Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 48 - Chapter 48 Caise Story

Chapter 48 - Chapter 48 Caise Story

Puitis Ketiga Oleh Oliver.

Kau bisa mematikan lampu,

Menggambar kerai di malam gelap,

Membuat hatiku terbelenggu,

Terikat di tempat tidurmu.

Di mana cinta bergetar lembut,

Namun seakan kau jauh,

Menjauhkan aku dari sisimu,

Hatiku terserak,

Hanya bisa ku ucapkan,

Perbaiki aku,

Seperti pecahan kaca yang menunggu.

Di sini, aku berbaring,

Di bawah sungai kecil,

Membawa kenangan seperti arusmu.

Kita pulang melalui aliran terendah,

Tak ada yang tahu,

Ke mana jalan ini akan membawa.

Bisakah kita tinggal sebentar,

Bersandarkan tubuh dalam kehangatan api?

Katakan padaku untuk tidak pergi,

Dengan lembut, seperti bisikan,

Dan aku tak ingin terpisah,

Katakan tidak, sayangku,

Jangan biarkan aku melangkah.

Tinggalkan saja aku di malam ini,

Tanpa tanda, tanpa peringatan.

Apakah kita akan terbakar,

Menembus cermin dan asap?

Hanya kenangan yang tertinggal,

Dalam siluet yang samar.

Oleh Oliver dari "Yang Tak Selalu Di Inginkan"

1. Perasaan Terjebak: Penggambaran tentang bagaimana seseorang dapat mempengaruhi perasaan orang lain, menyebabkan perasaan terbelenggu dan tidak bebas.

2. Kehilangan dan Kerinduan: Ada rasa kehilangan yang mendalam ketika terpisah dari orang yang dicintai. Ada harapan untuk perbaikan dan penyatuan kembali.

3. Refleksi dan Kenangan: Menggambarkan bagaimana kenangan dan pengalaman masa lalu bisa membentuk seseorang, seperti arus sungai yang membawa kita kembali ke tempat asal.

4. Keinginan untuk Kebersamaan: Ada keinginan untuk tinggal dan bersandar dalam kehangatan cinta, serta permohonan untuk tidak ditinggalkan.

5. Ketidakpastian Masa Depan: Menggambarkan ketidakpastian tentang ke mana hubungan ini akan pergi, dengan pertanyaan apakah hubungan itu akan berakhir dalam kehampaan atau berlanjut.

6. Simbolisme Api dan Asap: Api melambangkan kehangatan dan cinta, sementara asap bisa melambangkan kehilangan atau ketidakpastian.

"Tak Bisa Menggambar Keinginan Di Kegelapan Cahaya"

--

Paginya, Caise terbangun dengan tenang. Ia melihat ke samping dan rupanya ibunya sudah tak ada. "Ibu..." Caise keluar dari ranjang dan berjalan keluar kamar mencari ibunya, tapi ia menemukan sebuah kertas catatan dari ibunya yang ditempelkan di lemari pendingin.

"Ibu harus bekerja pagi, makanan sudah siap di meja, nikmati harimu, Manis," kata surat itu yang sudah jelas dari ibunya.

Caise membuka penutup makanan di meja makan. Apa yang ia lihat benar-benar sangat simpel, itu hanyalah roti isi selai dan hanya ada satu.

Caise terdiam dan menghela napas panjang. "(Setiap hari, hanya bisa membuat makanan seperti ini. Bahkan menyalakan kompor pun tidak pernah... Menggunakan piring lainnya juga tak akan pernah, mau bagaimana lagi... Ini seperti dia tinggal sendiri... Padahal sudah jelas ada aku di sini... Memangnya aku sebagai apa hanya diberi makanan seperti ini... Tapi, ya sudah...)" Caise menerima keadaan, lalu ia bersiap berangkat ke sekolah sendiri. Di jalan, ia melihat ada keramaian di kantor polisi dekat sana yang menghalangi jalannya. "(Apa yang terjadi di sana?)" ia menjadi bingung.

Di sisi lain, ada seorang lelaki yang menghubungi seseorang, namun ia terus menatap ke ponselnya dengan kesal karena tak bisa menghubungi orang yang akan ia hubungi.

"Cih, sialan... Kenapa kau tidak mengangkatnya?" Ia menjadi marah sendiri, tapi ia tak sengaja menoleh ke arah Caise yang terdiam di pinggir jalan.

Dengan bingung, ia mendekat padanya. "Halo, gadis kecil, apa kau tersesat?" tanya lelaki itu yang berlutut mendekat.

"Aku hanya ingin lewat jalan ini, jika boleh tahu, memangnya apa yang terjadi di sana?" tanya Caise.

". . . Ah, tidak apa-apa kok, di sana tidak ada apa-apa," lelaki itu mencoba menyembunyikan sesuatu dari Caise yang memang masih kecil.

"Berbohong itu tidak baik," Caise menatapnya, membuat lelaki itu terpaku.

"(Haiz...) Sebenarnya, di sana orang-orang sedang penasaran melihat kasus pembunuhan. Mereka akan menghalangi jalan dan tak peduli akan hal itu, hanya melihat dan penasaran saja... Aku sebagai pihak berwajib pastinya bukan hanya warga sipil biasa..." kata lelaki itu, membuat Caise terdiam tak mengerti.

"Haiz... Begini saja, aku akan mengantarmu melewati mereka... Kau pasti ingin lewat jalan ini," lelaki itu mengulurkan tangan.

"Kakak, apa kau orang baik?" tanya Caise yang masih polos. Dia belum menerima uluran tangan lelaki itu.

"Oh... Tentu saja, apa kau tidak lihat baju apa yang kupakai?" Dia menunjukkan baju yang ia pakai; rupanya lelaki itu masih bersekolah SMA.

"Kakak, kau kelas berapa?"

"Sebentar lagi aku akan lulus, bagaimana denganmu, Manis?"

"Aku akan naik kelas 4, apa masa sekolah kakak menyenangkan?" Caise kembali bertanya.

"Sepertinya begitu karena kakak bukan hanya siswa biasa. Ngomong-ngomong, nama kakak Oliver, bagaimana denganmu?"

"Aku Caise, senang bertemu denganmu, Kakak."

"Ya, senang juga bertemu denganmu, nama yang begitu manis... Kau juga terlihat manis di sini...." Tatap lelaki bernama Oliver itu. "Kalau begitu, ayo aku antar saja," Oliver kembali mengulurkan tangan lalu Caise menerimanya dan mengikuti Oliver.

"(Di saat itulah, aku bertemu dengan orang yang bernama Oliver, berumur jauh lebih dewasa dari aku. Aku menilainya sebagai seseorang yang baik karena dia peduli padaku. Biasanya, orang yang aku dekati akan menganggapku aneh dan tak mau berbicara denganku, tapi orang ini, dia benar-benar baik dan membantuku... Dari sana aku tahu bahwa orang yang peduli sepertinya masih ada di dunia ini.)"

"Aku akan menggendongmu saja karena kau akan terlepas jika hanya aku pegang..." kata Oliver sambil menggendong Caise.

"Kakak, kau baik, kata Ibu aku harus berteman dengan orang baik."

"Oh ya, kalau begitu jadikan kakak temanmu," tatap Oliver lalu Caise tersenyum mengangguk. Sepertinya kepribadian milik Oliver memang begitu akrab meskipun dengan gadis kecil sekalipun.

Sesampainya di sekolah, Oliver menurunkan Caise. Ia mengamati sekeliling, melihat suasana sekolah yang ramai dengan para siswa yang bersiap masuk ke kelas. Suara langkah kaki, tawa, dan obrolan riuh bercampur di udara.

"Wah, jadi ini sekolahmu. Kau harusnya belajar lebih giat," kata Oliver dengan nada yang mencoba terdengar ringan, meskipun ada sedikit nada khawatir yang tersirat dalam suaranya.

"(Aku tentunya akan belajar sangat giat hingga aku menjadi dokter nantinya...)" batin Caise, menguatkan tekadnya. Ia menundukkan badan dengan penuh rasa hormat dan syukur. "Kakak, terima kasih untuk hari ini," ucapnya pelan, ada nada tulus di dalam suaranya, seolah ingin meyakinkan nya bahwa ia benar-benar berterima kasih atas semua perhatian yang diberikan.

"Tidak masalah, nikmati sekolahmu," Oliver membalas sambil menyunggingkan senyum tipis. Ia mencoba melangkah menjauh, pikirannya sudah teralihkan ke tugas-tugas yang menantinya di kantor. Namun, saat tangan Caise tiba-tiba meraih ujung bajunya, langkahnya terhenti. Ia menoleh, tatapannya dipenuhi kebingungan yang bercampur dengan rasa ingin tahu.

". . . Ada apa? Apa kau tidak nyaman?" tanya Oliver, keningnya sedikit berkerut saat melihat ekspresi adiknya yang tampak resah.

Caise menggigit bibirnya sejenak sebelum menunjuk ke arah sebuah rumah dengan penutup pagar tinggi di ujung jalan. "Apa Kakak mau menjemputku nanti? Aku takut lewat sana," ujarnya pelan, hampir seperti bisikan yang bergetar.

Oliver mengikuti arah telunjuk Caise dan merasakan ketegangan dalam dirinya. "(Rumah itu... Milik paman korban,)" pikirnya dengan alis yang kini semakin berkerut. Ingatannya kembali ke malam-malam ketika kasus itu dibahas di ruang penyidikan. "Korban perempuan yang hilang..." pikirannya melayang pada kejanggalan dan misteri yang belum terpecahkan. Lalu, ia menatap Caise, yang kini menatapnya dengan sorot mata memohon, seolah-olah di dalam benaknya, ada ketakutan yang tak berani ia ungkapkan sepenuhnya.

"Baiklah, aku akan segera menjemputmu di sini, belajarlah yang rajin," kata Oliver dengan lembut sambil mengusap rambut Caise. Ada kehangatan dalam gesturnya, berusaha menenangkan adiknya meskipun dalam hatinya sendiri ada perasaan tidak tenang. Caise mengangguk senang, seulas senyum kembali menghiasi wajahnya yang masih menyimpan kekhawatiran.

Setelah itu, Oliver kembali ke depan kantor polisi. Udara dingin terasa menusuk di tengah kesibukan kota pagi itu. Ia berdiri sejenak, memandang langit yang mulai cerah, sebelum seseorang datang mendekat. "Oliver, kau sudah menemukannya?" tanya rekannya yang bernama Arden, wajahnya menampakkan kelelahan, menunjukkan malam-malam panjang yang dihabiskan memecahkan kasus.

Oliver menghela napas dalam. "Bukankah itu terlalu sulit? Tentu saja aku butuh waktu, aku masih mengira bahwa yang melakukannya adalah paman korban," jawabnya, matanya masih menyiratkan keyakinan namun juga kebingungan yang belum terpecahkan.

Seorang pria dengan perawakan tegas tiba-tiba muncul, mengenakan jas panjang yang memberinya aura otoritas. "Apa yang sedang kalian bahas?" tanyanya.

"Manajer... Kami sedang membahas kasus 708b," Arden menjawab dengan nada hormat.

"Perempuan yang hilang karena pembunuhan itu?" tanya manajer dengan suara rendah namun jelas.

"Ya," Arden membalas, sementara Oliver melirik jam di pergelangan tangannya. Ia menyadari waktu sudah semakin siang, dan ia harus segera pergi. Dengan cepat, ia meraih tasnya.

"Oliver, kau akan ke mana?" tanya manajer dengan nada penuh tanya, tatapannya tajam mengikuti gerakan Oliver yang tergesa-gesa.

"Aku harus pergi, hampir terlambat," Oliver menjawab sambil melangkah pergi. Ada kecepatan dalam langkah kakinya, seakan ada sesuatu yang mendesak yang harus ia kejar.

"Haiz... Dia kan sudah bekerja di sini, kenapa harus bersekolah?" Arden menghela napas panjang, suaranya terdengar pasrah namun juga sedikit kesal. Ia melirik ke arah manajer, berharap sedikit penjelasan.

"Dia mengerjakannya dari ketua tim, menyamar sebagai siswa saja, umurnya pun muda tidak sepertimu, Arden," jawab sang manajer sambil melirik Arden, yang kini menatapnya dengan cemberut.

"Hah... Hei, aku cuma 4 tahun lebih tua dari dia," Arden menyela dengan kesal, melipat tangan di dada. Ada rasa enggan yang tersirat dari suaranya, seolah ia ingin menunjukkan bahwa dirinya tak kalah gesit meski lebih berumur.

Sementara itu, Oliver rupanya memang bersekolah dan sepertinya dia sudah dikenal sebagai anggota pemecah masalah sejak umurnya masih muda. Pengalaman itu membuatnya diterima dengan mudah di lingkungan kantor polisi, meski usianya masih terbilang muda. Namun, di balik penampilan lugasnya, Oliver menyimpan kegelisahan yang kini mulai merambat ke pikirannya, mengusik ketenangannya.

"(Hm... Aku agak penasaran dengan gadis tadi, kenapa dia bisa-bisanya takut lewat jalan itu, bukankah beritanya tidak menyebar... Tahu dari mana gadis itu kalau jalan itu melewati rumah dari paman korban yang tadi dibicarakan... Wanita itu mati tragis di sana,)" pikir Oliver sambil mengeratkan genggamannya di tali tasnya. Pikiran-pikiran itu berputar dalam benaknya seperti pusaran air, menariknya lebih dalam ke dalam misteri yang belum terpecahkan. Ia tahu ada sesuatu yang lebih besar di balik ketakutan Caise, sesuatu yang mungkin berkaitan dengan kasus yang tengah ia selidiki.

"(Apa aku harus meneliti lagi? Bisa jadi gadis itu tahu sesuatu, tapi aku masih ragu, dia bahkan masih gadis kecil. Tapi yang membuatku heran adalah... Kenapa gadis seumurannya bisa seimut itu, apakah dia dari titisan tertentu? Kenapa dia memintaku menjemputnya... Apa orang tuanya tidak bisa menjemputnya? Gadis sepertinya jika tidak diberi pengawasan bukankah akan lebih berbahaya...)" Oliver benar-benar berpikir serius soal Caise, mengaitkan setiap detail yang mungkin terlewatkan. Ada misteri di balik mata gadis itu yang belum ia pahami, sesuatu yang menggantung di ujung pikirannya, menantang untuk dipecahkan.