Chereads / The Seven Phoenix Shards / Chapter 10 - Kesalahan Yang Harus Ditebus

Chapter 10 - Kesalahan Yang Harus Ditebus

Aku terjatuh di sebuah tempat yang mirip dengan taman. Bunga kaca piring tampak berjajar rapi nan elok. Semuanya terlihat sangat asing. Tempat itu dikelilingi dinding penghalang yang sangat tinggi, dan beberapa cahaya bulat yang menggantung di tiang. Rumah besar yang ada di depan sana juga sangatlah aneh.

Tidak jauh dari tempatku berdiri, terdapat sebuah kolam yang luas, dengan sepasang patung cupid—penghias halaman. Beberapa dedaunan terkumpul dalam benda kotak berwarna hijau. Ukiran tujuh naga yang melingkar di air mancur itu, mengingatkanku pada lambang milik Kerajaan Sorcgard.

Prang!

Sebuah patung kaca berbentuk cinta jatuh, dan pecah menjadi dua bagian. Karena sibuk memperhatikan lentera bersimbol phoenix di depanku, tanpa sengaja aku menjatuhkan hiasan kaca itu.

"Hei, lu apain patung kesayangan gue!?" Seorang wanita setinggi bahuku berjalan mendekat, dengan gaun birunya yang indah.

Senyumanku terukir ketika melihatnya. Tanpa pikir panjang, aku merentangkan tangan lebar-lebar.

"Aleaaa!" Aku melangkahkan kaki ke arahnya, dan langsung mendekapnya dengan penuh cinta.

Sungguh, aku tidak akan menyia-nyiakan dirinya lagi. Aku mulai menyadari bahwa selama ini, hanya Alea yang benar-benar mencintai. Bahkan, setelah peristiwa bunuh diri waktu itu, dia masih tetap setia menunggu reinkarnasiku.

"Apa, sih!? Jangan peluk-peluk gue, Cosplayer prajurit kuno!" Wanita bermata biru itu mendorongku kasar.

Aku memandang dengan sorot mata sedih. Kemudian, kugenggam jemarinya dengan lembut. "Ke kenapa kamu tidak mengenaliku, Alea? Aku Achilio. Apakah kamu benar-benar tidak mengingatku?"

"Gue Selenic Eunoia, bukan Alea!"

"Apa!?" Aku menaikkan alis kiriku. Entah telingaku yang bermasalah, atau perkataannya memang menyebutkan "Eunoia." Aku tidak bisa membedakannya.

"Iya, anak dari pemilik perusahaan elite SMM, dan model terkenal di Kota Scramble. Sekarang, tunduklah pada pewaris satu-satunya di depanmu ini!" Eunoia tersenyum seperti orang, yang memandang rendah diriku. Kemudian, dia melepaskan genggamanku dengan kasar.

Dih! Wanita sombong yang sangat menyebalkan! Dia jauh berbeda dengan Alea. Meskipun, wajah dan penampilan mereka benar-benar sama.

"Jika dimensi ini adalah dunia kedua dari kehancuran pertama, mereka yang telah mati sepertinya hidup lagi di sini. Namun, ingatan mereka sepertinya terhapus. Jadi, orang-orang itu tidak mengingat siapa mereka di masa lalu. Tempat ini sungguh membingungkan!" Aku bergumam sambil terus memantau ke sekeliling tempat itu.

Aku menyilangkan tangan sambil membatin, "Ya mungkin, kristal itu juga berada di sini. Aku harus menemukannya sebelum Harvey, dan yang lainnya. Dunia akan kembali kacau, jika mereka berhasil mendapatkannya lebih dulu dariku."

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Rasa perih itu seketika menyadarkanku dari lamunan.

"Baru kali ini, gue ketemu orang yang gak menghargai lawan bicaranya. Minus attitude banget, sih!" Wanita bermata biru itu meninggikan nadanya, lalu berkacak pinggang di depanku.

Caranya marah sama seperti Alea. Aku seperti merasakan de javu. Walaupun, di dunia ini reinkarnasinya tidak mengingatku sama sekali, setidaknya dia terbebas dari penjara luka di masa lalu.

"Maaf, Nona. Tapi, aku tidak punya banyak waktu untuk berdebat." Aku tersenyum padanya, dan bersiap beranjak pergi dari sana. "Ada sesuatu yang harus kulakukan. Maaf telah mengganggu malammu yang indah."

"Jika kamu melangkahkan kaki sedikit saja, aku tidak akan segan untuk membunuhmu!"

Aku menghentikan langkah, lalu memandangnya kesal. "Kenapa?"

"Lo baru aja mecahin patung kesayangan gue, tau!" Dia mencekal lenganku, dan menatap dengan tajam. "Kamu mau membayar kesalahan ini, atau memilih mati dengan peluru bersarang di tubuhmu?"

"Aku tidak punya koin emas. Bagaimana aku bisa membayarnya?"

"Baiklah, kita akan membuat sebuah kesepakatan."

"Kesepakatan seperti apa?"

"Aku ingin kamu berpura-pura menjadi calon suamiku, dan anggaplah itu sebagai bayaran dari kesalahanmu ini. Nah, bagaimana?"

Aku pun berdiam diri untuk beberapa saat. Jika aku menerima tawaran itu, misi mencari kristal akan terhambat. Namun, jika aku menolak, Eunoia pasti akan kecewa.

Di samping itu, Kerajaan Sorcgard tidak pernah mengajarkanku untuk tidak bertanggung jawab. Akhirnya dengan berat hati, aku pun menyetujui permintaannya.

*

Dua minggu setelahnya, aku belajar banyak hal tentang dunia, yang mereka sebut dengan "Scramble." Sesuai dengan namanya, tempat aneh itu sangatlah modern dan canggih.

Eunoia bilang, ilmu pengetahuan, dan teknologi telah menduduki kekuasaan tertinggi. Hidup terasa mudah dengan bantuan berbagai alat-alat canggih. Mereka—penduduk Kota Scramble, seakan mempunyai kemampuan berpikir tinggi, dan mampu menciptakan suatu hal dengan cepat melalui sains.

Setiap hari, Eunoia mengajariku berbagai hal: sejarah, penggunaan teknologi, dan cara berkomunikasi. Beruntung, aku bisa dengan cepat beradaptasi dengan keadaan.

Dunia itu berbanding terbalik dengan masa lalu. Tidak ada kekuatan, sihir, perang, atau yang lainnya. Ya, Eunoia menerangkan bahwa, segala hal buruk itu hanyalah bagian dari legenda, di masa lalu.

Malam itu adalah hari ke-sembilan belas, Nyonya Sophia—Nenek Eunoia, mengadakan jamuan makan malam sekeluarga besar.

Aku melihat pemandangan kota dari atas Gedung SMM (Saint, Machine and Money)—perusahaan milik keluarga Selenic. Bangunan pencakar langit, yang mengeluarkan cahaya terang kala bulan menyambut, membuat tempat itu seakan tidak pernah merasakan kegelapan.

Aku telah bertransmigrasi di zaman yang begitu berbeda. Kerajaan Sorcgard telah berevolusi menjadi Kota Scramble. Untuk mencari kristal phoenix di daerah seluas itu sangatlah menyulitkan. Di sisi lain, aku juga perlu waktu untuk memulihkan seluruh kekuatan.

"Dia adalah calon suamiku, Ibu." Eunoia menggenggam erat tanganku, saat seorang wanita paruh baya bergabung di meja makan.

"Good looking juga, ya?" Wanita yang memakai dress putih itu menepuk pundakku pelan. Kemudian, duduk di dekat Eunoia.

Aku tersenyum lebar. Rasa gugup sepertinya telah membuat bibirku membisu. Sedangkan, Eunoia terlalu mendalami peran dalam sandiwara itu.

Wanita dengan riasan menor tampak berjalan menuju ke meja makan. High heels-nya terlihat sangat berkilau di terpa lampu hias. Senyumannya seakan memiliki makna mendalam. Aku tidak suka dengan wanita itu. Meksi, dia adalah orang kaya sekali pun.

"Wah, pacarmu ganteng banget, Eun! Sumpah, aku belum pernah liat manusia se-good looking ini!" Wanita menor itu memuji-muji diriku.

"Pria tampan hanya untuk wanita yang cantik, Tante," sindir Eunoia. Dia seakan-akan begitu membenci wanita itu.

Seluruh orang yang berkumpul di meja makan, semuanya membawa sebuah buket berisi banyak blackcard. Pada saat itu, alat cetak uang bisa dimiliki secara pribadi. Berbeda dengan di masa lalu, uang hanya untuk setingkat para bangsawan. Aku menelan ludah, karena sepertinya hanya aku yang tak memiliki uang.

Tidak lama setelahnya, waktu makan malam pun tiba. Banyak pasang mata yang memandangiku; beberapa dari mereka nampak berbisik. Makan malam terasa sangat menyesakkan. Putaran jarum jam rasanya berlalu, dengan sangat lambat.

"Siapa namamu, Nak?" Ibu Eunoia menuangkan wine di gelasku.

"Achilio Isacco Bonaventura, Nyonya."

"Nama terakhirmu sama dengan marga Raja Eric. Ibumu fans berat keluarga Bonaventura, ya?"

Aku tersentak, lalu bertanya, "Apakah Anda mengenalnya, Nyonya?"

"Raja Eric adalah pemimpin monarki terakhir. Nilai sejarahmu ini berapa, sih!?" Raut wajah Ibunya Eunoia berubah menjadi merah padam.

"Udah gak papa kok, Mah. Anak ini mungkin gak pintar dalam akademik. Tapi, dia cocok kok dengan Eunoia." Lelaki yang memakai setelan toxedo, dan berambut blonde itu menepuk pundak Eunoia. "Saya bahkan lebih mendukung Achilio dengan Eunoia, dibandingkan dengan Vano."

"Ya, saya juga setuju dengan Robert." Wanita tua di depanku juga angkat bicara, setelah menghabiskan potongan steak terakhirnya.

"Baiklah, jika ibu bilang seperti itu. Achilio, kamu mustahil untuk ditolak." Ibu Eunoia duduk, setelah mengambil garpu di dekat poci teh.

Aku melirik ke arah Eunoia. Dia melihatku dengan senyuman manisnya—terlihat seperti begitu bahagia. Ya, bunga di wajahnya tidak dapat memungkiri itu.

Jauh di dalam kalbu, aku sebenarnya begitu khawatir; tentang kristal phoenix yang membuatku ketakutan sepanjang malam. Di lain sisi, seorang guardian tidak akan mengkhianati janjinya—kesepakatan tidak boleh dibatalkan. Malam itu, aku menikmati pesta dengan menampilkan kebahagiaan palsu.