Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 47 - Chapter 47 Caise Story

Chapter 47 - Chapter 47 Caise Story

Puitis Kedua Oleh Oliver.

Hanya gadis muda, berapi-api dan berani,

Terpancing mimpi, selalu ingin berlari,

Menembus batas langit yang kelabu,

Meninggalkan jejak masa lalu yang suram dan kelam.

Ia menunggu kilat menari sebelum guntur menggelegar,

Merasa getaran petir, jantungnya berdegup kencang,

Anak-anak tertawa, ceria di dalam kelas,

Namun di dalam hati, rencana besar terukir, tak pernah pudar.

Kau pikir kau siapa, berani bermimpi,

Bintang besar di angkasa, berkilau gemilang,

Kau bilang kau hebat, segala sesuatu mudah digenggam,

Namun dalam perjalanan, kau tetap di bangku belakang.

Di panggung yang megah, kerumunan bersorak,

Ia tersenyum, menatap cahaya penuh harap,

Menembus keraguan, menjelajahi ketidakpastian,

Dengan semangat membara, ia takkan mundur, takkan berhenti.

Di setiap detak jantung, ia tahu,

Mimpinya adalah cahaya, bintang yang bersinar,

Meski badai menghalangi, ia akan tetap terbang,

Hanya gadis muda, tetapi jiwanya tak pernah padam.

Oleh Oliver dari "Selalu Sendirian Di Kehidupan Yang Ramai"

1. Kontradiksi Emosional: Meskipun gadis tersebut berada di tengah keramaian—di kelas dengan anak-anak lain yang tertawa dan bersenang-senang—ia merasakan kesendirian yang mendalam. Kebisingan dan keceriaan di sekelilingnya kontras dengan kegelisahan dan kerinduan dalam hatinya, menunjukkan bagaimana seseorang bisa merasa terasing meski dikelilingi oleh orang lain.

2. Perjuangan Pribadi: Dalam keramaian, gadis ini memiliki mimpi yang lebih besar dan keinginan untuk menjadi bintang. Namun, perjalanan menuju cita-citanya penuh dengan tantangan dan kesepian. Dia mungkin merasa bahwa meskipun ada orang lain di sekelilingnya, tidak ada yang benar-benar memahami perjuangannya, menyoroti kesepian dalam mengejar mimpi.

3. Kepalsuan dan Harapan: Pernyataan seperti "Kau bilang kau besar" mencerminkan keraguan terhadap orang-orang yang meremehkan mimpinya atau yang tidak memahami ambisinya. Dalam keramaian, banyak yang mungkin terlihat bahagia atau sukses, tetapi di balik itu, ada perasaan kosong dan kesepian yang dihadapi gadis itu.

4. Kesadaran Diri: Mimpi untuk menjadi bintang besar mencerminkan pencarian identitas dan makna dalam hidup. Meskipun hidup di dunia yang ramai, gadis ini menyadari bahwa perjalanan menuju kesuksesan dan kebahagiaan sering kali adalah perjalanan yang harus dilalui seorang diri, menciptakan kesadaran tentang arti dari kesepian.

"Hidup Dalam Bayang-Bayang Tanpa Dukungan"

---

"Begini, soal laporan dari Putri Anda, Putri Anda mengalami sesuatu yang kasus biasa ditemukan oleh sekolah. Tapi pastinya bagi sebagian orang tua itu bukanlah kasus yang biasa. Akhir-akhir ini, Putri Anda sering melamun dan tidur di kelas. Ketika bangun, dia langsung berteriak dengan ketakutan. Aku sebagai wali kelasnya mencoba menenangkannya ketika dia bangun dalam tidurnya di kelas, tetapi dia tetap tidak mau tenang dan terus bernapas sangat berat. Apakah dia menceritakan hal itu kepada Anda?" tanya guru wanita tadi, menatap ibunya Caise yang diam tak percaya mendengar itu tadi.

"Apa yang terjadi? Kenapa putriku jadi begitu? Sebenarnya dia memiliki sebuah penyakit yang aneh ketika dia masih kecil, di mana dia terus saja bermimpi sangat buruk. Terkadang dia juga tertawa dengan mimpinya. Aku tidak tahu apa yang mimpinya katakan padanya. Mungkin memang sangat berkaitan erat dengan apa yang terjadi selanjutnya. Tapi aku begitu yakin itu bukanlah sebuah mimpi yang sangat nyata..." balas Ibu Caise.

"(Rupanya ini memang berkaitan dengan kondisi mental lingkungannya.) Apa pun itu, kami hanya ingin memohon kepada Anda bahwa Putri Anda harus Anda bawa ke seorang psikolog. Dia harus ditolong dan juga harus bisa mendapatkan teman agar itu tidak mengganggu pelajarannya nanti... Kalau boleh tahu, apakah keluarganya lengkap?"

"Sepertinya tidak, karena ayahnya meninggalkannya ketika dia lahir dan aku harus bekerja siang dan malam untuk menghidupi kebutuhannya. Mungkin karena hal itulah aku tak bisa menemaninya dalam hal apa pun, membuatnya begitu kesepian. Aku berharap ada seseorang yang dapat menggantikanku nantinya...."

"Ya, itu tidak masalah dalam hal keluarga, melainkan dalam hal mimpinya. Mungkin itu adalah suatu keajaiban yang diberikan pada Caise untuk hal yang begitu dalam. Mungkin dia bisa mengetahui masa depan soal mimpinya itu."

--

Hingga malamnya, Caise kembali tidur seperti biasanya di lampu gelap dengan ditemani selimut yang hangat. Sebelumnya, ia juga menutup tirai jendela dan berbaring tidur memeluk boneka kecilnya yang berbentuk harimau manis. Meskipun begitu, dia tidaklah baik-baik saja. Sakit di hati kecilnya mulai muncul lagi, membuatnya gemetar kesakitan dalam perjalanan tidurnya. Hingga ia merasa lelah dan akhirnya menutup mata miliknya dan terlelap.

Tak hanya sampai di sana, mimpinya kembali muncul. Caise terlihat berdiri memandangi sebuah mayat di tempat seperti biasanya—kegelapan pekat yang hanya disinari cahaya samar dari atas kepalanya. Dalam keadaan dingin dan hening, jantungnya berdegup kencang, setiap detak seolah membawanya lebih dekat ke jurang ketakutan. Dia terdiam, gemetar menatap mayat yang tergeletak tepat di depannya, terbungkus dalam kegelapan seolah menyimpan rahasia mengerikan.

Tiba-tiba, kaki mayat itu ditarik dan diseret oleh seorang pria. Wajahnya jelas terlihat oleh Caise—misterius, dengan tatapan kosong yang mengerikan. Ketika dia mengamati lebih dekat, dia menyadari, mayat itu adalah mayat yang muncul dalam mimpinya kemarin. Rasa ngeri menggerogoti hatinya, seolah seluruh darah mengalir keluar dari tubuhnya.

Pria itu mulai mengubur mayat perempuan itu dengan sekop di sebuah halaman rumah tersembunyi, setiap dorongan tanah menambah kegelapan di dalam jiwa Caise. Dia mengintip dari balik pagar dengan ketakutan, hatinya berdebar-debar, meskipun dia tahu bahwa ini hanya mimpi—sebuah ilusi menakutkan yang terperangkap dalam benaknya. Namun saat pria itu selesai mengubur, dia secara kebetulan menatap ke arah Caise, wajahnya datar dan kejam, penuh dengan niat jahat yang tak terucapkan.

Seketika, Caise terkejut dan jatuh ke belakang, merasakan dingin menyeruak ke dalam tulangnya. "A... Aku..." Ia gemetar, merasa seolah ada sesuatu yang menghubungkannya dengan pria itu. Meski pria itu tidak melihatnya, langkah-langkahnya yang berat membuat seluruh tubuh Caise bergetar ketakutan. Pria itu berbalik, berjalan pergi tanpa memedulikannya, meninggalkan Caise dengan rasa ngeri yang menyelimuti hatinya.

Caise masih gemetar, napasnya terasa tersengal-sengal. Tiba-tiba, suara aneh membangunkannya dari mimpi mengerikan itu. Ia terbangun dalam kegelapan, napasnya berat dan penuh ketakutan. "Huf... (Aku tahu ini hanya mimpi, tapi ini benar-benar mengerikan.)" Keringat dingin mengalir di pelipisnya, mengingatkan dia bahwa ketakutannya masih ada di sini, tidak hanya dalam mimpi.

Suara itu semakin keras, menggores-nggores jendela dari luar, seolah ada sesuatu yang ingin masuk. Caise terdiam, tidak berani bergerak. Jendela itu sudah tertutup tirai, tetapi dia bisa merasakan kehadiran yang mencekam dari balik sana. Dalam hatinya, dia meremas selimutnya dengan ketakutan yang semakin dalam.

". . . Ng... Ibu... Ibu!!" Ia mulai berteriak memanggil ibunya, suaranya bergetar penuh panik. Setiap detak jantungnya terasa lebih cepat, seakan mengingatkan betapa rapuhnya dia di malam yang mencekam ini. Suara goresan itu semakin mendekat, menyentuh jendela dengan suara yang semakin keras, membuatnya semakin merasa terperangkap dalam kegelapan.

Caise melirik ke arah pintu, merasakan kegelapan yang menyelimuti setiap sudut ruangan. "Ibu! Tolong!" teriaknya lagi, tetapi suara itu teredam dalam kesunyian malam. Dia bisa merasakan matahari terbenam di luar, menciptakan bayangan menakutkan di dalam kamarnya. Dalam momen ketidakpastian, dia merasa bahwa jendela bukan satu-satunya yang harus dia khawatirkan.

Seberkas cahaya remang-remang tiba-tiba muncul dari balik tirai, membentuk bayangan yang menjulang di dinding. Jantung Caise berdegup semakin kencang saat bayangan itu bergerak, seolah-olah sesuatu yang jahat sedang mengintainya. Dalam keputusasaannya, dia berusaha melepaskan diri dari ketakutan yang membelenggunya.

Tak beberapa lama kemudian, pintu terbuka dan yang membukanya adalah ibunya.

"Ada apa, Caise? Apa kau mimpi buruk lagi? Tidurlah di kamar ibu."

"Jendela... Jendelanya." Caise menunjuk dengan gemetar. Ibunya bingung lalu mendekat ke tirai jendela. Ia membukanya dan rupanya suara yang dihasilkan tadi adalah suara dari ranting pohon yang tertiup angin kencang. Dia menoleh ke Caise yang masih gemetar.

"Aku akan memotong ranting itu besok. Bisa kau tidur lagi? Atau perlu ibu menemanimu?"

"Ti-tidak... Aku ingin tidur di sini saja."

"Kalau begitu, tidurlah kembali." Ibunya mendekat, duduk di bawah ranjangnya sambil memegang tangan kiri Caise. Caise menjadi terdiam, sedikit tenang, lalu membaringkan tubuhnya.

"Ibu... Apa aku akan baik-baik saja?" tanya Caise. Ibunya terdiam lalu menjawab, "Yeah... Kau akan baik-baik saja saat di dekat Ibumu ini."

"(Berpikir dua kali soal ini membuatku banyak berpikiran negatif soal apa yang terjadi pada kedepannya putriku nanti. Dia tidak akan bisa tenang, begitu juga aku, karena mimpinya itu. Hal ini membuatku benar-benar tidak tahu harus apa, mulai dari dia tidak bisa bergaul karena kondisinya saat ini, atau mungkin dia tidak akan bisa meraih cita-citanya nanti. Aku benar-benar khawatir.)"

"Caise..." Ibunya memanggil, membuat Caise menoleh padanya.

"Apa kau, di sekolah, tidak pernah mencari teman?"

". . . Aku.... Um...."

"Caise, kau harus tahu, kau harus mencari teman. Jika perlu, kau juga harus belajar lebih giat lagi. Ibu ingin kau menjadi dokter... Apa kau mengerti, harus.... Wanita harus menjadi dokter... Karena dokter memiliki pekerjaan yang rata-rata dan gaji di atas rata-rata," kata ibu Caise, membuat Caise terdiam ragu.

"Aku.... Aku hanya ingin bersama dengan orang yang bisa menemaniku dalam kesepian," kata Caise.

Tapi tiba-tiba saja, dia ditampar oleh ibunya, membuatnya terkejut tak percaya. Ia memegang pipinya yang merah.

"Sudah aku katakan beberapa kali, aku sudah sabar merawatmu, aku sudah sangat baik merawatmu. Kenapa kau tidak bisa menjadi gadis biasa, sama seperti gadis di luar sana? Kau bersikap sangat aneh dan mengerikan.... Sebenarnya apa arti mimpimu itu.... Jika kau bicara hal itu, katakan saja pada orang yang lebih mengerti, karena aku hanya ingin kau bisa meraih cita-citamu!! Tidak mengganggu kehidupan maupun pelajaran sekolahmu!!!" Ibunya berteriak memaksa.

Tapi belum ada hitungan detik, dia menyesal. "Ya ampun... (Apa yang sudah kukatakan padanya.... Kenapa aku begitu payah...) Hizz.... Maafkan ibu, Caise... Ibu benar-benar minta maaf, ibu hanya ingin kau bisa menjadi gadis yang sama seperti yang lainnya.... Ibu mohon, Caise..." Dia memeluk Caise yang terdiam.

"(Itu adalah saat-saat di mana aku bisa merasakan aura yang begitu tajam bahwa dia sedang mencoba mengatakan. Dia membenciku, kecewa padaku, dan yang lainnya.... Mungkin akan selamanya seperti itu. Mimpi ini tak akan pernah berhenti sampai dimanfaatkan oleh orang yang lebih cocok.)"