohkan untuk menjadi istrinya.
Menikah setelah lulus kuliah bukanlah tujuan Danial. Masih ada banyak hal yang ingin ia coba. Keliling dunia untuk mempelajari bisnis dan membangun relasi. Atau dia ingin menyegarkan pikiran di negara lain demi sebuah kesiapan membangun perusahaan. Bukan malah terikat pada hubungan yang tidak ia duga seperti ini.
Ponselnya bergetar membuatnya menghentikan pemikirannya. Dilihatnya layar ponsel menunjukkan nama sang kakak. Betapa malas dia mengangkat panggilan dari laki-laki tersebut. Kalau saja tingkahnya sedikit merendah dan tutur katanya tak setinggi langit dia mau-mau saja bersaudara dan berhubungan baik dengan Dave.
"Ada apa?"
["Adik idiotmu membuat masalah. Selesaikan itu, berengsek!"]
Danial memejamkan matanya. Ingin rasanya menonjok wajah orang yang baru saja berbicara seenaknya. Apalagi menyebutnya dengan kata kasar seperti itu. Lagipula masalah apa yang dilakukan adiknya? Apa hubungannya dengan dia. Bukankah mereka memiliki banyak maid dan pengawal, apa orang sebanyak itu tidak memiliki otak hanya untuk mengawasi remaja 16 tahun?
Dia pergi keluar rumah bersiap pergi menuju mension keluarganya. Namun, belum lima langkah dari pintu seorang remaja berlari menabraknya. Danial terkejut melihat remaja yang merupakan adiknya itu jatuh terjengkang ke belakang akibat menabraknya.
"Ada apa?" tanya Danial setelah Andy bangun dan mengusap-usap pantatnya kesakitan.
"A-aku ... biarkan aku tinggal di sini kak," ujarnya dengan ragu. Danial mengernyitkan dahinya keheranan. Ini bukan rumahnya, ini rumah dia dan rumah Shila. Meskipun semuanya dia yang membeli tapi, tetap saja miliknya juga milik Shila.
"Kenapa?" tanya Danial.
"Dave akan membunuhku kalau aku kembali ke rumah. Aku hanya tidak sengaja merusak komputernya," cicit Andi membuat Danial mengembuskan napasnya. Paham dengan apa yang terjadi. Pasti Andi bosan dan mencari perhatian lagi, sayangnya hanya ada Dave di rumah. Kesalahan besar kalau mencari perhatian di depan seorang Dave, terlebih tangan ajaib Andy sangat meresahkan.
"Aku antar pulang," ujar Danial. Dia membuka pintu mobilnya memberi tatapan memerintah remaja pubertas yang menciut dan akhirnya menurut.
"Mau kemana?"
Shila yang mendengar sedikit keributan keluar dari kamarnya. Menatap penasaran pada Danal yang baru saja menutup pintu mobil. Sepertinya seseorang duduk di kursi sebelah kemudi. Shila mendekat, merunduk agar bisa tahu siapa yang duduk di sana.
"Bukan urusanmu," jawab Danial membuat Shila berdecak sebal. Sebelum tahu siapa yang duduk di dalam mobil dia memilih membuka pintu mobil tersebut. Tanpa permisi.
"Oh! Hai Andi!" sapanya riang begitu melihat siapa yang duduk disana. Tampak duduk dengan sangat tidak nyaman dan hanya tertunduk meremat jemarinya. Shila yang menyadari bahwa remaja tersebut tidak sedang dalam kondisi baik mengangkat bahunya dan memandang Danial yang baru saja masuk ke dalam mobil.
"Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Danial melihat Shila sudah duduk tenang di belakang kemudi. Yang ditanya melempar cengiran dan malah menyandarkan mengenakan sabuk pengamannya. Danial menatapnya tidak suka, tapi enggan mengusir gadis tersebut. Hanya buang-buang waktu.
"Gunakan sabuk pengamanmu!" titah Danial pada Andi yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Remaja itu mendongak dan menatap dengan tatapan anak anjingnya. Memohon pada sang kakak agar tidak membawanya pulang ke rumah.
"Please..." rayu Andi tak digubris Danial. Kakak laki-lakinya itu justru menjalankan mobilnya membuat Andi pada akhirnya menurut untuk mengenakan sabuk pengamannya.
Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan di dalam mobil, hal tersebut membuat Shila cukup jenuh. Tapi, dia tahu suasana hening itu karena dua orang di depan tengah bertengkar. Entah untuk alasan apa, Shila tidak tahu. Sepertinya itu hal yang besar, terlihat dari wajah gugup Andi atau wajah kaku Danial. Ah, Danial memang selalu berwajah sama setiap saat. Seperti tidak memiliki jiwa saja.