Chapter 24 - Luka

"Nembak Kak Mark?" tanya Keysa kaget. Ia tak menyangka gadis yang terlihat gugup di matanya menyukai Mark. Mungkin, itu reaksinya karena memang menyukai Mark

"Lo gak tahu sama sekali?" tanya Helen balik.

"Kak Mark sama sekali gak jelasin apapun ke gue," ungkap Keysa.

"Gue yakin Mark lakuin itu buat lo. Lagian sekarang kalian udah tunangan, jadi setidaknya kalian itu terikat," sahut Helen menenangkan Keysa.

"Gue ingin tahu alasan Mark nolak Vaila. Lo tahu apa alasannya?" tanya Keysa menatap Helen berharap.

Helen terdiam. Gadis itu tampaknya berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Keysa.

Sementara, Keysa menunggu dengan perasaan tak menentu. Keysa mengingit bibir bawahnya karena terlalu gugup akan jawaban Helen.

"Helen, gue mohon," ucap Keysa memelas.

Helen menarik napasnya kemudian menghembuskannya perlahan. Ia tak tega melihat wajah memelas Keysa.

"Waktu itu Vaila jelasin ke gue dan Luna, kalau dia nembak Mark. Itu kejadiannya pas lo belum tahu kebenarannya. Sayangnya, Mark nolak dan langsung pergi gitu aja ninggalin Vaila," ujar Helen.

"Artinya, Vaila itu nembak dulu baru ngaku ke kalian ya?" tanya Keysa memastikan.

"Iya kaya gitu. Vaila asalnya gak mau datang ke acara pertunangan lo," ungkap Helen.

"Kenapa?" tanya Keysa terkejut.

"Kay, siapa sih yang gak sakit hati, orang yang disuka tunangan sama sahabat sendiri," ujar Helen. "Gue kalau di posisi Vaila juga akan sakit hati."

"Jadi, tingkah Vaila yang hemat ngomong karena dia sakit hati ya," gumam Keysa sedih. Dirinya merasa bersalah karena harus bertunangan dengan Mark.

"Kay, gue yakin si Vaila pelan – pelan bakal lupain semuanya kok. Lo tahu kan Vaila itu orangnya menepati janji," ucap Helen menenangkan.

"Menapati janji?" Keysa mengerutkan keningnya sembari menatap Helen.

"Dia janji akan berusaha lupain Mark. Semuanya butuh proses, Kay," timpal Helen.

"Gue tahu itu, Len," balas Keysa.

'Termasuk proses menyesuaikan diri sebagai Kaysha,' batin Keysa.

***

Mark membukakan pintu mobil untuk Keysa. Tunangannya masuk tanpa menoleh atau tersenyum padanya.

"Sayang, kamu mau makan dulu?" tanya Mark sembari melirik Keysa sekilas.

Keysa tak mengindahkan ucapan Mark. Gadis cantik itu tenggelam dalam lamunannya sembari menatap lalu lalang jalanan. Teringat ucapan Helen mengenai Vaila yang menyukai Mark.

'Apa Kak Kay bunuh diri karena baru tahu kebenaran ini?' batin Keysa.

'Tapi, motifnya terlalu lemah,' batin Keysa lagi.

Mark berdeham keras agar Keysa menoleh padanya. Untungnya, Keysa buru – buru tersadar, ia menoleh pada Mark.

"Kenapa, Kak?" tanya Keysa bingung.

"Kamu melamun, Kay. Aku dari tadi manggil kamu," ujar Mark tanpa menoleh pada Keysa.

Keysa menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia menatap Mark yang fokus menyetir.

"Aku tadi ketemu sama Pak Dadan dan beliau nerima judul skripsi aku," cerita Keysa senang.

"Tunangan aku sekarang pinter banget ya," celetuk Mark tersenyum tampan.

"Aku gak sebodoh itu, Kak," protes Keysa.

'Gue itu pinter. Kalau Kay gak sepinter gue,' batin Keysa.

"Ya ampun, lucu kalau lagi protes," komentar Mark mengusak surai hitam Keysa. Netranya masih fokus menyetir.

"Kak, rambut aku," kata Keysa merapikan rambutnya.

"Terus apalagi cerita kamu?" tanya Mark penasaran.

"Aku hari ini ketemu sama Helen, terus kita cerita tentang Vaila," ungkap Keysa memperhatikan ekspresi Mark yang tenang.

"Kenapa dengan Vaila, hm?" tanya Mark.

"Helen bilang, Vaila pernah nembak kamu," ucapan Keysa membuat Mark menginjak rem mobilnya mendadak. Beruntung, Mark dengan cepat menahan tubuh Keysa agar tak menabrak dasbor mobil.

Keysa melotot, ia menatap Mark kaget, "Kak, lo mau kita celaka?" tanya Keysa.

Mark dengan cepat mengendalikan dirinya lagi. Lelaki tampan itu terlalu terkejut dengan ucapan Keysa. Ia segera meminggirkan mobil sedan hitamnya.

"Maaf, Kay. Kamu gak apa kan?" tanya Mark panik.

"Aku gak apa, Kak," Keysa dengan berani menangkup wajah Mark yang panik. Teringat sosok Haidar yang selalu menangkup pipinya kalau dirinya dilanda panik.

"Maaf, aku gak sengaja," sesal Mark.

"Kak, aku cuman kaget. Maaf, aku bikin Kakak gak fokus," ujar Keysa tenang.

Mark meraih tangan Keysa, ia mengusap punggung tangan Keysa lembut.

"Sayang…aku gak bermaksud untuk nyembunyiin pengakuan Vaila dari kamu," terang Mark sembari menunduk dalam.

"Terus kenapa?" tanya Keysa.

Mark menunduk dalam, ia menatap tangan Keysa yang ada di dalam genggamannya. Lelaki tampan itu perlahan mengangkat wajahnya dan menatap Keysa intens.

"Aku takut kamu bertengkar dengan sahabat kamu. Aku gak mau ngebuat kamu kepikiran. Aku juga kaget pas Vaila ngaku ke kamu kalau dia suka aku," tutur Mark panjang lebar.

"Vaila gak ngaku ke aku. Dia bilang ke Helen dan Luna, saat itu aku dengar semuanya," ralat Keysa tenang.

"Maaf," ucap Mark singkat.

Keysa menghela napas, ia tak mau mendengar permintaan maaf dari Mark. Seelah mendengar penjelasan Mark, Keysa sadar kalau lelaki itu tak salah sepenuhnya.

"Aku ngerti Kakak gak mau ngomong perihal Vaila. Tapi, lain kali Kakak bilang ya. Bukannya Kakak bilang dalam suatu hubungan harus saling jujur," terang Keysa berusaha mengingatkan ucapan Mark yang terus mengutamakan kejujuran.

"Iya, aku sadar. Ternyata, aku belum jujur sepenuhnya ke kamu," ujar Mark tersenyum tipis.

'Ayo, sekarang jujur. Apa yang lo sembunyiin dari Kak Kay?' batin Keysa.

"Emangnya ada yang kakak sembunyiin dari aku lagi?" tanya Keysa.

Pertanyaan Keysa membuat Mark sedikit panik. Lelaki tampan itu buru – buru menggeleng dengan cepat sebagai balasan.

'Ternyata lo gak bisa jujur ya, Kak,' batin Keysa tersenyum miris.

***

Mark membaringkan tubuhnya yang lelah di ranjang. Lelaki tampan itu menatap langit – langit kamarnya. Mark menarik napasnya perlahan kemudian menghembuskannya. Pikirannya melayang pada pertanyaan Keysa yang bertanya hal ia sembunyikan.

"Maaf Kay…banyak hal yang gue sembunyiin dari lo," gumam Mark.

Mark mengusap wajahnya kasar, ia memang terlihat tenang setiap mengungkit kejujuran. Padahal, hatinya berdebar setiap membahas perihal jujur.

"Nyokap gue yang ada di pesta pertunangan…itu bukan nyokap gue," monolog Mark lirih.

Mark mengambil ponselnya, ia menekan tombol galeri. Kemudian mencari foto wanita yang melahirkannya. Netra Mark berubah sendu saat melihat foto dirinya yang tersenyum senang dalam pelukan sang ibu.

"Aku kangen mamah…" kata Mark lirih.

Mark buru – buru bangkit dari kegiatan tidurnya. Ia mengambil album foto warna putih. Lelaki dengan tinggi semampai itu membuka halaman terakhir.

"Ini foto terakhir kita ya, sebelum kejadian mengerikan itu." Mark mengusap foto yang ada di depannya dengan lembut.

Mark menggigit bibir bawahnya, ia tak mau menangis. Apalagi, ia khawatir kalau sang tunangan mendengar suara tangisannya. Mark tak bisa berbuat apapun dengan kejadian mengerikan itu. Mark mencubit tangannya sendiri agar dirinya tak menangis. Metode ini selalu berhasil untuk dirinya.

Suara getaran ponsel, mengalihkan fokus Mark. Ia mengambil ponselnya dan membaca pesan masuk dari aplikasi hijau dengan ikon gagang telepon itu.

[Selamat sore, Tuan Mark. Apa boleh saya bertemu dengan anda besok?]