Mark masuk ke dalam restoran Jepang. Ia segera masuk ke dalam salah satu bilik yang tersedia. Mark menatap jam tangannya, ia datang terlalu awal, tiga puluh menit sebelum janji temu. Mark menarik napasnya perlahan kemudian menghembuskannya perlahan.
Mark membuka pesan masuk dari wanita setengah baya itu. Rupanya, wanita itu sudah sampai di tempat janji temu. Setelah Mark mengatakan nomor tempatnya, suara pintu yang digeser mengalihkan fokusnya. Mark menoleh dengan cepat.
"Selamat siang, Tuan Mark," sapa wanita usia lima puluh tahun itu.
"Siang, Bu Mia," balas Mark canggung.
"Ibu mau memesan dulu?" tanya Mark sembari memberikan buku menu pada wanita di depannya.
"Boleh, Tuan. Apa saya harus membayar?" tanyanya khawatir.
"Tidak, Bu. Ini sebagai bentuk rasa terima kasih saya," jawab Mark tersenyum.
"Kamu baik sekali, Tuan," ujar Bu Mia menatap Mark hangat.
Mark hanya tersenyum sebagai balasan. Ia menatap wanita itu yang hendak mengatakan sesuatu.
"Ibu, mau menu yang mana?" tanya Mark.
"Saya paket C saja, Tuan," jawab Bu Mia.
"Kalau begitu, biar saya yang memberikan pesanan kita ke kasir," ucap Mark bangkit dari duduknya. Mark keluar dari bilik dan memberikan kertas pesanannya pada kasir.
"Baik. Silakan pembayaran bisa tunai atau kartu," ucap penjaga kasir.
"Tolong pakai kartu," kata Mark seraya mengeluarkan black card miliknya.
Mata penjaga kasir itu membulat. Ia dengan bergetar menerima black card milik Mark.
"Sudah, Kak," ujar penjaga kasir itu.
"Makasih ya," kata Mark. Mark mengambil black card miliknya dari tangan penjaga kasir itu.
Mark kembali masuk ke dalam bilik. Lelaki tampan itu kemudian duduk di depan Bu Mia.
"Bagaimana kabar anak Ibu?" tanya Mark memulai pembicaraan.
"Sebenarnya, tujuan saya menghubungi Tuan adalah untuk membahas anak saya," jawab Bu Mia.
"Apa penyakit Irma makin parah?" tanya Mark khawatir.
"Begini, operasi Irma berjalan lancar berkat uang muka yang diberi Tuan Mark," jelas Bu Mia.
"Lalu? Ibu mau menagih uang setelah pertunangan?" tanya Mark sembari mengangkat alisnya.
"Iya,Tuan. Saya minta maaf karena-"
"Tidak apa, Bu," potong Mark. "Apa Irma harus operasi lagi?"
"Ibu saya sekarang dirawat di rumah sakit, Tuan," jawab Bu Mia menunduk.
"Jadi, Ibu meminta uang lebih cepat karena keadaan ya?" tanya Mark memastikan.
"Iya, Tuan. Saya mengerti kalau di perjanjian, Tuan akan memberikan uang setelah satu bulan. Tetapi, keadaan saya sulit, Ibu saya sakit dan anak saya harus di operasi," tutur Bu Mia.
"Tidak apa, Bu. Ibu sudah membantu saya dengan bersikap seperti Ibu kandung," ujar Mark tulus.
"Terima kasih, Tuan," Bu Mia menunduk dalam.
"Berapa yang Ibu butuhkan?" tanya Mark sembari mengambil ponselnya.
"Kalau di perjanjian, Tuan sudah membayar uang muka sebanyak lima puluh juta. Sedangkan sisanya tinggal seratus juta lagi," terang Bu Mia.
"Baik. Saya kirimkan sekarang ya, Bu," tanggap Mark mulai melakukan transaksi dengan wanita di depannya.
Wanita itu merogoh tasnya untuk mengambil benda pipih itu. Ia membuka pesan masuk kemudian matanya membulat melihat nominal uang yang diberikan Mark.
"Dua ratus juta? Ini terlalu banyak, Tuan," wanita setengah abad itu menatap Mark terkejut.
"Tidak masalah, Bu. Semoga dengan adanya uang itu, anak ibu dan orang tua ibu bisa segera sehat," kata Mark tulus sembari mengulas senyum.
"Terima kasih banyak, Tuan," Bu Mia segera berdiri kemudian membungkuk di depan Mark.
"Sama – sama, Bu," Mark tersenyum tipis.
"Saya akan berusaha untuk menjadi Ibu kandung palsu yang baik untuk Tuan," janji Bu Mia.
"Berkat Ibu pertunangan saya berjalan dengan lancar. Untuk sekarang, Ibu sebaiknya tetap bersikap seolah di luar negeri," papar Mark.
"Baik, Tuan. Saya akan menjaga jarak dengan Tuan," sahut Bu Mia menatap Mark.
"Terima kasih sudah mau menerima kerja sebagai Ibu kandung palsu saya," balas Mark.
"Sama – sama Tuan," balas Bu Mia kembali duduk.
Suara ketukan mengalihkan keduanya. Pelayan memberikan paket A dan C yang dipesan Mark dan Bu Mia. Setelah selesai menyusun piring, pelayan itu berlalu.
"Silakan dinikmati, Bu," ujar Mark.
Wanita itu mengangguk kemudian segera makan dengan lahap. Baru pertama kali baginya makan di restoran Jepang.
Mark tersenyum sendu, dirinya menjadikan merindukan sosok wanita yang melahirkannya. Ia berniat membelikan Bu Mia menu yang ada di restoran sebagai buah tangan untuk anak Bu Mia.
***
Mark masuk ke dalam ruangan sang ayah. Ia menatap ayahnya yang sibuk dengan tumpukan berkas.
"Ayah," panggil Mark pelan.
Ayah Darel melirik putranya sekilas. Kemudian pria itu kembali sibuk dengan berkas.
Mark menatap sekelilingnya, kalau ia menjadi CEO, maka ruangan ayahnya akan menjadi miliknya. Ia mulai membuat teh, setelah selesai ia duduk di sofa hitam. Mark biasanya menunggu sang ayah selesai selama satu jam lebih. Tetapi, ia ingin segera mengatakan pikirannya sekarang.
"Ayah, aku mau bahas tentang Ibu Mia," kata Mark.
"Ada apa dengan Bu Mia?" tanya Ayah Darel tanpa menoleh pada putranya.
"Ayah, sebaiknya istirahat dulu. Mata Ayah hampir keluar tuh," komentar Mark.
Ayah Darel terkekeh kecil. Ia berdiri dari kursi kerjanya dan duduk di depan Mark.
"Ini minum dulu, Yah," ucap Mark menggeser cangkir berisi teh yang ia buat.
"Kamu tidak memakai gula?" tanya Ayah Darel setelah meneguk teh tawar itu.
"Aku pakai satu sendok aja, Yah. Ayah harus jaga kesehatan," jawab Mark.
"Kamu mau membahas apa?" tanya ayah Darel sembari meletakkan cangkir teh di atas meja.
"Aku tadi ketemu Bu Mia. Terus dia minta uang lebih cepat," ungkap Mark.
"Lalu?" tanya Ayah Darel tampak tidak peduli.
"Ibunya Bu Mia sakit dan Irma harus lakuin operasi. Akhirnya, aku langsung transfer," lanjut Mark.
"Ayah sebenarnya tak peduli dengan kabar Bu Mia," ujar Ayah Darel santai.
"Kenapa, Yah? Dia kan udah bantuin nutupin kita," balas Mark.
Ayah Darel menghela napas pelan. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa kemudian bersedekap dada sembari menatap anaknya.
"Sejak awal, Ayah tak setuju dengan idemu," ucap Ayah Darel.
"Ide aku hanya –"
"Mark, idemu itu tak masuk akal," sela Ayah Darel.
Mark menatap Ayah Darel sedih, "Aku nyewa Ibu Mia karena aku gak mau kita malu, Yah."
"Lebih tepatnya kamu yang malu. Kamu tak mau kalau Kay tahu semuanya," timpal Ayah Darel.
"Aku gak malu,Yah," balas Mark lirih.
"Lalu kenapa, Nak? Kenapa kamu harus menyewa orang asing untuk memenuhi peran sebagai seorang Ibu?" tanya Ayah Darel tak mengerti akan ide gila putranya.
Mark membungkam mulutnya. Ia tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan pria yang ia hormati. Mark menundukkan kepalanya perlahan. Rasa bersalah masuk ke pikiranya.
"Aku pernah bilang ke Kay, kalau Ibu aku itu kerja di luar negeri," terang Mark setelah terdiam.
"Kamu padahal bisa beralasan padanya kalau Ibu sibuk sehingga tidak bisa hadir," ujar Ayah Darel.
"Tapi, aku gak mau buat Kay kecewa," balas Mark.
"Nak, Ibumu sekarang lebih kecewa ketika kamu mengambil keputusan untuk membohongi sosok seorang Ibu pada keluarga Kay," papar Ayah Darel.
"Aku bingung, Yah. Aku hanya ingin membuktikan ke Kay," tanggap Mark pelan.
"Membuktikan apa?" tanya Ayah Andra mengerutkan dahinya.
"Meskipun, Ayah dan Ibu udah cerai –"
"Mark! Jaga ucapanmu!" hardik Ayah Darel.