"Bukannya Ayah sama Ibu udah cerai?" tanya Mark ragu.
"Kita itu belum cerai, Nak," jawab Ayah Darel.
"Tapi, aku –"
"Mark, dengar," potong Ayah Darel.
Mark menatap sang ayah takut. Ia menyesal karena salah berbicara sehingga pria di depannya mengamuk.
"Ayah dan Ibu itu gak akan pernah cerai. Meskipun kondisi Ibumu seperti itu, Ayah yakin dia akan sembuh," ujar Ayah Darel.
"Aku minta maaf, Yah. Aku pikir Ayah ada rencana begitu," ucap Mark menundukkan kepalanya.
"Sudahlah, tidak apa," tanggap Ayah Darel.
"Makasih ya, Yah, tetap mencintai Ibu," kata Mark tulus.
"Itulah kekuatan cinta, Mark. Ayah akan terus mencintai Ibumu hingga maut memisahkan. Makanya, Ayah berharap kamu setia pada Kay," papar Ayah Darel.
"Pasti, Yah," balas Mark.
"Ada lagi yang mau kamu bahas, Nak?" tanya Ayah Darel.
Mark menggeleng kecil, ia menatap Ayah Darel. "Aku mau nemuin anaknya Bu Mia dulu, Yah," ujar Mark.
"Loh untuk apa, Nak?" tanya Ayah Darel bingung.
"Aku mau cek keadaannya Irma," sahut Mark.
"Sifatmu yang terlalu baik itu kadang membuat Ayah khawatir," terang Ayah Darel.
"Kenapa harus khawatir, Yah? Anak Ayah itu lakuin hal yang baik," tanggap si pemilik badan atletis itu.
"Ayah takut kamu dimanfaatkan lagi. Seperti kasus Ami-"
"Cukup Yah. Aku rasa gak perlu omongin orang yang udah gak ada di dunia," potong Mark.
"Baiklah," balas Ayah Darel menyadari raut datar Mark.
***
Keysa berdiam diri di kamarnya, hari ini ia berniat untuk mengecek ulang proposalnya sebelum bertemu dengan dosen pembimbingnya. Ia mulai membaca dengan tenang. Hingga suara dering ponsel mengalihkan fokusnya.
Keysa mengangkat alis melihat nama yang tertera di layar ponselnya, "Mamah tumben nelepon," monolog Keysa.
"Halo, Mah," sapa Keysa setelah menekan tombol hijau.
"Bagaimana kehidupan pernikahanmu? Semuanya aman kan?" tanya Mamah Clara sedikit ketus.
"Kabar aku baik, Mah," sahut Keysa tersenyum.
"Mamah gak bertanya tentang keadaanmu," balas Mamah Clara.
Keysa tersenyum pahit, ia sudah menduga akan mendapat jawaban yang menyakitkan.
"Semuanya aman," ujar Keysa.
"Mark tidak curiga padamu kan?" tanya Mamah Clara memastikan.
"Tidak, Mah. Aku juga udah mengusulkan proposal ke dosen pembimbing Kak Kay," balas Keysa.
"Mamah tak peduli dengan proposal itu. Kamu bisa menyogok dosen agar langsung lulus," kata Mamah Clara.
"Kak Kay gak mungkin berbuat begitu, Mah," tanggap Keysa tak mengerti jalan pikiran wanita di seberang sana.
"Ck, terserah. Lakuin yang terbaik saja agar Mark tak curiga kalau kamu itu palsu," ketus Mamah Clara.
Keysa mengangguk meskipun si penelopon tak bisa melihatnya.
"Kenapa kamu tidak menjawab? Kamu sudah bosan menjadi Kay?" sentak Mamah Clara kesal.
"Maaf, aku akan lakuin yang terbaik," sahut Keysa takut.
"Awas saja kalau kamu mengeluh bertingkah seperti kakakmu," ancam Mamah Clara.
Keysa tersenyum miris sembari melihat foto sang kakak dengan Mamah Clara dan Ayah Gavin. Ia menghela napas panjang, berusaha menetralkan perasaannya yang terluka.
"Iya, Mah," tanggap Keysa.
Keysa meringis kecil karena panggilan di tutup begitu saja. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Gadis cantik itu menatap langit – langit kamar.
"Harusnya dari awal, gue gak usah setuju gantiin Kay. Gue terlalu baik dan nurut," gumam Keysa.
'Apa Mamah dan Ayah sayang sama gue?' batin Keysa sedih.
***
Mark melangkah ke resepsionis di rumah sakit Anggrek. Ia memperhatikan sekelilingnya, rumah sakit tempat Irma terlihat masuk ke dalam kategori rumah sakit menengah.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya perempuan yang ada di resepsionis itu ramah.
"Pasien atas nama Irma dan penanggung jawabnya adalah Bu Mia, kamarnya sebeleh mana ya?" tanya Mark.
"Mohon ditunggu ya, Tuan," balasnya kemudian memeriksa pasien atas nama Irma itu.
"Pasien ada di ruang VIP nomor sebelas," terang penjaga itu.
Mark mengangguk, ia melangkah ke ruang VIP yang berada di lantai lima. Lelaki tampan itu segera keluar dari lift dan mengetuk pintu kamar nomor sebelas.
"Sebentar," sahut Bu Mia.
"Halo Bu," sapa Mark mengulas senyum. Wanita di depannya tampak terkejut akan sosok Mark, ia bergeser agar lelaki itu bisa masuk.
"Tuan Mark, anda tidak perlu jauh – jauh kesini," ucap Bu Mia tak enak.
"Tidak apa, Bu. Ini buah untuk Irma," balas Mark sembari memberikan parsel buah pada wanita di depannya.
"Tuan Mark, terima kasih banyak," kata Bu Mia sembari meletakkan parsel buah di ata meja.
"Saya minta maaf karena datang tanpa mengabari dulu. Saya ingin melihat kondisi Irma," papar Mark tersenyum.
Mark duduk di kursi yang terletak di samping ranjang rumah sakit. Lelaki tampan itu menatap Irma lekat, gadis malang yang harus berjuang melawan kanker.
"Irma baru saja diberi suntikan," terang Bu Mia.
"Saya juga ingin mengajak Ibu mengobrol dulu," ujar Mark.
"Disini saja, Tuan," ujar Bu Mia sembari duduk di sofa.
"Apa tidak akan mengganggu Irma?" tanya Mark cemas.
"Tidak, Tuan. Irma sudah tertidur sejak tadi," jawab Bu Mia.
Mark mengangguk kemudian duduk di hadapan Bu Mia.
"Sebenarnya maksud saya datang kesini itu untuk memberi usul pada Ibu," ujar Mark memulai pembicaraan.
"Usul apa, Tuan?" tanya Bu Mia.
"Bagaimana kalau Irma pindah rumah sakit?" usul Mark.
Bu Mia menatap Mark dengan wajah bingungnya.
"Dia butuh rumah sakit yang lebih bagus, saya tidak bermaksud menjelekkan rumah sakit ini. Hanya saja, rumah sakit ini terpencil sehingga akan sulit untuk diakses," papar Mark panjang lebar.
"Tuan saya sudah bersyukur mendapatkan kamar yang VIP untuk Irma. Tetapi, saya takut kalau uang saya tidak cukup untuk kedepannya kalau harus pindah ke rumah sakit," balas Bu Mia.
Wanita itu sudah berpikir matang mengenai biaya rumah sakit yang dirasa cukup untuk waktu lama. Ia tak yakin akan kerja sama dengan Mark terus mengingat lelaki di depannya hanya membutuhkannya saat pesta pertunangan.
"Ah saya tidak berpikir sampai kesana," sesal Mark.
"Tidak apa, Tuan," tanggap Bu Mia.
"Saya akan memantu biaya rumah sakit Irma," kata Mark.
Bu Mia langsung menggelengkan kepalanya cepat. Ia tak mungkin terus merepotkan lelaki tampan itu.
"Tidak, Tuan. Saya tak ingin merepotkan," tolak Bu Mia halus.
"Tapi, saya –"
"Ibu mohon. Uang yang diberikan Tuan sudah lebih dari cukup," sela Bu Mia tersenyum hangat.
"Apa Ibu mau kerja sebagai petugas kebersihan?" tanya Mark.
"Maksud Tuan?" tanya Bu Mia mengerutkan keningnya.
"Saya bisa membantu Ibu untuk menjadi petugas kebersihan di salah satu kafe saya," terang Mark.
Mark memang mempunyai kafe, tetapi ia belum menceritakan tentang kafenya pada tunangannya.
"Tuan terima kasih banyak karena terus membantu saya," ucap Bu Mia terharu.
Mark tersenyum, ia memeluk wanita itu karena Bu Mia terlihat ingin menangis. "Sama – sama Bu," balas Mark.
"Tapi, saya punya syarat, Bu," ujar Mark.
"Apa syaratnya, Tuan?" tanya Bu Mia menatap Mark penasaran.