Puitis Pertama Oleh Oliver.
Menyusuri sungai waktu, kita terhanyut dalam riuh.
Lengan terangkat, berkejaran dengan angin.
Menggapai guntur yang menggulung di langit kelabu.
Setiap detik berapi, jiwa kita membara,
Mengangkat kita lebih tinggi, menembus batas.
Sebelum botol-botol habis, sebelum malam meredup.
Kita terbang melampaui kegelapan yang keji.
Saat hidup ini merekah, kita tak lagi terpegang.
Kendali lenyap, bersatu dalam keriangan yang tak berujung.
Gulungan tawa dan air mata menjadi satu.
Menari tanpa akhir dalam ketidakpastian.
Kini, mari kita rayakan hingga peluru terakhir.
Di ujung nyawa yang menunggu dengan sabar.
Isi gelas ini, angkat cangkirmu tinggi.
Bersenang-senanglah dengan botol kaca yang bersinar.
Jangan berhenti, ambil napas dalam-dalam.
Minumlah hingga tetes terakhir, jiwa kita mengalir.
Mengalir ke tenggorokan yang semakin dalam.
Membakar tempat ini, membakar kenangan kita.
Hingga kita berakhir di aula ketenaran.
Bersiaplah, temanku, untuk permainan ini.
Minum hingga nafsu berapi tak lagi tersisa
Sebelum cahayamu padam, sebelum cerita kita terhenti.
Oleh Oliver dari "Kehidupan yang selalu hancur dan hanya mengharapkan sebuah pesta kemudian mabuk"
1. Pelarian dari Kehidupan: Menggambarkan bagaimana orang-orang sering kali mencari pelarian dari masalah dan rasa sakit hidup melalui pesta dan mabuk. Dalam konteks ini, pesta menjadi simbol untuk melupakan kesedihan, sejenak meninggalkan kenyataan yang menyakitkan.
2. Kehilangan Kendali: Dengan menyebutkan "kita yang dibuat keluar kendali," teks ini menunjukkan betapa hidup dapat terasa tidak terduga dan liar, di mana orang merasa tidak berdaya dan terjebak dalam situasi yang mereka ciptakan sendiri.
3. Kehampaan Emosional: Walaupun ada keriangan dalam berpesta, ada kesadaran bahwa semua itu bersifat sementara. Meskipun berusaha menciptakan momen bahagia, tetap ada rasa kosong dan hampa setelah kegembiraan itu berlalu.
4. Desakan untuk Momen Terakhir: Kalimat seperti "minum hingga tetes terakhir jiwa kita" menunjukkan keinginan untuk meraih setiap momen, walaupun tahu bahwa itu bisa berujung pada kehampaan. Ini mencerminkan perasaan bahwa meskipun hidup penuh dengan kegagalan, ada kebutuhan mendalam untuk merasakan kebahagiaan, meskipun itu hanya sementara.
5. Pencarian Makna: Di balik semua kesenangan yang tampak, ada pencarian yang lebih dalam untuk menemukan makna dalam kehidupan yang hancur. Pesta mungkin menjadi cara untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang eksistensi dan tujuan hidup.
"Menerima Takdir Mimpi Tanpa Pengecualian"
Itu adalah karya pertama milik seseorang yang sangat berpengaruh dalam hal ini. Kerap menggambarkan kenyataan melalui tulisan tangan nya. Tapi ini bukan kisah darinya, ini hanyalah kisah dari gadis kecil yang menganggap dirinya biasa saja.
--
"Akh..." Seorang gadis terbangun dari mimpinya dengan keringat dingin dan bernapas berat. Jantungnya berdegup dengan kencang.
"(Apa yang terjadi, rasanya sesak,)" ia memegang dadanya dengan rasa kesakitan. Lalu seseorang membuka pintunya, dia adalah ibu gadis itu.
"Apa yang terjadi, Caise?" dia mendekat dengan khawatir. "Ibu mendengarmu berteriak, apa yang terjadi, apa kau bermimpi buruk..." Ibu gadis itu mendekat, tapi gadis itu masih kesakitan dan sesak.
"Caise, ada apa, ya Tuhan, aku harus memanggil bantuan," Ibu Caise semakin panik dan mengambil ponsel untuk menghubungi ambulans. Namun, Caise menahan tangan ibunya. "Ibu... aku baik-baik saja." Ia tersenyum menyembunyikan kesakitannya.
"Caise, jangan menakutiku... Kau sebenarnya kenapa?" tatap ibunya masih panik.
"(Aku tak bisa membicarakan mimpi burukku.) Aku... hanya ingin ditemani ibu," kata Caise lalu ia bergeser tempat. "Aku mohon, Ibu kemarilah, aku ingin tidur bersama."
". . . Baiklah, tapi janji katakan padaku kau baik-baik saja."
"Ya... aku berjanji."
Lalu Caise diberikan pelukan hangat oleh ibunya. Dia merasa hangat dan kembali tidur dengan nyaman. Namun, sesuatu kembali terjadi di mana dia bermimpi buruk nan mengerikan.
Caise duduk di kursi hitam dengan tempat yang gelap, tak ada apa-apa sama sekali. Kegelapan menelan seluruh ruangan, dan ia terikat erat dengan tangan dan kakinya. Napasnya berat, panik merayap dalam setiap tarikan, dan jantungnya berdetak sangat kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Keringat dingin mulai menetes, mengalir di pelipisnya.
Tiba-tiba, sebuah tetesan darah menetes dari atas, membasahi kakinya. Caise menengadah, dan terkejut melihat sebuah mayat tergantung tepat di atasnya. Tali yang kuat mengikat lehernya, dan darah segar menetes deras dari tubuhnya yang tak bernyawa, seolah menggambarkan kematian yang baru saja terjadi. Hujan darah membasahi kakinya, menciptakan genangan merah yang semakin memperdalam kengerian di dalam hatinya.
"E-a-kh...." Caise berteriak ketakutan, suaranya pecah di dalam kegelapan. Ia berusaha membangunkan dirinya, meraih kesadaran, namun bukan bangun yang didapatnya. Ia masih terikat di kursi itu, jantungnya berpacu. Mayat di atasnya kini menghilang, namun kengerian masih menggantung dalam pikiran Caise.
"(Aku harus keluar dari sini,)" pikirnya dengan putus asa. Ia menggeliat mencoba melepaskan ikatan tali di tangannya, namun semakin ia berjuang, semakin erat ikatan itu seolah merespons ketakutannya.
Tiba-tiba, dari dalam kegelapan, sebuah pisau terbang menghampirinya dengan kecepatan menakutkan. Caise tak sempat menghindar. Pisau itu menggores bahu kiri Caise. "Ugh..." rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, darah mengalir dari lukanya. Belum sempat ia menyadari apa yang terjadi, lebih banyak pisau muncul dari kegelapan, menyerangnya tanpa henti.
"S-sudahlah!" teriaknya, namun suara itu hanya teredam oleh kegelapan yang menakutkan. Pisau-pisau itu menancap di bagian tubuhnya—perut, bahu, dan lengan—seolah kegelapan itu berusaha mengekspresikan kemarahan yang mendalam. ". . . Ah...." Ia kembali berteriak kesakitan, semakin merasakan bahwa ia bukan sekadar penonton dalam mimpi ini; ia adalah korban dari kengerian yang tak terduga.
Rasa sakit semakin menyengat ketika pisau-pisau yang telah menancap itu terdorong lebih dalam, seolah berusaha memisahkan tubuhnya dari jiwanya. Ia merasakan setiap detik, setiap detak, ketika rasa sakit menyatu dengan ketakutan. Pisau terakhir muncul dari bayang-bayang, menembus langsung ke jantungnya. Caise tertegun, mata terbuka lebar, menyaksikan kegelapan merayap mendekat.
"...Ahk..." teriaknya sangat keras, suara itu menggema, tetapi tak ada yang mendengar. Semua harapan untuk terbangun sirna, terjebak dalam mimpi buruk yang semakin dalam, di mana rasa sakit dan kegelapan bersatu menjadi satu.
Ketika semua tampak gelap, satu pikiran melintas—"Apakah ini akhir dari segalanya?" Tetapi tak ada jawaban. Hanya kegelapan dan kesakitan yang menanti di ujung mimpinya, menunggu untuk menelannya sepenuhnya.
---
"Caise... ada apa, bangunlah..." Ibunya membangunkannya dengan panik. Caise terbangun dengan rasa terkejut tinggi dan bernapas sangat berat.
"Caise, kau dingin, apa yang terjadi? Kau bermimpi buruk?" Ibunya menatap khawatir.
"I-Ibu... aku benar-benar takut." Caise mulai menangis. Lalu ibunya merasa iba padanya.
"Caise, aku mohon... katakan semuanya pada ibu... tak masalah apa itu mimpimu." Dia memegang kedua tangan Caise.
"Aku... aku melihat darah... darah banyak sekali, Ibu... sangat merah." Caise menceritakannya sambil masih gemetar ketakutan.
"Caise... berhentilah... Ibu ada di sini." Ibunya memeluknya. Itu memang tak membantu Caise dalam ingatan tajamnya itu. Gadis seumurannya pasti tidak akan betah dengan itu.
Ibunya memutuskan membawanya ke rumah sakit. Hasil dokter mengatakan, "Sebenarnya sama sekali tak ada masalah denganmu, Caise," kata dokter yang duduk di depannya.
"Apa maksudmu, Dokter? Tapi Caise menceritakan semua mimpinya dengan tak wajar padaku." Ibu Caise menyela.
"Entahlah, mungkin itu hanya imajinasinya. Jika perlu, mungkin dia harus dibawa untuk rehab. Apa lingkungannya bermasalah?" tanya dokter.
"...Sebenarnya..." Ibunya menjadi terdiam. Caise juga terdiam, tak bisa apa-apa untuk meyakinkan mereka.
"(Sebenarnya aku terlalu kesepian untuk menjadi seorang gadis kecil begini... Aku selalu saja kesepian dan setiap hari yang aku rasakan adalah hal yang sama. Di rumah, di sekolah, di jalan, bahkan di tempat lain... Itu karena ibu terus bekerja tanpa melihat waktu, kadang tidak pulang dan membuatku harus mandiri... memasak sendiri, mencuci baju sendiri, bahkan ke sekolah sendiri. Ibu sungguh sibuk dengan pekerjaannya... Tapi kenapa ketika aku sakit begini, dia tidak pergi bekerja saja? Apa ini artinya dia memang peduli dan menyayangiku... Aku harap begitu...)"
---
"Caise. Ini semua salahku, Ibu bekerja dari pagi hingga malam dan meninggalkanmu sendirian. Aku benar-benar minta maaf."
"(Itulah kalimat yang aku dengar beberapa kali. Meskipun dia meminta maaf beberapa kali, aku tetap menganggapnya lebih memilih pekerjaannya... Setiap hari yang bisa dia katakan hanyalah kalimat itu saja, meminta maaf, setelah itu dia melakukannya lagi, yakni melakukan bisnisnya yang sibuk mencari uang tanpa melihatku. Meskipun aku akui, setiap malam dia selalu tidur denganku, tetapi ini semua tidaklah adil... Selalu saja sibuk hingga aku tidak bisa menikmati apa itu yang dinamakan tidak kesepian. Tidak lain di rumah, tidak lain di sekolah, dan tidak lain di jalanan. Ini mungkin bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan aku menyendiri, tetapi memang itu nyatanya, aku tak bisa bergaul dengan tenang. Hingga suatu hari, dia harus ke sekolahku.)"
---
"Permisi, apa Anda ibunya Caise?" tanya seorang guru wanita yang melihat ibu Caise ada di sekolah.
"Ah, iya... aku kemari karena pihak sekolah memanggilku, apa ada sesuatu dengan putriku?" Ibu Caise menatap khawatir.
"Untuk hal ini, mari bicarakan di dalam," kata guru wanita itu.
Tapi ada suara Caise memanggil. "Ibu..." Dengan nada pelan dan tatapan kosong, membuat mereka berdua menoleh.
"Caise, kenapa ada di sini?!" Ibu Caise terkejut. "Kau seharusnya di kelas..."
"Caise, masuklah ke kelas, ada hal yang harus kami bicarakan di sini," tambah guru wanita itu.
"(Hal yang harus dibicarakan? Memangnya apa yang mereka bicarakan sampai-sampai mereka tidak mau aku mendengarnya dan menyuruhku masuk kelas. Aku sengaja untuk mengikuti Ibu karena aku penasaran apa yang akan mereka bicarakan. Apakah mereka akan membicarakan aku? Tentu saja mimpi itu telah mengatakannya padaku. Dia mengatakan pada Ibuku bahwa aku benar-benar sangat buruk dalam bergaul. Aku tak bisa mendapatkan teman yang baik dan hanya kesendirian yang menjadi temanku. Mimpi yang selalu menceritakanku dan mimpi yang selalu mengatakanku bahwa masa depan akan selalu bisa dibaca olehnya, itu menjadi pelengkap dan aku menjadikannya sebagai temanku... Mungkin karena mimpi itu memang adalah temanku. Tapi aku sadar ini adalah hal yang tidak waras.)"