Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 49 - Chapter 49 Caise Story

Chapter 49 - Chapter 49 Caise Story

Puitis Keempat Oleh Oliver.

Jika kau bukan pilihan hatiku,

Mana mungkin aku bisa membuatmu tunduk, menyerah pada tatapan mataku.

Dan jika memang bukan kau yang dipilih hatiku,

Haruskah kau tetap mendekapku erat, seakan dunia ini hanya milik kita berdua?

Ini semua—jalan yang kita tempuh bersama,

Berbagi peluh dan tawa, juga air mata yang tertahan.

Namun kini, dingin sekali di sini,

Di tempat yang berada di luar bayanganmu, di luar hangatnya pelukan yang pernah kau berikan.

Aku ingin kau menjadi penjagaku, peneduh dalam hujan yang tak pernah reda,

Tapi hanya jika kau tak ceroboh, hanya jika kau mampu mengerti hatiku yang rapuh ini.

Kuingin kau menjadi milikku,

Namun, apakah mungkin takdir akan berpihak padaku?

Takdir yang menentukan di mana kau berdiri,

Apakah kau memilih menjadi seseorang dengan hati yang penuh kehangatan,

Ataukah hanya menjadi bayangan yang hadir sesekali dalam mimpiku?

Oleh Oliver dari "Berdua Oleh Dunia"

1. Dilema tentang pilihan hati: Di bagian awal, penulis merasakan dilema tentang apakah orang yang ada bersamanya benar-benar adalah pilihan hatinya. Ada keraguan apakah hubungan ini benar-benar tepat. Meskipun ada keinginan untuk melepaskan, kenyataannya perasaan terhadap orang tersebut masih kuat, sehingga sulit untuk berpisah.

2. Rasa terasing dan kesepian: Frasa "dingin sekali di sini, tempatnya di luar bayanganmu" menggambarkan rasa kesepian atau jarak emosional yang dirasakan oleh penulis. Ini menunjukkan bahwa meskipun pernah dekat, kini penulis merasa jauh secara emosional, seolah-olah berada di tempat yang tidak lagi dijangkau oleh perhatian atau kasih sayang dari orang tersebut.

3. Keinginan untuk mendapatkan perlindungan: Penulis menyatakan harapan agar orang yang bersamanya dapat menjadi "penjaga," seseorang yang bisa memberikan rasa aman dan perlindungan. Namun, ada keraguan apakah orang itu bisa memenuhi harapan tersebut, terutama jika dia cenderung ceroboh atau kurang peduli.

4. Keraguan tentang takdir dan harapan: Frasa "Kuingin kau jadi milikku, itupun jika takdir menentukan" menunjukkan bahwa meskipun ada keinginan untuk memiliki hubungan yang lebih erat, penulis tidak sepenuhnya yakin apakah hubungan itu ditakdirkan untuk terwujud. Ada rasa pasrah terhadap keputusan takdir atau nasib yang akan menentukan arah hubungan ini.

5. Harapan akan perubahan sikap: Penulis juga berharap bahwa orang yang dimaksud bisa memiliki "sikap yang baik." Ini menunjukkan bahwa keberlanjutan hubungan bergantung pada apakah orang tersebut bisa memenuhi ekspektasi penulis dalam hal kedewasaan dan perilaku yang lebih positif.

"Mengikuti Seseorang Seperti Dia Yang Buruk"

--

Sepulang sekolah, Caise melihat Oliver yang sudah menunggu berdiri di depan gerbang. Oliver menoleh dan melambai pelan padanya. "Kakak, kau benar-benar datang."

"Yup, aku telah memenuhi janjiku, bukan? Mari kita pulang," Oliver langsung menggendongnya.

"E... Kakak, apa yang kau lakukan?" Caise menatap dingin.

"Hm... Aku menggendongmu..."

"Tapi aku bisa berjalan sendiri."

"Tidak apa-apa, aku juga ingin menunjukkan kalau kakak kuat menggendongmu."

"Itu karena aku masih kecil."

"Ya, itu benar, kecil itu harus di atas," kata Oliver.

"Kakak, kau berlebihan," Caise menjadi malu.

"Oh... Benarkah, ehhehe? Ngomong-ngomong, kenapa kau takut lewat sini sendirian, Caise?" Oliver berhenti di depan rumah yang ditakuti Caise.

"Em... Sebenarnya ada orang yang terkubur di sana," kata Caise. Seketika, Oliver yang mendengar itu menjadi terkejut tak percaya.

"(Apa yang baru saja dia katakan????!!!!) . . . Apa maksudmu? Kau berbohong, bukan?"

"Aku-aku tidak berbohong, Kakak. Tolong ambil orang itu, selamatkan dia. Setiap hari dia menangis dan menggangguku, membagi darahnya padaku juga."

"(Kenapa gadis ini bicara begitu aneh.) Caise, hentikan ini. Kau masih terlalu kecil, kenapa kau begitu tahu hal ini?"

"Itu karena aku melihat semuanya," balas Caise. Seketika, Oliver terdiam terkejut. "(Ini bercanda, bukan? Di kasus itu tak ada yang namanya saksi anak kecil sepertinya... Tapi bisa saja dia berbohong.) Caise, dari mana kau tahu hal itu?"

". . . Sebuah mimpi memberitahuku. Aku tahu aku memang gadis yang aneh hanya karena mimpi, dan ibuku bilang, mimpiku tidak akan nyata, jadi jangan percaya pada mimpiku. Aku hanya mengatakan-nya pada orang yang percaya saja...."

"(Sepertinya ada yang aneh di sini....) Kalau begitu, bisa kau katakan siapa yang dikubur di sana?"

"Em... Dia perempuan yang cantik dan yang menguburnya seorang pria."

"Katakan padaku seperti apa ciri-ciri pria itu," Oliver menyela. Lalu, Caise mengatakan ciri-ciri orang itu.

Hingga sampai di rumah, ibu Caise membuka pintu, terkejut melihat Oliver yang asing untuknya.

"Ibu, aku pulang."

"Selamat datang... Em?" Ibunya menatap Oliver.

"Oh, maafkan aku, aku hanya mengantar Caise. Aku Oliver, senang bertemu denganmu," tatap Oliver dengan ramah.

"Oh... Senang bertemu denganmu, em terima kasih telah mengantar Caise tadi."

"Tak masalah, apa dia benar-benar putrimu?"

"En, yah... Kau pasti berpikir aku masih muda."

"Haha iya, tampak seperti adik kakak saja."

"Yah, kau memang benar, kami memang terlihat begitu. Em, bisa masuk dulu?"

"Ah, maafkan aku, aku harus pergi."

"Kakak, kenapa tidak mampir?" Caise menatap sedih.

"Jangan khawatir, Caise. Aku akan kembali besok menjemputmu dan mengantarmu sekolah," Oliver membalas.

Setelah itu, Oliver menemui Arden di sebuah kafe yang sepi pada malam hari. Lampu-lampu jalanan di luar memantulkan cahaya redup di jendela kafe, menciptakan suasana tenang namun sarat dengan keseriusan. Di dalam kafe, hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di sudut-sudut, sibuk dengan minuman hangat mereka. Oliver duduk di salah satu meja dekat jendela, pandangannya terfokus pada ponselnya, sementara uap tipis dari secangkir kopi panas di depannya menghangatkan udara di sekitarnya.

Arden datang dengan langkah tenang namun membawa aura terburu-buru. Ia duduk di seberang Oliver, lalu tanpa banyak basa-basi, ia mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam jaketnya, dan meletakkannya di atas meja. "Itu dokumen yang kau minta... Maksudku... Isinya foto," kata Arden, suaranya terdengar sedikit berbisik, meskipun tidak ada yang benar-benar memperhatikan percakapan mereka.

Oliver segera membuka amplop itu dan menatap isi di dalamnya. Ia terdiam sejenak saat menemukan tiga foto pria yang tampak mirip, namun memiliki beberapa perbedaan kecil. Dahinya berkerut, ia menatap foto-foto itu satu per satu, memperhatikan setiap detail yang berbeda dari wajah-wajah yang tertangkap dalam gambar.

"Kenapa ada tiga... Apa aku kurang detail menjelaskannya?"

"Bro... Itu sudah detail, tapi entahlah, aku masih kurang yakin memilih di antara mereka. Karena ciri-ciri yang kau sebutkan itu emang seperti mereka orangnya... Dan ngomong-ngomong, apa kau memang sudah tahu pelakunya hingga ingin membuatku mencari pelacak orang?"

". . . Ada gadis cilik yang membuatku tertarik, dia menceritakan semuanya termasuk korban terbunuh."

"Ha?? Kau serius... Korbannya saja belum ditemukan, apalagi bagaimana cara membunuhnya."

". . . Begini saja, aku ingin kau menggali di setiap halaman rumah paman korban."

"Tunggu... Korban punya paman, kupikir sudah mati."

". . . .Tidak, bukan pamannya pelakunya, mungkin orang lain yang telah menguburnya di rumah paman korban yang kosong... Sebelumnya kan kita tidak mencurigai rumah itu karena pamannya tidak ada di sana... Tapi bisa jadi rumah itu jadi sasaran karena kosong," kata Oliver.

"Hm... Jika dipikir-pikir memang benar, aku akan mencoba ke sana."

"Dan yang kutakutkan sekarang adalah bagaimana jika gadis cilik itu benar," kata Oliver.

"Apa maksudmu?"

"Jika dia benar di setiap perkataannya, maka dia dianggap saksi rahasia."

"Ha... Tapi..."

"Benar, bukan? Kau pasti sepemikiran denganku... Dia masih kecil, aku mengerti itu."

Arden menatap ke arah meja, berusaha memahami situasi yang semakin rumit. "Sepertinya memang begitu," jawabnya, ada nada setuju yang pelan dalam suaranya, meski ia masih terlihat ragu-ragu.

"Memangnya siapa gadis itu? Bisa aku bertemu dan berkenalan dengannya ketika apa yang dikatakannya benar-benar nyata?" Arden menatap.

"Yah, setelah kasus ini selesai... Aku akan memperkenalkanmu dengannya... Kasus ini tetap harus selesai karena pekerjaan nomor satu," balas Oliver.

Di luar, angin malam berhembus, mengirimkan hawa dingin yang menusuk tulang. Tapi di dalam kafe itu, percakapan mereka menggantung seperti bayangan panjang yang tidak akan mudah hilang.

---

Hari selanjutnya, Oliver kembali mengantar Caise dengan menggendongnya. "Caise, apa kau hanya tinggal bersama ibumu saja? Apa kalian hanya berdua?" tanya Oliver.

". . Ya, ayahku pergi bekerja, ibu bilang begitu, tapi selama 4 tahun aku menunggu, ayah sama sekali tak datang menjemputku ke rumah," Caise membalas. Lalu, Oliver berpikir ibu Caise telah bercerai.

"(Hm... Kenapa harus menceraikan wanita yang masih begitu muda... Dia seharusnya lebih menjaga dan menyayangi putrinya ini... Bahkan dia berbohong pada putrinya, ayahnya bekerja... Atau bisa jadi ayahnya meninggal duluan... Hm... Benar-benar sungguh sangat kasihan,)" pikir Oliver dengan khawatir.

Saat sampai di gerbang sekolah, Oliver menurunkannya. "Baiklah, Kakak, terima kasih, jangan lupa jemput aku lagi," Caise menatap.

"Ya... e... Tunggu, Caise," Oliver mendadak menahan tangan Caise yang menjadi bingung.

"Aku ingin tahu soal ceritamu itu, sebenarnya aku benar-benar mempercayainya."

". . . Benarkah? Kakak mempercayainya?" Caise menjadi tersenyum senang.

"Ya, aku mempercayainya. Ceritamu sangat menarik, tapi sayangnya aku kurang memahami orang yang mengerikan."

"Apa maksud kakak?"

"Bisa kau pilih salah satu dari mereka yang muncul dalam mimpimu?" Oliver menunjukkan tiga foto pria kemarin.

Seketika, Caise terkejut setelah melihat satu di antara mereka. "Kakak, aku tidak mau," ia ketakutan mundur.

". . . Jangan khawatir, Caise. Kau ingin aku lebih bisa percaya dengan ceritamu, bukan? Dengan kau memberitahuku, mimpimu tak akan muncul lagi," Oliver mencoba meyakinkannya. Dengan ragu-ragu, Caise menunjuk salah satu dari ketiga foto itu.

"Nice... Baiklah, jangan khawatir, aku sudah menyimpannya di otakku," kata Oliver.

"Kakak, aku mohon jangan dekat-dekat dengan orang itu, dia bisa membunuhmu."

"Jangan khawatir, kakak tidak akan mencarinya... Nikmati sekolahmu," Oliver tersenyum lalu berjalan pergi meninggalkannya. Caise terdiam menatapnya pergi.

"(Ini benar-benar sangat mudah... Bahkan gadis kecil itu bisa memberitahuku dengan cepat siapa pelakunya... Jika memang ini jalan yang benar, aku hanya perlu menunggu Arden menggali halaman rumah paman korban. Jika memang ditemukan korban, aku akan anggap gadis itu ajaib,)"