Setelah para anggota medis keluar, dia duduk di kursi sebelah ranjang Dara. Dia melihat gadis yang tertidur bagai boneka diatas kasur yang putih, apa ini awal dari kesembuhan Dara? Leo tersenyum, andai itu adalah suatu kebenaran, dia akan sangat bahagia.
Tak lama kemudian, seseorang masuk keruang itu, Leo menoleh, melihat siapa yang datang, ternyata Sean.
"Se, Lu ke sini juga?" Leo bersitatap dengan Sean yang baru saja menutup pintu, Sean menghampirinya , berdiri di sisi ranjang.
"Gua juga di telpon sama pihak rumah sakit tadi Le," jelas Sean, mata nya menatap Dara.
"Dara baik-baik aja kan?"
Leo mengangguk, "Iya, gua harap dia cepat pulih, biar bisa kek dulu."
Sean menghela nafas lega ketika mendengar hal yang ingin dia dengar sejak lama.
"Kita bisa bicara empat mata di luar?" nada bicara Sean terdengar serius, seperti ada hal penting yang harus dia tanyakan.
Sean pergi keluar duluan, sementara Leo menyusulnya setelah memastikan bahwa Dara akan aman di dalam.
"Lu jarang banget kesini, kenapa sekarang kesini, gua kira Lu gak bakap pernah datang lagi." Leo melontarkan kalimat yang sejak lama ingin dia lontarkan.
"Gua juga bagian dari Dara, gua rindu sama dia, tapi gua ragu buat ke sini, gua sedih le, liat dia gini terus, dan pas pihak rumah sakit telpon gua kalau Dara tadi kritis, gua akhir nya ngumpulin tekad buat lihat kondisi dia," jelas Sean.
"Gua rasa Lu telat, Dara sempat sadar beberapa hari lalu."
Sean bungkam ketika mendengar perkataan Leo.
"Kenapa Lu gak kasi tau gua?"
"Gua kira Lu gak bakal peduli lagi Se."
"Lupain aja, waktu itu udah berlalu, sekarang kita Cuma bisa nunggu dia sadar lagi, dan gak tau kapan." Leo mengedik kan bahu nya.
"Lu mau ngomong apa tadi?"
Sean teringat akan tujuan utama nya mengajak Leo keluar.
"Gua udah tau, kalau anak baru yang dikelas IPA 4 dia Cakra."
"Bagus, kalau Lu tau."
"Kita uda 3 tahun bohong sama Dara, lebih baik sekarang kita jujur, kita bawa Cakra kesini, ketemu sama Dara."
Mendengar ini Leo menggelengkan kepalanya tegas, rahangnya mengeras, seperti hendak marah, tapi entah pada siapa.
Mereka memang salah telah membohongi Dara dengan mengatakan bahwa Cakra sudah mati, namun di sisi lain mereka rasa itu adalah hal paling benar yang dapat mereka lakukan agar Dara tidak terus mencari Cakra di kondisi nya yang sangat buruk.
"Gak, Lu pikir dengan mereka ketemu, Dara bisa sehat kek 3 tahun lalu?, Lu tau kan Se, kalau Cakra itu pengkhianat!,kemana dia ngilang pas kita semua panik sama Dara?!, dan Lu harus ingat ini baik-baik diotak Lu!, kalau Dara kek gini itu karna dia, karna Cakra, karna sibajingan!! Biar aja sampe kapan pun Dara tau kalau dia itu Uda mati."
Sean menghela napas panjang, berdebat dengan Leo adalah neraka.
"Lu gak boleh egois, kita berempat uda sahabatan dari kecil, kita juga belum dengar penjelasan dari Cakra, kita Uda ngelakuin kesalahan besar dengan bilang kalau Cakra udah mati." Sean berusaha meyakinkan Leo.
"Cakra tu sahabat bangs*t, lebih baik Dara gak usa nyelamatin dia waktu itu."
Sean terdiam, sebenarnya apa yang di rasa kan Leo, hal itulah yang di rasa kan Sean, bahkan lebih dari Leo, tapi demi kebaikan Dara dia rela memberikan dan melakukan apapun.
"Gua sayang sama Dara Le, tapi kalau Dara nya sayang sama Cakra gua bisa apa? Lu bisa apa? Dia udah bertahun-tahun nunggu Cakra buat kembali, walau dia tau nya Cakra itu udah mati." Sean menjeda kalimat nya sebentar.
"Gua yakin, kalau Cakra datang, Dara bakalan sembuh secara perlahan, Lu mau liat Dara sembuh kan?"
Sean menepuk pundak Leo, berharap dia mengerti situasi saat ini.
Pikiran Leo tak henti berdebat dengan hatinya, dia yakin larangan Dara bertemu dengan Cakra itu benar, tapi disisi lain dia merasa berdosa karna keegoisannya membuat Dara menderita hingga detik ini.
Dan tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyembunyikan kebenaran.
"Gua mau yang terbaik buat Dara." Leo menghela nafas.
"Besok di sekolah, kita samperin Cakra, bicara baik-baik, jangan pake urat, jangan pake kekerasan."
"Gua gak ngomong pake urat," bantahnya.
"Kita kenal udah 6 tahun, jadi apapun tentang Lu gua tau, ga usa ditutupin, bahkan kalau Lu suka sama Renata pun gua tau." Sean berkata pelan, setelah berkata begitu dia lebih memutuskan untuk masuk keruangan Dara, membiarkan Leo mencerna kalimat nya yang tidak rumit.
Deg!
Leo tertegun, bahkan dia saja tidak tau tentang perasaannya terhadap Renata. Kenapa Sean bisa bicara seperti itu?
Mereka memang sudah bersahabat 6 tahun lamanya, tentang Arga, Gibran dan Wisma mereka baru saling kenal selama 2 tahun di SMA, jadi mereka bertiga tidak tau menau soal Cakra maupun Dara.
"Sekarang gak waktunya mikirin Renata Le, Lu harus nyiapin diri buat ngadapin Cakra, nyiapin diri buat gak emosi."
Leo memejamkan matanya sebentar, lalu mulai menarik nafas perlahan. Walau pun dia yakin, besok akan terjadi hal buruk antara dia dan Cakra.
Dia berdiri untuk kembali masuk, namun dia menunda.
Leo mengintip melalui jendela, melihat Sean yang tak henti menatap Dara, dia tau Sean sangat mencintai gadis itu, tapi apa boleh buat, Dara hanya mencintai Cakra, dan itu tidak bisa di ubah.
"Gua emang benci banget sama Lu Cak, tapi kesembuhan Dara lebih penting dari ego gua, dan gua juga mau lihat Sean bahagia lagi."
Baginya Cakra adalah pengkhianat di masalalu dan di masakini akan tetap begitu.
***
"Jadi nanti pas jam istirahat ke dua kita temuin Cakra."
Sean setengah berbisik, karna mereka ber lima sedang berkumpul di warung budhe iem, mampir untuk sarapan sebelum jam pelajaran pertama dimulai.
Leo mengangguk dengan malas , jika mendengar nama Cakra secara otomatis mood nya menjadi buruk.
Yang lain sibuk dengan makanan di piring nya yang hampir habis.
"Oke guys, cabut gas?" ajak Gibran mengelus perutnya kenyang, Gibran bangga, sebanyak apapun dia makan, perut nya akan selalu terlihat ramping.
Wisma meneguk minumannya. "Bentar lagi napa penuh nih perut." Dia mengelus perutnya.
Sudah menjadi rutinitas Wisma sehabis makan untuk beristirahat sebentar, jika orang bilang, hal itu sama dengan menunggu makanan masuk ke perut.
"Bentar lagi bel bunyi, kalian mau dihukum kek dulu lagi? Malah bentar lagi ujian."
Arga menepuk jidatnya, bagi semua orang, terutama Arga yang sadar akan kelemotan nya, ujian sama susah nya dengan mencari paku dalam jerami, bila perlu, jerami yang di cari dalam tumpukan paku.
Sean mengunyah makanannya dengan santai, lelaki ini memang yang paling santai di antara mereka berlima.
"Santai aja kan Cuma ujian."
Mata mereka membelalak, selain yang paling santai, Sean juga yang paling pintar, semua mengakui hal itu.
"Lu enak pintar bangsat, lah kami? Pintar banget, sangkin pintar nya selalu remedi." Arga mengacak rambut nya.
Sean mendengus, dia selalu heran jika semua teman nya ini mulai mengeluh tentang tingkat kepintaran, kadang dia jadi berfikir, sebenar nya dia yang terlalu pintar atau teman-teman nya saja yang malas dan terlalu pesimis.
Karna bagi nya, kemalasan dan sikap pesimis terhadap kemampuan diri sendiri adalah awal dari muncul nya sesuatu yang sering di sebut manusia dengan 'kebodohan'.
Sean memilih untuk tidak memikirkan hal itu terlalu dalam, karna dia yakin jawaban nya akan sama, yaitu karna mereka terlalu malas dan pesimis.
"Kalian tinggal belajar doang, liat buku hapal rumus, baca, simpan diotak, selesai, gampang kan? Simple lagi." Jelas Sean sambil mengekspresikan diri.
"Kalau tinggal ngomong mah gua juga bisa bambang."
Gibran menimpuk Sean dengan tissu yang langsung jatuh ke lantai karna terlalu ringan.
"Sekarang mau ke kelas atau ributin otak sih?" tanya Leo, lalu berdiri.
"Entah nih si Sean," umpat Gibran kesal, Wisma masih memilih posisi diam karna kekenyangan.
"Udah-udah masuk yok, ntar kena marah, kalau telat dikira bolos, guru BK agak pilih kasih sama kita." Leo menyudai perdebatan tak berarti mereka, dan kenyataan nya jika menghadapi Leo dkk, guru BK sedikit sensian.