Seminggu setelah kejadian berdarah di Kerajaan Wolf (serigala), aku mulai bekerja sama dengan mereka—Austin dan Helcia, untuk mencari pecahan kristal phoenix. Austin—Raja Werewolf Alpha—pimpinan bangsa serigala, telah menjadi teman, dan bersedia memberikan pecahan ke-empat kepadaku.
Sebelumnya, aku tidak menyangka dapat bekerja sama dengan Austin. Ya, pertemuan awal kami memang tidak berjalan baik. Serangan di gua hari itu, masih terukir jelas di ingatanku. Aku sangat berharap, kami dapat menjalin hubungan pertemanan, hingga kami sama-sama menikah, di suatu hari nanti.
Mereka memberikan kesempatan kedua, dan aku telah berjanji untuk tidak menyia-nyiakannya. Ada banyak harapan besar yang belum terwujud. Semuanya seakan hanya bisa nyata di dalam mimpi. Darah keluarga murni Bonaventura yang telah berkorban, harus kubalas dengan cara mengalahkan Kaisar Harvey.
Aku akan melakukan apa pun untuk meraih tujuanku. Baik itu pertarungan tanpa kemenangan, maupun pengorbanan tiada akhir. Bagaimana pun akhirnya, aku harus menjadi raja di Kerajaan Sorcgard, yang didirikan oleh para leluhur sebelum Raja Eric—ayahku, memerintah.
Ayah mungkin tidak memilihku untuk naik tahta, lantaran magic Allyn lebih kuat. Namun, aku yakin ayah salah dalam memilih penerus. Banyak hak yang telah direnggut oleh saudari tiriku itu. Aku tidak bisa memberikannya lebih banyak peluang lagi.
"Kita telah sampai di Argos, Achilio, Kak Austin. Pecahan ke-lima harusnya ada di sekitar sini." Helcia membaca peta, untuk memastikan keakuratan wilayah itu.
Aku melihat Daerah Argos—sarang iblis di wilayah pertengahan Darkiles, dari atas tebing. Wilayah itu terlihat sangat gersang. Di sana hanya di tumbuhi kaktus, dan semak belukar. Karena wilayah yang biasanya gelap, sinar rembulan adalah hal yang langka. Malam itu, bulan purnama di atas sana seakan bekerja sama.
"Gunakan kekuatan apimu, Achilio!" Austin berdiri di sampingku, bersamaan dengan Helcia.
Aku mengeluarkan api biru di telapak tanganku, dan menerangi kegelapan sepanjang ngarai—yang minim cahaya—sinar bulan tidak mampu menembus kegelapan di sana. Kami menuju benteng milik bangsa iblis bawah—tangan kanan Kaisar Harvey.
"Aku ingin 'kau menyerahkan serpihan itu pada kami, Raja Cylnoz," ucap Helcia meminta pada iblis raksasa di depan kami.
"Hahaha. Apa aku tidak salah dengar? Apakah kalian sedang mengemis pada iblis?" Raja Cylnoz menyilangkan kakinya. Kemudian, dia meneguk segelas anggur, yang telah disediakan oleh pelayannya.
"Bukan mengemis. Kami hanya ingin meminta pertolongan. Ya, hanya itu," ujarku seraya menatap mata merah iblis itu dengan tajam.
"Aku dengar, manusia itu makhluk yang lebih tinggi daripada kami. Namun, ketika ada keinginan yang tidak bisa tercapai, mereka justru akan menurunkan harga diri pada bangsa iblis. Kalian benar-benar sangat menjijikkan!" Raja Cylnoz mengundang tawa pasukan iblis, yang berbaris rapi di belakang kami.
Penolakan serta penghinaan dari raja iblis bawah itu, membuat kami bertarung melawannya. Ribuan pasukan iblis abadi menyerang dengan satu serbuan, sedangkan kami hanya mengandalkan tekad.
"Kita akan kehabisan energi, jika terus melawan mereka!" Austin menghabisi para iblis dengan cakar tajamnya. "Lakukan sesuatu atau setidaknya pikirkan suatu rencana, Achilio!"
"Aku sedang mencobanya, Austin!" timpalku tidak kalah kerasnya.
Aku berusaha berpikir keras untuk menemukan solusi. Namun, tiba-tiba iblis raksasa dari arah kiri datang, dan menghempas tubuhku ke tanah.
Brak!
"Aku akan mempercepat kematian keduamu, Reinkarnasi Sean!" Iblis itu mengayunkan kapaknya. Kilauan benda tajam itu membuatku bergidik. Rasanya keringat mengalir deras di dahiku.
"Aku tidak akan pernah mati lagi, Iblis menyebalkan! Jadi, jangan terlalu berharap lebih pada ekspektasi bodohmu itu!" Aku menahan benda tajam itu dengan pedangku. Celaka! Iblis itu ternyata lebih kuat dari pemikiranku sebelumnya.
"Sepertinya kau cukup yakin dengan ucapan payahmu itu, Pangeran Sorcgard. Tapi sangat disayangkan, akulah yang akan membunuhmu, sebelum kau bertemu lagi dengan Kaisar Harvey. Musnahlah dari dunia ini, Guardian!"
"Aku ... aku tidak akan kalah di sini! Apa pun yang terjadi, aku akan menang dengan caraku sendiri!" Aku berteriak dengan sangat keras, hingga menggema ke seluruh sisi benteng.
Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Pedangku mengeluarkan cahaya seperti di dalam mimpi. Kilauan itu membentuk seekor phoenix raksasa. Burung api keemasan itu melahap semua iblis, dan menghancurkan benteng mereka. Tak lama setelahnya, ia masuk kembali ke dalam pedang.
Aku berusaha untuk mengingat semuanya dengan jelas. Namun, peristiwa saat itu terjadi dengan sangat cepat—tidak dapat dihitung dengan satuan waktu. Seakan baru berkedip, semuanya telah usai.
"Sang phoenix telah bangun dari tidur panjangnya. Bagaimana bisa kamu memanggilnya?" Austin menatapku seakan tak percaya.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi, Kak?" Helcia menghampiri kami. "Achilio, katakan sesuatu padaku!"
"Aku bisa merasakan keberadaan Sean yang sedang melindungi kita, Helcia. Kita masih beruntung, karena masih diberikan hidup yang lebih panjang." Austin memungut pecahan ke-lima di dekatnya, dan memberikan benda itu padaku.
Tempat itu seakan hangus begitu saja. Ya, tidak ada yang tersisa dari iblis-iblis sombong itu. Aku menoleh ke sekeliling, tetapi semuanya masih tetap terlihat sama. Tidak ada siapa pun di sana, selain kami.
"Terima ka ...." Ucapanku terpotong, ketika pecahan ke-lima mendadak bercahaya. Setelah itu, aku merasakan sakit yang teramat, ketika memegangnya. Perlahan-lahan, pandanganku pun memudar.
"Achilio!" Teriakan mereka sayup-sayup menghilang, di tengah kegelapan.
*
Gerbang yang dipenuhi dengan ribuan tombak emas, singgasana dari permata biru, dan lukisan diriku yang terpajang di atasnya. Tempat itu sangat mewah, dengan tujuh tangga indah yang melingkar ke atas. Aku tidak tahu sedang berada di kerajaan mana. Semuanya terlihat sangat asing.
"Kenapa aku ada di sini? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Di mana Helcia dan Austin?" Aku bertanya-tanya di dalam hati.
Tujuh patung naga raksasa menghiasi tujuh pilar. Aku berjalan mengitari luasnya istana berlantaikan kaca itu. Di bawah sana, hanya diselimuti awan putih yang sangat tebal. Langkahku terhenti ketika sayup-sayup suara mulai muncul, di seberang sana.
"Kamu memiliki kekuatan yang sangat sempurna, melebihi Sang Dewa Naga berkepala tujuh, Reinkarnasi Sean. Semua ingatan itu akan segera kembali. Malaikat pelindung yang ditunggu-tunggu, akhirnya berdiri tegap dengan keadilan di tangannya." Suara itu terdengar menggema, memekakkan telingaku.
"Si ... siapa kamu?" Aku mencoba untuk mencari keberadaan orang itu. Namun, aku tidak kunjung menemukannya.
"Kamu tidak perlu tau tentang siapa, dan dari mana asalku, Guardian. Ada kalanya, kamu lebih baik tidak mengetahui segalanya. Aku telah memilihmu, Achilio, dan tidak semua orang dapat menempati posisimu itu. Jangan pernah menyia-nyiakan hidupmu lagi!" Sosok bayangan merah itu mendekat. Entah dari mana asalnya, ia datang secara tiba-tiba.
"Jangan pernah mendekatiku!" Aku memperingatkannya. Namun sepertinya, apa pun yang kukatakan, itu tidak akan menghentikan langkahnya.
"Takdir yang datang, tidak bisa terelakkan lagi. Kamu tetaplah guardian, dan kamu harus menepati sumpah yang pernah kamu ucapkan." Bayangan itu menarik tanganku, lalu mengalirkan cahaya merah terang ke sekeliling tubuhku.
"A apa yang akan kamu lakukan padaku? Lepaskan aku!" Aku memberontak sekuat tenaga. Namun, apa yang kulakukan sepertinya tidak lebih dari, menguras energi secara sia-sia.
Genggamannya semakin kuat. "Aku akan memberikan separuh kekuatanku, untuk menemani perjalanan panjangmu, Achilio. Satu hal lagi, aku bukanlah orang jahat seperti mereka, yang pernah mengkhianatimu. Ingatlah aku selalu di setiap hembusan napasmu, Guardian!"
"Hentikan!" Aku berteriak saat merasakan panas, yang membakar sekujur tubuh. Aliran cahaya itu benar-benar sangat menyiksa.