Chereads / The Seven Phoenix Shards / Chapter 9 - Akhir Dari Peperangan Besar

Chapter 9 - Akhir Dari Peperangan Besar

"Kamu telah dibutakan oleh cinta, Zay!" Aku melepaskan cekikan itu, dan mengibaskan pedang ke arahnya. "Jangan bodoh dalam bertindak hanya karena ambisi!"

"Padahal, kamu juga jatuh cinta dengan Felicia. Mirisnya, kamu malah menyia-nyiakan Alea yang paling mencintaimu. Nah, lebih bodoh mana? Aku atau kamu, Achilio?" Zay menghindar, dan menerjang perutku.

Ingatan itu kembali terputar, kebersamaanku dengan Alea terekam berulang-ulang. Ya, Alea selalu ada saat aku membutuhkannya. Dia bukanlah seorang wanita, yang memiliki kegengsian setinggi langit seperti Felicia.

Pernikahan yang menjadi impian terbesarnya, justru kuhancurkan di malam tragis itu. Ah, penyesalan selalu datang terlambat! Kenapa aku malah bunuh diri, dan membiarkannya menderita selama ini? Benar-benar perbuatan paling naif.

Zay mungkin ada benarnya juga. Aku adalah pria terbodoh yang menyia-nyiakan ketulusan cinta, dari seorang wanita. Seharusnya, aku adalah salah satu orang paling beruntung di dunia, karena cinta sejati sangatlah sulit untuk didapatkan.

Aku menggunakan kekuatan physical tingkat tinggi untuk melawan Zay. Teknik serangan tinju maut—melayangkan pukulan yang bertubi-tubi pada lawan, kuberikan padanya tanpa belas kasihan.

"Maafkan aku, Zay. Aku tidak pernah ingin menyakiti siapa pun. Namun, pengkhianatan tetap harus berbalas nyawa." Bulir-bulir air mataku mengalir kian menderas.

"Katakan padaku, apakah hanya dengan maaf, hati yang hancur akan langsung pulih?" Zay mengerutkan dahi. Kemudian, dia memperlihatkan seulas senyum, yang seperti memiliki makna tersendiri.

"Meminta maaf lebih baik, daripada tidak mengakui kesalahan, dan membiarkan hubungan itu tetap berada, di dalam ambang kehancuran."

"Apa yang kamu tau tentang rasa sakit, Sean? Kamu terlahir dengan semua kesempurnaan, dan hidup berlimpah kekayaan. Kamu tidak pernah mengalami penolakan, dari gadis yang kamu cintai. Lantas, kenapa aku harus percaya dengan omong kosongmu itu?"

Tanganku mengepal erat. Emosi sudah mencapai kepala. Aku sudah tidak tahan lagi menghadapi Zay.

Bug!

Tinju terakhir dariku, membuatnya tersungkur tak sadarkan diri. Bela diri yang diajarkan akademi sepertinya berhasil menahannya, untuk sementara waktu. Aku mengambil pedang yang tergeletak di dekat tubuh Zay, lalu berlari dengan cepat ke medan perang. Huh, semoga saja aku tidak terlambat lagi!

Ketika aku sampai di atas bukit, pertempuran sepertinya sudah hampir di ambang akhir. Bangsa werewolf telah terkepung oleh pasukan Darkiles, yang mendapatkan bantuan dari para penyihir. Tanpa pikir panjang, aku pun memasang ancang-ancang, untuk menggunakan sihir api biru pada lawan, di bawah sana.

Akan tetapi, Kaisar Harvey tiba-tiba muncul di depanku, lalu berubah menjadi seekor naga hitam raksasa. Dia menghadang jalan, dan menyerangku dengan semburan api hitam. Celaka, aku tidak akan bisa menghindar!

Aku memejamkan mata sambil melindungi wajah di balik lengan. Namun, kenapa aku tidak merasakan efeknya sama sekali? Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Aku sontak membeliak pada pemandangan di hadapan. Austin dan Helcia telah mengorbankan nyawa untuk melindungiku. Tubuh mereka ambruk ke tanah, dan bermandikan darah segar. Teriakan kemenangan pasukan Darkiles, seketika menggema.

"Tidak ada yang bisa mengalahkan kekuasaanku! Kemenangan telah berada di pihak Darkiles!" Kaisar Harvey melecutkan ekor berdurinya padaku.

Di depan mataku untuk yang ke-dua kalinya, seseorang berkorban nyawa lagi untuk melindungiku. Zay menahan ekor itu dengan kedua tangannya. Dia sepertinya hanya pingsan sebentar, setelah aku menyerangnya beberapa menit sebelumnya.

"Ja ... jangan mati dengan cara yang sia-sia seperti di masa lalu! Ma ... maaf, aku telah memanfaatkan ibumu, Sean. Aku mulai sadar bahwa, tidak seharusnya memaksakan cinta pada orang yang tidak mencintai kita." Zay mengeluarkan semua kekuatan liliac-nya, dan membanting naga raksasa itu ke bawah bukit.

Saat aku hendak meraih tangan sahabatku itu, tubuhnya telah berubah menjadi abu.

"Zay ... kenapa kamu harus melakukan ini? Kenapa kamu malah melindungiku?" Aku berlutut, lalu mendongak ke atas langit. "Tidak, ini bukan akhir yang kuharapkan!"

"Tunggu, Zay pernah bilang, bahwa dia hanya bisa dibunuh oleh dewa. Tapi, bagaimana mungkin Kaisar Harvey memiliki kekuatan setinggi itu?" ucapku penuh tanda tanya dalam hati. Aku pun menoleh ke arah jatuhnya Kaisar Harvey, dan mengamati dengan penuh selidik.

"Kenapa kamu mengkhianatiku, Vampir sialan!?" Suara Kaisar Darkiles menggelegar, memecah hening.

Aku melihat, cuaca berganti berulang-ulang. Alam mulai terasa tidak seimbang. Sama seperti dulu, dia selalu tidak bisa dilukai. Sial! Mengapa aku harus berhadapan dengan iblis itu lagi?

"Bersiaplah untuk mendapatkan mimpi panjang lagi, Sean! Hahaha." Naga hitam itu melebarkan sayap, yang penuh dengan duri-duri tajam. "Ini sudah saatnya untuk kembali menidurkanmu!"

"Mari, kita akhiri semua ini, Harvey!" Aku menggenggam erat pedang, dan berlari menuju naga raksasa itu.

Beratus-ratus tahun lamanya, setelah masa reinkarnasi, dan pemulihan ingatan yang lama. Akhirnya, aku kembali lagi ke medan perang—tempat yang sama saat aku dipilih untuk menjadi seorang guardian.

Dar!

Ketika aku menjentikkan jari di depan seluruh pasukan Darkiles, suara ledakan besar memekakkan pendengaran. Ribuan mayat jatuh tersungkur ke tanah. Bukit Dxyro telah dibanjiri oleh darah segar. Di sana hanya tersisa aku dan Harvey.

"Aku belum pernah melihat Sean menggunakannya. Apakah ini kekuatan paling hebat setelah kristal phoenix, Pangeran Sorcgard?" Harvey terbang secepat kilat ke arahku.

"Ya, Dewa Naga berkepala tujuh memberikan itu padaku sebagai penghargaan. Meskipun, kekuatan kristal terakhir ada padamu, itu sama sekali tidak sebanding dengan kekuatanku." Aku tersenyum licik seraya bersiap menyambut serangannya.

Pertarungan satu lawan satu pun terjadi, berulangkali dia menyerangku. Namun, usahanya sia-sia, karena aku selalu bisa menghindar, dan menyerang balik dirinya.

Jleb!

Pedangku berhasil menusuk kaki naga itu. Sial! pertarungan yang sia-sia, karena tubuhnya selalu tidak mempan, dengan berbagai serangan.

Beberapa saat setelahnya, kami berdua memberi jarak satu sama lain. Aku mulai merasa kelelahan menghadapinya, dan sepertinya dia juga merasakan hal yang sama denganku.

"Kamu terlalu lengah, Lio." Ratu Elena tiba-tiba muncul dari sebuah portal, yang terbuka di samping Kaisar Harvey.

"Kamu ...." Bibirku terasa kelu, dan seakan tidak bisa berkata-kata lagi. Orang yang memanggilku dengan sebutan "Lio", bukanlah orang di luar garis murni keluarga Bonaventura.

"Mari, kita akhiri semua ini!" Harvey mengeluarkan gumpalan hitam padat, yang semakin membesar dari mulutnya. Pecahan ke-tujuh—di tengah dadanya, seakan telah memperkuat kekuatannya.

Aku membentuk perisai biru raksasa, dari kekuatan magic yang tersisa. Tanpa kusangka, phoenix keluar dari pedang milikku, dan membentuk bola api yang tidak kalah besarnya. Ke-enam pecahan yang ada di tasku menyatu dalam kobaran api, yang mengelilingi burung bersayap merah keemasan itu.

Dua kekuatan besar yang saling bertabrakan, membuat retakan tanah semakin melebar. Aku melihat tujuh kristal phoenix telah menyatu, di dalam kobaran api hitam itu.

Boom!

Gumpalan besar itu meledak, menghancurkan pelindung yang kubuat. Tubuhku terjatuh ke dalam retakan tanah. Bumi sepertinya akan mengalami kehancuran. Aku berusaha untuk menahan keseimbangan tubuh, di tengah kekacauan itu.

Di antara reruntuhan kehancuran bumi, aku melihat kristal phoenix masuk ke dalam sebuah portal hitam. Ketika aku menggunakan perisai tingkat tinggi, kemungkinan mempengaruhi pintu dimensi—portal. Kaisar Harvey, dan Ratu Elena juga terisap masuk ke sana. Sial! Aku kalah cepat.

Aku berjanji tidak akan membiarkan kristal itu, jatuh pada orang yang salah lagi. Aku mengeluarkan sepasang sayap di punggungku dengan cepat, lalu masuk ke dalam portal yang semakin menyusut. Cahaya putih terang di dalam sana, begitu menyilaukan mata.